Jumat, 19 Desember 2008

Natal Bersama Karyawan di Roma.



TERTAWA LEBIH LEBAR

Sejak kemarin kami semua sibuk. Sore hari kami beramai-ramai memasang pohon Natal di ruang rekreasi, lengkap dengan segala asesorinya. Tadi pagi beberapa orang sudah ada di dapur. Glen menyiapkan contorni, Budiman asyik dengan primo piatto ala Indonesia, lontong dan sambel goreng; Pierre-Paul serius menyiapkan secondo piatto kesukaannya straccetti vitellone, Jim kebagian membuat dolce & café sebagai sajian penutup.

Di ruang lain, Mammouth sesuai keahliannya, menghias meja dan ruang makan bagaikan restoran berbintang lima. André, anggota paling senior, dengan semangat menyiapkan antipasta lengkap dengan pelbagai minuman di ruang rekreasi; sementara orang Brebes pura-pura sibuk menyapu lantai yang sudah bersih.

Hari ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, kami mengadakan acara Natal bersama dua karyawan kami Signora Flora dan Maria. Pada hari yang khusus ini, kedua karyawan kami datang sebagai tamu dan kamilah yang melayani serta menjamu mereka. Keduanya datang mengenakan pakaian terbaik mereka. Flora memakai sepatu boot musim dingin dan berbedak lebih tebal dari biasanya. Yang jelas, baik Flora maupun Maria, keduanya datang dengan wajah berseri-seri.

Acara yang berlangsung selama hampir tiga jam terasa hangat, menyenangkan. Sejak di ruang rekreasi hingga pindah ke kamar makan selalu saja ada bahan untuk tertawa atau ditertawakan. Percakapan juga mengalir lancar, apalagi didukung champagne dan vino bianco dolce, minuman kesukaan ibu-ibu!

Signora Flora dan Maria sungguh menikmati layanan kami. Mereka tertawa lebih meriah, menyapa kami lebih hangat dan berbicara lebih semangat dari biasanya. Mereka begitu gembira bukan saja karena tidak harus bekerja atau makan-minum enak atau menerima regali dan angpao tapi lebih-lebih karena mereka merasa bahwa kerja mereka selama ini sungguh diterima dan dihargai.

Heri Kartono.

Keterangan:

(Contorni=sejenis lalapan atau sayuran; Primo piatto=makanan menu pertama; Secondo piatto=menu utama; Dolce=cake, kue; Straccetti Vitellone=daging cincang anak lembu ; Antipasta=hidangan ringan sebagai pembuka makan utama; Signora=nyonya/ibu ; Regali=hadiah-hadiah; Vino bianco dolce= anggur putih manis).

Rabu, 10 Desember 2008

Belanja Louis Vuitton


MESKI SEDANG RESESI

Hari Sabtu yang lalu saya mengantar seorang rekan dari Indonesia membeli titipan tas Louis Vuitton. Tokonya ada di Via Condotti 13. Via Condotti adalah jalan paling bergengsi di kota Roma. Maklum, di jalan ini berkumpul semua toko barang-barang berkelas seperti Gucci, Prada, Hermes, Yves Saint Laurent dan tentu saja LV itu.

Sekarang ini dimana-mana sedang resesi, ekonomi dikabarkan sedang buruk. Meski demikian, nampaknya situasi global tidak mengurangi minat orang untuk berbelanja. Buktinya, ketika sampai di depan toko LV, kami disuguhi pemandangan yang mencengangkan. Toko yang menjual barang-barang mahal itu, penuh sesak dengan manusia. Begitu banyaknya, hingga sebagian pembeli rela antri sampai ke jalanan. Melihat antrian yang begitu panjang, kami putuskan untuk kembali esok harinya.

Esoknya, hari Minggu jam 2 siang, kami sudah berada kembali di depan toko LV. Ternyata, antrian kali ini tidak kalah panjang dengan hari sebelumnya. Kamipun tak punya pilihan lain selain ikut antri dengan sesama pembeli. Bedanya, para pembeli yang lain berpakaian necis serta menyebarkan aroma parfum yang sedap sedang kami menyebarkan aroma bawang goreng!

Di dalam toko, meski padat, atmosfer toko bergengsi masih tetap terasa. Para pembeli nampak santun, tidak saling serobot. Beberapa pegawai toko hilir mudik menawarkan aneka minuman di atas baki yang dibawanya, gratis: champagne, wine, orange juice…,penyejuk tenggorokan yang kering.

Akhirnya sampailah giliran kami dilayani. Untuk memudahkan komunikasi, pembelian diserahkan pada saya. Sayapun menyodorkan foto-copy dua model tas LV yang diinginkan, lengkap dengan nomor seri dan harganya. Petugas yang cantik melayani dengan senyuman komersial. Beberapa kali ia melirik sopan namun jelas menunjukkan ekspresi tertentu. Ekspresi wajahnya seolah-olah mengatakan: “Bagaimana mungkin orang berwajah Brebes dan beraroma bawang goreng ini mampu membeli dua tas LV terbaru sekaligus?”. Nampaknya si mbak yang cantik ini belum faham bahwa orang Brebes yang satu ini bisa berlagak seperti juragan kaya….kalau terpaksa!

Heri Kartono.

Minggu, 30 November 2008

Prof.Dr.Johannes Tarigan.


BANGGA MENJADI KATOLIK

“Saya bangga menjadi orang Katolik”, begitu komentar spontannya saat memasuki Basilika Santo Petrus, Vatikan. Sebagai seorang sarjana teknik sipil yang biasa bergelut dengan bangunan, ia amat takjub menyaksikan kebesaran serta kemegahan bangunan basilika tersebut. “Padahal, basilika ini dibangun 500 tahun yang lalu, ketika teknik dan peralatan belum semaju sekarang”, ujarnya dengan nada kagum.

Kebanggaan serta kekagumannya bertambah ketika ia mengikuti audiensi umum dengan Paus. Ia geleng-geleng kepala saat mendengar Paus dengan amat lancar berbicara dalam 5 bahasa, termasuk bahasa Polandia yang rumit. “Bagaimana mungkin beliau menguasai begitu banyak bahasa sekaligus?”, ujarnya seperti kepada diri sendiri.

Prof.Dr.Johannes Tarigan adalah guru besar pada Universitas Katolik St.Thomas Medan, Sumatera Utara. Sejak kecil ia memang dekat dengan gereja. Ayahnya dahulu bekerja sebagai Kepala Sekolah SMU Katolik di Kabanjahe. Di luar tugasnya sebagai kepala sekolah, sang ayah kerap juga membantu pastor mengajar agama dari kampung ke kampung. Tarigan kecil saat itu aktif sebagai putera altar di parokinya.

Kedekatannya dengan lingkungan gereja tetap melekat hingga kini. Sesuai keahliannya sebagai insinyur teknik sipil, ia banyak terlibat dalam pembangunan gereja. Kami kenal dan kerap bertemu juga dalam urusan pembangunan gereja. Waktu itu pak Tarigan duduk sebagai ketua pembangunan gereja Santa Maria  Tanjung-Selamat Medan. Seminggu sekali kami bertemu untuk memantau, mengevaluasi serta merencanakan kelanjutan pembangunan. Untuk pembangunan tersebut, Tarigan bukannya menerima bayaran malah acapkali ia ikut mengeluarkan uang dari kantong pribadinya.

Baru-baru ini Tarigan menjadi Visiting Professor selama tiga bulan di Achen, Jerman. Baginya, Jerman adalah negara yang tidak asing lagi. Ia meraih gelar S3-nya di kota Wuppertal, Jerman. Anak pertamanya, Juanta, lahir di kota tersebut. Sesudah menyelesaikan tugasnya sebagai Visiting Professor, Tarigan menyempatkan diri berkunjung ke Roma bersama istri dan Stefanie, anak bungsunya.

Professor Tarigan selalu tampil riang dan bersemangat. Ia selalu berbicara positif tentang orang lain, mencerminkan kebaikan hatinya. Sesudah menduduki jenjang tertinggi dalam dunia akedemis, penampilannya tetap bersahaja, rendah hati dan ramah. Demikianpun kecintaan serta pengabdiannya terhadap gereja tak pernah luntur. Kecintaan yang ia warisi dari almarhum ayahnya itu, nampaknya ia tularkan pula pada istri serta ketiga anaknya.

Heri Kartono.

Sabtu, 22 November 2008

Christina.


INDAH SEKALI HARI INI!

Di Indonesia, memiliki pembantu itu biasa. Di Roma, hanya orang yang kaya  mampu memiliki pembantu full-timer. Di rumah kami, ada juga pembantu, meski hanya beberapa jam setiap datang dan itupun tidak setiap hari. Dulu, kami sempat mempekerjakan orang Filipina. Orang ini kerjanya gesit, rajin dan upah yang diminta jauh lebih murah dari orang Italia. Sayang dia tergolong nero alias illegal. Akhirnya, meski cocok, kami tidak berani lagi mempekerjakan orang Filipina ini.

Sejak itu, kami mendapat pembantu lewat satu perusahaan. Perusahaan ini yang menyediakan pegawai untuk kebersihan dan masak. Sistem ini cukup baik. Kami tidak perlu pusing dengan tingkah pegawai (orang Italia pandai membuat alasan untuk bolos). Kalau tidak puas atau pegawai tidak datang, perusahaanlah yang bertanggung-jawab mencari gantinya. Hanya, dengan cara ini kami harus membayar jauh lebih mahal.

Kami puas dengan dua pembantu yang bekerja di rumah kami sekarang ini. Maria bertugas masak dan Flora bagian kebersihan. Sebelumnya, kami sempat mendapat pembantu yang malasnya minta ampun dan terlalu sering menggunakan telpon rumah. Untunglah perusahaan mendengarkan keluhan kami dan bersedia mengganti pembantu.

Pernah, Flora yang bertugas membersihkan rumah, cuti beberapa hari. Sebagai pengganti sementara, dikirim Christina. Ibu muda ini rajin dan kerjanya cepat. Kami semua menyukainya. Suatu hari, sehabis olah raga di luar, saya masuk rumah dan melihat Christina sedang membersihkan kaca jendela. Saya menyapanya dengan berkata: “Christina, che bella é oggi!”, (Christina, indah sekali hari ini!). Saya terkejut ketika melihat Christina  tiba-tiba tersipu-sipu bahagia dan menjawab dengan senyum sangat manis: “Grazie, lei é molto gentile” (Terima kasih, anda baik sekali). Rupanya Christina ini mengira saya memuji kecantikan dia, padahal saya bicara tentang cuaca di luar. (Bella memang bisa juga berarti cantik). Sejak itu, setiap kali bertemu, tanpa ragu Christina mencium saya. Dan sayapun pasrah, karena begitulah gaya orang Itali kalau sudah merasa dekat…..

Heri Kartono (Foto: Christina sedang tersenyum lebar dan Emanuella).

Kamis, 20 November 2008

Manifestazione dan Sciopero



KEMERIAHAN AKSI UNJUK RASA

Sejumlah pria dan wanita membawa alat musik akordion, gitar dan beberapa jenis alat musik lainnya. Mereka dengan gembira menyanyikan lagu-lagu pop Italia dengan syair yang sudah diplesetkan, mengejek Silvio Berlusconi, Perdana Menteri Italia yang sedang mereka protes. Di depan rombongan ini beberapa orang lainnya dengan dandanan ala badut menari-nari, mencoba mengikuti iringan musik.

Itulah salah satu adegan dalam rombongan besar pawai unjuk rasa di Roma beberapa hari yang lalu. Orang yang tinggal di Roma kerap merasa jengkel dan terganggu karena banyaknya manifestazione (unjuk rasa) dan sciopero (mogok) yang sering terjadi. Unjuk rasa bisa diadakan melawan siapa saja, termasuk melawan Paus dan gereja sekalipun. Begitu seringnya manifestazione dan sciopero terjadi, sampai-sampai orang yang sinis berkomentar: “Orang Italia lebih banyak waktu untuk mogok daripada untuk kerja!”.

Bila terjadi manifestazione atau sciopero, kehidupan kota memang terganggu. Lalu-lintas menjadi kacau, angkutan umum seperti Bus Kota tidak bisa beroperasi semestinya, orang-orang terlambat kerja, jalanan menjadi kotor dengan sampah, sehingga petugas kebersihan harus bekerja ekstra.

Lepas dari akibat negatif yang ditimbulkan, sekali-kali mengikuti manifestazione  atau sciopero mengasyikan juga. Kita disuguhi tontonan yang menyenangkan seperti layaknya melihat teater jalanan. Ada banyak balon-balon besar berwarna-warni bertaburan di angkasa, ada rombongan pemain musik dengan lagu-lagu gembira, ada pidato-pidato penuh semangat dan banyak orang berpakaian aneh atau memakai dandanan seronok, sekedar untuk menarik perhatian.

Umumnya manifestazione dan sciopero dilakukan secara damai. Para orator dan peserta unjuk rasa hanya berteriak-teriak atau memaki-maki pejabat namun tidak bertindak brutal, merusak atau menyerang orang secara fisik. Polisi berjaga-jaga dari kejauhan dan menggiring peserta unjuk rasa ke lokasi yang sudah ditentukan. Sekali-kali memang pernah terjadi bentrok antara peserta unjuk rasa dengan polisi: saling lempar, saling pukul atau saling maki seperti yang belum lama ini terjadi di Piazza Navona (banyak meja-kursi restoran di sekitar Piazza Navona porak-poranda akibat kerusuhan ini). Kerusuhan seperti itu, termasuk kekecualian, karena memang jarang terjadi.

Ada keasyikan lain dalam mengikuti pawai manifestazione, yaitu menemukan banyak obyek foto. Berbagai ulah dan dandanan peserta pawai, jelas bisa menjadi objek foto yang menarik. Lagipula, jarang ada peserta unjuk rasa yang keberatan untuk difoto. Malah, kadang-kadang ada peserta yang sengaja minta dipotret sambil bergaya. Mereka mengira yang motret adalah wartawan dari mancanegara, padahal cuma tukang potret keliling dari mBrebes….

Heri Kartono, OSC

 

Minggu, 16 November 2008

Merpati di Vatikan


JINAK-JINAK MERPATI 

Seorang turis, sepertinya dari Timur Tengah, asyik memanggil dan bermain-main dengan burung merpati. Karena dia membawa remah-remah roti, burung-burungpun berdatangan dan berebut mengambil roti dari tangannya. Seorang kawannya, yang sudah siap dengan kamera, memotret berkali-kali. Pelancong asal Brebes yang kebetulan lewat, ikut juga mengabadikan adegan tersebut.

Hampir di setiap piazza di Roma terdapat banyak merpati. Selain para turis yang sering melempar sisa makanan, selalu ada orang-orang yang sengaja datang memberi makan burung-burung itu. Di kota ini merpati, kucing, bebek, angsa, tupai dan banyak binatang lain hidup dengan damai, tidak diganggu. Pergilah ke salah satu taman di Roma yang ada kolamnya, anda akan melihat pelbagai jenis bebek dan angsa liar berkeliaran dengan bebasnya.

Di kota Roma juga ada banyak kucing liar. Salah satu tempat yang paling banyak dihuni kucing liar adalah di Torre Argentina, di wilayah pusat kota. Di sini kucing liar tidak hanya dilindungi namun juga diberi makan secara teratur oleh petugas kota. Karena terbiasa dengan manusia, kucing-kucing liar ini umumnya jinak, mau untuk didekati, apalagi untuk dibelai-belai.

Kesadaran untuk menyayangi binatang nampaknya sudah menjadi bagian dari budaya orang Barat. Anak-anak umumnya juga sudah diajari untuk menyayangi binatang sejak dini. Tidak sedikit orang yang menyediakan makanan khusus untuk burung-burung liar di halaman rumah mereka. Biasanya burung-burung berebut makanan dengan tupai-tupai yang selalu kelaparan.

Sekarang ini semakin jarang orang mengenakan pakaian dari bulu binatang, kecuali dari bulu domba yang memang diternak untuk keperluan itu. Disana-sini kerap muncul aksi unjuk rasa menentang perburuan binatang liar. Salah satu aksi unjuk rasa yang disukai para pria adalah aksi telanjang sejumlah wanita. Wanita-wanita cantik tsb rela bertelanjang di muka umum sambil membawa poster bertuliskan: “Lebih baik telanjang daripada memakai bulu binatang!”. Sayang, polisi kurang berkenan dengan aksi yang menarik ini…

Binatang liar, termasuk merpati bisa hidup bebas, karena orang Roma mencintai mereka. Tapi ah, sebetulnya orang Indonesia juga sangat suka merpati, terutama kalau sudah tersaji di atas piring bersama gudeg dan nasi panas sambil lesehan di Malioboro!!

Heri Kartono.

 

Kamis, 13 November 2008

Iguazu Falls Brasil





SELURUH UANG SAKU!

Barusan melihat tayangan menarik air terjun Iguazu di televisi. Saya jadi ingat pengalaman berkunjung ke tempat yang amat mengesankan ini. Waktu itu (Agustus 2003), bersama pater Frans Vermeulen kami pergi ke Sao Paolo, Brasil. Kami mengunjungi seorang pengusaha sukses, kawan baik pater Vermeulen.

Sahabat pater Vermeulen inilah yang menjadi sponsor kami berkunjung ke air terjun Iguazu. Pengusaha asal Bandung ini mengatur segala-galanya untuk kami: tiket pesawat, hotel mewah, makan-minum, kendaraan antar jemput plus guide, seorang wanita yang fasih berbahasa Inggris.

Air terjun Iguazu (bahasa Portugis: Cataratas do Iguaçu) berasal dari sungai Iguazu yang mengalir di perbatasan Brasil-Argentina, namun amat berdekatan dengan Paraguay juga. Dan memang, air terjun ini dapat dijangkau dari ketiga negara tersebut. Menurut dongeng, seorang dewa jatuh cinta pada seorang gadis Aborigin bernama Naipi. Sayang, si gadis sudah mempunyai kekasih bernama Taroba. Kedua sejoli ini melarikan diri dalam sebuah perahu. Sang dewa yang amat murka, membelah sungai, menciptakan air terjun. Naipi dan Taroba yang sedang dimabuk asmara, dikutuk menjadi air terjun abadi.

Air terjun Iguazu sungguh-sungguh mengesankan. Panjang keseluruhan 2,7 Km, terdiri atas 275 air terjun yang terpisah-pisah. Air terjun yang paling terkenal bernama Garganta do Diabo (Kerongkongan Setan) memiliki ketinggian 82 meter, lebar 150 meter serta panjang 700 meter. Garganta do Diabo yang membentuk huruf U ini melintasi perbatasan Brasil dan Argentina.

Banyak orang terkesan akan air terjun Iguazu, termasuk orang-orang Amerika Serikat yang memiliki air terjun Niagara. Nyonya Eleanor Roosevelt, istri presiden AS, ketika menyaksikan air terjun Iguazu berteriak: “Poor Niagara!”. Rupanya, Air terjun Niagara dibanding Iguazu tidak ada apa-apanya.

Kami tinggal di hotel mewah di kota Foz do Iguaçu selama dua hari. Selain air terjun Iguazu, hal lain yang menarik adalah Iguaçu National Park yang luas dan asri dan pertunjukan tarian ala Brasil pada malam hari di sebuah teater tidak jauh dari hotel. Oya, makanan yang disajikan hotel juga istimewa dan berkelas. Pada malam terakhir, kepala pelayan bertanya, apakah kami berminat minum anggur? Saya langsung mengangguk tanpa minta persetujuan pater Vermeulen. Sesudah selesai acara makan-minum, pelayan datang lagi membawa bill. Rupanya, seluruh makanan dan minuman memang gratis (=sudah dibayar), kecuali anggur yang merupakan pesanan extra. Ketika melihat bill, pater Vermeulen tersenyum ramah. Senyum pater membawa pesan jelas: “Kamu yang pesan, kamu juga yang bayar!”. Saya terpaksa mengeluarkan seluruh uang saku yang ada di dompet, untuk membayar anggur yang nikmat itu…!!

Heri Kartono.

Selasa, 11 November 2008

Yan Sunyata OSC



TERKENANG YAN SUNYATA

Bertemu mas Edy Asmoro, membangkitkan kenangan akan Pastor Yan Sunyata OSC. Mas Edy mampir ke Roma bersama lima rekan usahanya. Mereka dalam perjalanan pulang ke Indonesia dari Paris.

Edy Asmoro, asal Madiun, adalah alumnus ITB (1986). Saat di ITB inilah Edy mengenal Yan Sunyata OSC, dosen serta Pembina mahasiswa katolik saat itu. Sesudah lulus ITB-pun kontak dengan pastor Yan tetap dilanjutkan hingga wafatnya. Sebagaimana layaknya lulusan ITB dan Geng Yan Sunyata, Edy mempunyai kepercayaan diri besar, smart, ceplas-ceplos namun loyal dengan caranya. Sambil melihat-lihat kota Roma, Edy banyak berceritera tentang Pastor Yan yang dikaguminya.

Yan Sunyata, anak ningrat dari Garut, adalah figur yang mengesankan banyak orang: amat kocak, cepat membaca karakter orang, kreatif, sedikit gila, barangkali juga jenius dan pengkotbah yang memikat. Ia amat piawai dalam mengejek orang sampai sehabis-habisnya. Namun orang tahu, Yan tak pernah berniat merendahkan, meskipun ejekannya seringkali keterlaluan.

Kreativitas Yan dalam menyusun liturgi dan membuat lagu-lagu dengan syair ber-nas, disukai banyak orang. Selain itu, pengetahuannya yang amat luas, khususnya di bidang teologi membuat ia berwibawa dalam berkata-kata (Kumpulan tulisannya akan diterbitkan awal tahun 2009 dengan judul: Terobosan Baru dalam Berteologi). Di manapun ia berkarya, pasti ada banyak orang yang menjadi pengikut, pengagum ataupun fans-nya. Yan sendiri amat peduli pada anak-asuhannya. Misalnya, saat ia bertugas di Medan, ia rela meninggalkan pekerjaannya sebagai Rektor Universitas Katolik Santo Thomas, hanya untuk membaptis salah satu anak dari Geng-nya itu!

Geng Yan Sunyata juga amat berbakti kepadanya. Saat Yan Sunyata membutuhkan dana untuk membeli rumah di Medan, kelompok ini dengan sigap mengumpulkan uang. Maklum, banyak anak didik Yan Sunyata yang sukses dalam hidup mereka. Kelompok ini juga membuat buku kenangan yang mbeling tentang Yan Sunyata. Mas Edy Asmoro menambahkan, untuk mengenang pastor Yan, telah berdiri PKBY (Paguyuban Keluarga Besar Yan Sunyata) yang terdiri atas mantan-mantan anak buah Yan.

Yan Sunyata pernah berkali-kali menjadi Propinsial OSC Indonesia. Kemana-mana propinsial ini lebih nyaman memakai sandal daripada sepatu resmi. Adalah suatu siksaan bila ia harus memakai sepatu. Ia juga lebih suka menggunakan motor bebeknya atau naik kendaraan umum, daripada merepotkan orang. Yan meninggal dunia saat sedang jalan-jalan di Jakarta (22 September 2002 dalam usia 61 tahun). Diduga ia mendapat serangan jantung ketika sedang naik Bajaj. Ia sempat ganti naik taksi, minta diantar ke RS. St.Carolus. Namun saat taksi tiba di Rumah Sakit, Yan sudah meninggal dunia.

Bertemu mas Edy Asmoro membangkitkan kenangan akan Yan Sunyata. Lewat orang seperti mas Edy, nampaknya Pastor Yan tidak pernah mati, masih terus hidup, terus memberi semangat dan inspirasi bagi siapa saja yang pernah mengenalnya!

Heri Kartono

Senin, 10 November 2008

Datanglah ke Roma:



KALAU MAU BUKA-BUKAAN ATAU

BERCIUMAN BEBAS!

Banyak yang merasa kesal, geram bahkan frustrasi karena ditetapkannya Undang-undang Pornografi di negeri kita, Indonesia (30/10/08). Bali adalah salah satu daerah yang secara terang-terangan dan terhormat menentang disyahkannya Undang-undang tersebut.    

Orang yang tinggal di Roma, seperti orang Brebes ini, justru merasakan suasana yang amat lain. Bila anda jalan-jalan di kota Roma, apalagi cuaca sedang bagus, jangan kaget kalau dimana-mana anda melihat orang bermesraan. Ada yang berpelukan, berciuman atau berpangku-pangkuan. Mereka bermesraan bisa di Taman Umum, di Piazza, di atas Bus Kota, di teras rumah atau di mana saja. Umumnya memang anak-anak muda; tapi orang dewasa alias bapak-bapak juga tidak sedikit. Pergaulan dalam soal seperti itu di kota ini memang biasa. Cara berpakaian juga bebas. Dalam banyak acara RAI,  TV Nasional Italia, para selebritis hampir selalu tampil dengan dandanan super minim.

Di Roma, seperti umumnya kota-kota di negeri Barat, orang bebas berekspresi. Sejauh sesuatu dilakukan suka sama suka, undang-undang menjamin kebebasan berbuat. Bebas tidak berarti boleh melakukan tindakan semau kita. Mencolek pantat orang yang tidak kita kenal, misalnya, bisa panjang urusannya. Pelecehan seksual sekecil apapun, akan dituntut, apalagi terhadap anak di bawah umur. Kendati bebas, namun tetap ada sejumlah aturan main baik berupa undang-undang hukum maupun sopan-santun masyarakat yang tidak tertulis.

Di negeri yang bebas ini penghormatan terhadap sesama justru besar. Bila ada seorang tua masuk Bus Kota yang penuh sesak, hampir pasti orang terdekat secara spontan (dan rela) memberikan kursinya. Orang sakit dan cacat pasti akan mendapat prioritas dimanapun juga. Kasus perkosaan sangat jarang kita baca dalam koran-koran. Sebagai kota turis yang terkenal, banyak pencuri (umumnya para Gypsy pendatang) bergentayangan di kota Roma. Saya belum pernah mendengar ada pencuri yang tertangkap lantas digebuki, apalagi sampai babak belur. Bila pencuri tertangkap basah, tidak ada satupun orang yang akan memukulnya. Orang akan menyerahkannya kepada polisi atau malah membiarkannya pergi begitu saja!!

Indonesia tentu saja tidak sama dengan Roma/Italia. Orang-orang kita, bangsa kita adalah bangsa yang santun, ramah dan memiliki tata-susila yang luhur. Kita mengakuinya sebagai warisan budaya turun temurun dari nenek-moyang kita yang harus kita junjung tinggi. Hanya, terkadang saya bertanya dalam hati: “Mengapa di negeri yang santun ini justru banyak terjadi pelecehan seksual bahkan perkosaan?. Mengapa banyak bayi tak berdosa dibuang begitu saja di tempat sampah?; Mengapa juga pencuri harus dihakimi secara keji bahkan dibakar sampai mati? Bukankah ada polisi dan hakim yang bertugas untuk mengadili mereka?".  Barangkali musti mencari jawabnya pada rumput yang bergoyang....!

Heri Kartono (Foto ini diambil diam-diam di Taman Umum, sengaja tidak terlalu close-up)

 

Minggu, 09 November 2008

Din Syamsuddin di Roma


PAKAI GAYA SEBRANG!

Tiga jam makan malam bersama Prof. Dr. HM. Din Syamsuddin berlalu cepat sekali. Tentu saja karena percakapan, terutama dari Din Syamsudin memang menarik. Jamuan malam ini bertempat di KBRI Vatikan (05/11/08) atas undangan pak Dubes , Suprapto Martosetomo. Hadir delapan orang, termasuk pejabat Dubes RI untuk Italia.

Din Syamsuddin, ketua PP Muhammadiyah, datang ke Roma untuk menghadiri dialog tokoh Islam dan Katolik dunia di Vatikan. Pria ramah kelahiran Sumbawa Besar (31/08/58) ini pandai bertutur, terutama tentang dunia agama dan politik yang digelutinya. Ia lulusan IAIN Jakarta dan meraih gelar doktornya di University of California, Los Angeles (UCLA), AS.

Menurut Din, para tokoh agama musti sering bertemu. Din sendiri beberapa kali diundang oleh KWI, PGI dan pelbagai pertemuan dialog antar tokoh agama baik di tingkat nasional maupun internasional. Dengan bertemu serta mengenal satu sama lain, akan memudahkan komunikasi. Para tokoh agama, menurut Din, harus mewaspadai dan memisahkan antara kasus kriminal dengan agama. “Biarkanlah kasus kriminal ditangani oleh negara dan jangan dicampur adukkan dengan masalah agama!”, ujarnya gemas.

Tentang dialog agama di Indonesia, menurut Din Syamsuddin, sudah waktunya untuk lebih terbuka. Din berkata dengan nada seloroh: “Jangan pakai gaya Jawa, senyum-senyum sambil membawa keris di pinggang. Kita perlu pakai gaya sebrang, blak-blakan mengungkapkan masalah kita dan mencari pemecahannya bersama”, ujar Din, disambut tawa yang hadir.

Prof. Din Syamsuddin berharap, di masa yang akan datang dialog harus lebih komprehensif. Maksudnya, dialog tidak hanya dilakukan antar tokoh agama namun juga perlu dihadiri kalangan politikus, media massa dan pengusaha. Sebab, banyak persoalan yang seolah-olah masalah agama, sebenarnya adalah masalah politik, ekonomi atau sosial. Kemiskinan, misalnya, kerapkali menjadi sumber munculnya pelbagai persoalan. “Dialog dan pemecahan masalah sebaiknya dilakukan sekaligus”, ujar wakil ketua umum MUI ini.

Dengan jabatannya sebagai Ketua Umum Muhammadiyah, Wakil Ketua Umum MUI dan lebih-lebih dengan kemampuannya untuk berdialog dengan banyak kalangan, Din Syamsudin kerap dipandang sebagai sosok pemimpin umat Islam yang pas.

Heri Kartono, OSC (Foto: Prof. Dr. Din Syamsuddin bersama Dubes RI untuk Vatikan, Suprapto Martosetomo, sesaat menjelang santap malam).

Minggu, 02 November 2008

dr. Kelly Munazar


GARA-GARA RELA BERKORBAN

Dialah pemrakarsa tour/ziarah RS.St.Boromeus Bandung ke Lourdes (10-22 Oktober 2008). Drg. Tina turut membantu dalam teknis pelaksanaannya. Terhimpun 74 peserta terdiri atas para dokter, perawat serta karyawan Rumah Sakit. Sebagian di antara mereka ada juga yang mengajak kerabatnya.

Tidak gampang mengupayakan suatu tour besar semacam ini. Para peserta harus menabung selama hampir dua tahun penuh. Kesulitan datang silih berganti mulai dari kekurangan dana, pembuatan paspor (banyak yang baru pertama kali) dan pemohonan visa. Menyedihkan bahwa ada dua calon peserta yang ditolak permohonan visanya oleh kedutaan Italia.

Selama berkeliling di Eropa, rombongan besar ini dibagi dalam dua kelompok, dengan bus berbeda. Umumnya kami makan di restoran yang sama dan tinggal di hotel yang sama pula. Pernah, kami makan di restoran berbeda, juga hotel, maklum rombongan besar. Tidak semua acara tour berjalan sempurna, memang. Misalnya, salah satu bus sempat mogok di Paris dan harus diganti. Di Amsterdam, saat hendak kembali ke Indonesia, pesawat tidak jadi terbang karena beberapa menit sebelum berangkat diketahui ada kerusakan. Penerbangan di tunda satu hari (banyak yang malah senang bisa menginap serta makan-minum gratis dan konon dapat kompensasi dari asuransi!). Selebihnya, boleh dikatakan ziarah berjalan lancar.

“Ziarah ke Lourdes ini dapat terselenggara, terutama berkat inisiatif dr.Kelly”, ujar seorang perawat dengan nada haru. Perhatian dr.Kelly diakui dan diungkapkan beberapa peserta ziarah dalam perjalanan. Dokter anak yang amat laris dan kerap praktek hingga larut malam ini memang dikenal mempunyai kepedulian, berhati baik dan rela berkorban. Mungkin lantaran mau berkorban pula, dialah satu-satunya peserta yang kecopetan. Paspor dan sebagian uangnya disikat copet saat asyik membuat foto-foto di menara Eifel, Paris. “Tidak apa dok, banyak pasien menunggu, mengganti uang yang hilang….!”

Heri Kartono, OSC

 

 

Selasa, 28 Oktober 2008

RS.Boromeus (Ziarah).


JATAH TOUR LEADER

Memimpin rombongan ziarah banyak juga enaknya. Itu pengalaman saat diminta Terra Santa mendampingi kelompok RS. Boromeus Bandung ke Lourdes (10-22 Oktober 2008). Enaknya, pertama-tama tentu saja bisa jalan-jalan gratis. Di dalam bus, selalu mendapat tempat terbaik, paling depan dengan pemandangan amat leluasa. Memang ada alasannya, supaya dapat menjelaskan dengan lebih baik (lagian microphone juga ada di depan). Tentu saja segala informasi terkait harus kita siapkan sebelumnya.

Enak lainnya, kebetulan rombongan kami kompak dan orang-orangnya menyenangkan. Jadi, nyaris di sepanjang jalan, kami menikmati saat-saat bersama: nyanyi, saling tukar joke, sharing pengalaman, juga doa rosario (biasanya saking khusuknya, saya suka tertidur!). Di samping itu, ada juga kejutan-kejutan yang menyenangkan selama di perjalanan.

Dengan bus turis yang nyaman, kami mulai perjalanan dari Roma, Assisi, Pisa, Monaco, Nice, Lourdes, Nevers, Paris, Brussels dan berakhir di Amsterdam. Kemanapun pergi, para peserta (terutama sih ibu-ibu) nggak tahan untuk tidak berbelanja. Tour Leader sekaligus boss Terra Santa, pak Talieb Halim, biasanya dengan susah payah ngoprek-ngoprek peserta supaya tidak terlambat. Sekali-kali saya membantu pak Talieb mengingatkan peserta untuk tidak terlalu lama belanja.

Waktu di Assisi banyak peserta masuk sebuah toko souvenir. Sebagian besar memang belanja, lama lagi. Beberapa kali saya masuk toko untuk mengingatkan peserta bahwa waktunya sudah habis. Saya juga sempat membantu beberapa peserta berkomunikasi dengan pemilik toko.

Sesudah peserta terakhir keluar, sayapun beranjak mau keluar. Tiba-tiba pemilik toko memanggil. Suami-istri ini bertanya dengan ramah: "Lei e’ un capo di questo gruppo?" (Apakah anda pimpinan rombongan?). Ketika saya mengiyakan, serempak mereka mengatakan: "Un momento per favore!" (Mohon tunggu sebentar!). Tanpa saya duga, mereka membungkus hadiah, sebuah salib cantik dan sebuah lukisan ikon sambil berpesan dengan senyum lebar: "Jangan lupa, kalau ke Assisi lagi, bawa rombongan ke sini ya….!" (Heri Kartono OSC)

Senin, 27 Oktober 2008

Lafayette Paris


BERUNTUNGLAH MEREKA…

Lafayette yang terletak di Boulevard Haussmann 40, Paris, adalah sebuah galeri/pertokoan bergengsi di jantung kota Paris. Di kompleks yang besar dan mewah ini kita dapat membeli apa saja: pakaian, tas, sepatu, souvenir, jam tangan… Hanya memang harga-harga di sini tak terkira, meski dengan iming-iming tax free. Sepertinya penjual menempelkan harga-harga sambil main-main. Yang pasti, hanya barang bermerk terkenal saja dijual di tempat ini seperti produk Louis Vitton, Hermes, Gucci. Sepatu asal Cibaduyut bukan tempatnya di toko ini.

Galeri Lafayette yang besar ini terasa sempit saking banyaknya pengunjung yang datang. Hampir semua rombongan turis akan diantar ke tempat ini untuk berbelanja. Turis-turis dari Cina, negara yang miskin itu, tergolong paling banyak berbelanja di tempat ini. Konon, tahun-tahun sebelumnya, turis Asia didominasi turis Jepang. Tentu saja rombongan dari Indonesia juga tidak ketinggalan, selalu ada. Rombongan kami diberi waktu 2 jam penuh untuk berbelanja. Beberapa ibu mengeluh bahwa waktunya terlalu singkat. Namun, tidak semua peserta senang berbelanja di tempat ini. Peserta asal Brebes hanya bertahan 5 menit berada di pertokoan Lafayette ini. Orang Brebes nampaknya pusing melihat harga-harga dan terutama melihat banyaknya ibu-ibu yang berseliweran mengejar waktu. Ia lebih nyaman menghirup udara di luar menikmati keramaian kota Paris sambil sekali-kali melirik jualan di kaki lima.

Kita patut menghargai orang-orang yang mempunyai cita-rasa tinggi dalam berbusana maupun menyandang barang-barang. Kalau mereka mau dan mampu, mengapa tidak? Namun, beruntunglah mereka yang merasa bahagia dengan apapun yang ia peroleh dalam hidupnya…

Heri Kartono.

Selasa, 21 Oktober 2008

TAMU.


MENGANGGAP RUMAH SENDIRI

Biara-biara di Roma umumnya menyediakan juga beberapa kamar untuk tamu. Maklum, Roma kerap menjadi tujuan wisata dan orang ingin menginap di tempat yang aman. Rumah kamipun menyediakan beberapa kamar untuk tamu. Nyaris sepanjang tahun tamu silih berganti, umumnya dari Belanda, Belgia dan Amerika Serikat, kenalan-kenalan kami. Kadang-kadang juga dari Indonesia.

Dibanding tinggal di hotel, tarif di biara memang lebih murah, nyaris separuhnya. Kami menyebutnya sumbangan, karena memang bukan hotel. Meski demikian, untuk kantong Indonesia.. ya tetap mahal. Maklum nilai Euro amat tinggi. Para tamu biasa makan pagi bersama dan rekreasi sore bersama kami juga. Rekreasi artinya ngobrol sambil minum-minum, terutama sih anggur. Anggur di Italia hanya sedikit lebih mahal dari Aqua dan sudah tergolong anggur standar. Anggur jenis ini biasa disebut Vino da Tavola (Anggur Meja). Tentu saja anggur yang harganya amat mahal juga banyak.

Bertemu beragam tamu adalah pengalaman yang menyenangkan, memperkaya. Pada umumnya para tamu memang sopan dan bersahabat. Tamu-tamu dari Indonesia biasanya sih lebih disukai karena ramah dan ringan tangan. Kadang-kadang juga bersedia membantu masak atau cuci piring.

Kami mengusahakan agar para tamu merasa seperti di rumah sendiri, betah dan nyaman. Mereka memiliki kunci sendiri, bisa keluar masuk kapan saja. Umumnya tamu memang merasa demikian. Hanya, pernah ada tamu yang benar-benar merasa di rumah sendiri. Mereka ngobrol sampai larut malam di ruang rekreasi, bikin gaduh dan…. menghabiskan minuman terbaik kami (yang biasanya hanya kami keluarkan pada hari-hari besar saja!). Ternyata, tamu juga manusia…

Heri Kartono (Foto: adalah tamu-tamu yang baik!).

Kamis, 09 Oktober 2008

Fontana Trevi


KE ROMA AKU KAN KEMBALI!

     Lemparlah sebuah uang koin dan anda akan kembali lagi ke kota Roma! Begitulah salah satu kepercayaan orang bila berkunjung ke Fontana Trevi. Fontana (Air Mancur/Sumber air) Trevi adalah salah satu Fontana yang terindah dari sekitar 125 fontana yang tersebar di kota Roma! Fontana ini merupakan karya terbaik arsitek Nicolo  Salvi yang mengerjakannya atas perintah Paus Clement XII. Nicolo Salvi membuat Fontana ini pada sebuah sumber air yang sudah ada yang disebut  Acqua Vergine (Air Perawan). Ia memulai karya besarnya ini pada tahun 1732 dan selesai pada tahun 1762.  Panjang Fontana ini 20 meter sedangkan tingginya 26 meter. Semuanya terbuat dari marmer.

     Disebut Trevi karena Fontana ini terletak pada persimpangan tiga jalan (Tre Vie bahasa Italia artinya Tiga Jalan). Fontana Trevi memang bagus sekali. Tiada hari tanpa turis di tempat ini. Pada musim yang paling dinginpun, tempat ini tetap dikunjungi turis. Bila anda berkunjung ke tempat ini pada musim semi atau musim panas, bersiaplah untuk berdesak-desakan dengan sesama pengunjung. Semua ingin berebut untuk berfoto dan lebih-lebih untuk melempar uang koin dengan cara membelakangi Fontana. Dengan melakukan pelemparan uang, orang percaya bahwa suatu saat pasti akan kembali lagi ke kota Roma. Suasana di tempat ini memang menyenangkan dan romantis. Karenanya tidak mengherankan, banyak pasangan muda-mudi berpacaran gaya Roma, lengkap dengan peluk-cium yang mesra secara terbuka.

     Dulu, saya pernah mengunjungi tempat ini. Waktu itu secara iseng, saya ikut melempar koin seperti orang lain. Dan ternyata saya memang kembali lagi ke Roma hampir dua puluh tahun kemudian! Kepercayaan atau mitos semacam itu sebenarnya dimiliki oleh hampir setiap masyarakat. Di Bali ada pantai yang indah namun jarang dikunjungi orang yang sedang pacaran. Pasalnya ada mitos yang mengatakan, bila orang sedang pacaran mengunjungi pantai ini, percintaan mereka akan putus di tengah jalan. Kendati hanya sekedar mitos, muda-mudi Bali tidak mau ambil resiko kehilangan sang kekasih dengan mengunjungi pantai tersebut.

     Tradisi kepercayaan seperti itu sebenarnya tidaklah jelek, malah mungkin positif. Dengan cara itu, orang lebih termotivasi untuk berbuat sesuatu secara lebih terfokus atau menghindari perbuatan buruk yang berakibat negatif bagi hidupnya. Namun, tradisi kepercayaan semacam itu bisa menjadi negatif bila kita  menggantungkan nasib hidup hanya berdasarkan mitos tanpa melakukan usaha apapun.

Heri Kartono

NB:

Saya sedang berfikir untuk mengambil kembali uang yang pernah saya lempar dulu. Soalnya sudah mulai bosan di Roma dan ingin kembali ke kampung halaman….!

Selasa, 07 Oktober 2008

Devie Kusumaputri


KETIKA NONI BERTUTUR

Nama resminya Devie Kusumaputri, namun biasa dipanggil Noni. Orangnya gampang akrab karena memang pandai bergaul. Ia bisa menempatkan diri dengan tepat dalam banyak tempat dan situasi. Yang paling menyolok dari anak Jakarta ini adalah kemampuan verbalnya dalam berceritera. Ceritera yang sederhanapun, lewat mulutnya menjadi memikat. Gaya berceritera, intonasi maupun pemilihan kata-katanya serba pas. Di atas semuanya, kita bisa merasakan bahwa ia berceritera sepenuh hati.

Sebetulnya bukan hanya dalam berceritera Noni memikat. Dalam bergaul, berkomunikasi dengan orang lain, Noni pandai membuat lawan bicaranya betah. Barangkali alasan paling mendasar, Noni memiliki kepribadian yang baik. Ia tumbuh dalam keluarga yang rukun. Dengan papi, mami serta Eka, kakaknya, Noni merasa nyaman. Satu sama lain memiliki rasa keterikatan yang tinggi. Di manapun mereka berada, selalu ada keinginan untuk berkontak, bersenda gurau. Dan itulah yang mereka lakukan. Dan itu pula yang pada gilirannya saling memberi kekuatan.

Papi-mami Noni adalah orang tua yang telah makan asam garam kehidupan. Kehidupan agama mereka sehat dan kuat. Barangkali karena kedua orang tua ini menemukan serta menghayati imannya lewat pengalaman konkrit hidup mereka. Dalam beberapa peristiwa penting, mereka merasa Tuhan memberi jalan, mengasihi mereka. Suasana iman orang tua yang kental ini diwariskan kepada kedua anak mereka, termasuk Noni.

Tiga hari bersama Noni dan kedua orang tuanya adalah hari-hari yang menyenangkan. Terima kasih sudah mengenal Noni, juga papi dan mami. Salam untuk papi yang rupanya terkesan dengan orang Aceh!

Heri Kartono.

Jumat, 03 Oktober 2008

Hazi Mustafa, Roma.


BARANG HALAL

Setiap sore kami bergiliran untuk menyiapkan makan malam. Biasanya sih hanya memanaskan sisa-sisa makanan siang. Kalau tidak ada sisa, ya musti memasak sesuatu. Ada kawan yang senang dan pandai masak. Masakannya bervariasi, enak lagi. Temen dari Belgia selalu masak kesukaannya, antara lain panekuk. Kawan dari Brasil kadang membuat “nasi campur”, maksudnya nasi dicampur segala bumbu. Lumayan enak juga. Namun, ada juga yang dari waktu ke waktu hanya tahu satu resep: nasi goreng. Yang terakhir ini orang dari Brebes! Masih untung nasi gorengnya bisa dimakan dan tidak bikin sakit perut orang…

Untuk yang masak, diberi kebebasan mencari bahan-bahannya sendiri, sesuai kata hatinya. Belanja paling gampang tentu saja ke supermarket. Tapi, kami orang Indonesia, lebih suka pergi ke Mercato Esquilino, pasar dekat Piazza Emmanuelle. Di sini banyak dijual sayur-sayuran segar. Segala bumbu dari daerah tropis juga tersedia, murah lagi. Penjualnya banyak orang dari Asia, terutama Pakistan dan Cina.

Beberapa hari yang lalu, saya dan kfr. Budiman belanja ke Esquilino ini. Senang bisa merasakan suasana pasar, bersih dan nyaman. Saat kami beli kacang panjang, pemiliknya bertanya dalam bahasa Italia: “Voi siete Malaysiani?”. Kami jawab: “No, noi siamo Indonesiani!”. Waktu mendengar Indonesia, dia senang sekali dan langsung memberi salam: Assalamualaikum. Kamipun menjawab ramah: Mualaikumsalam! Kemudian dia memperkenalkan diri. Namanya Hazi Mustafa, asal dari Pakistan. Sesudahnya bapak Mustafa ini memberi kartu nama dan berpesan dengan serius bahwa di kiosnya semua barang dijamin halal, tidak seperti di tempat lain. Pesan paling akhir, dan ini yang penting: “Datanglah selalu ke kios kami!”

Malam itu Kfr. Budiman masak enak sekali. Mungkin lantaran bahan-bahannya semuanya barang halal…(Dimuat di Berita Paroki Pandu, Maret 2011)

Heri Kartono.

Kamis, 02 Oktober 2008

KBRI Vatikan.



LEBARAN DI KBRI VATIKAN

Acara di KBRI Vatikan selalu menyenangkan untuk saya. Bukan apa-apa, acara di KBRI artinya ada makan enak, masakan Indonesia, gratis lagi! Tiap hari di komunitas saya makannya masakan Italia, enak juga sih. Tapi, kalau ketemu masakan Indonesia, lidah jadi lebih bergoyang!

Kemarin malam (01/10/08) ada acara Lebaran di KBRI Vatikan. Saya bersama Glen, Mammouth dan Budiman datang jam 18.30. Pak Dubes, Suprapto Martosetomo bersama istri menyambut kami di pintu masuk. Bapak-ibu Suprapto ini memang amat ramah dan simpatik. Tanpa basa-basi, kami langsung dipersilahkan ke Wisma, tempat perjamuan. Sebagian tamu sudah datang, ngobrol sambil menikmati hidangan. Saya sempat bingung karena banyaknya pilihan makanan dan minuman.

Pertama-tama saya ambil Mie Bakso panas, plus sambelnya. Saking semangatnya makan, keringat sampai bercucuran. Betul-betul masakan Indonesia. Sesudah itu, menuju meja menu utama. Di sini ada dua pilihan, masing-masing menarik. Pilihan pertama: ketupat atau nasi dengan opor, sambel goreng dgn pernak-pernik makanan ringan. Pilihan kedua: ketupat/nasi dengan gulai kambing dan gorengan plus kerupuk. Akhirnya saya ambil opor dan sambel goreng sambil mata tetap memandang gulai kambing…

Sebagian dari kami menikmati makanan sambil duduk namun sebagian besar sambil berdiri dan menyapa banyak orang. Makanan serta minuman pencuci mulut juga tersedia berlimpah.

Cukup sering KBRI Vatikan mengadakan acara untuk kami. Salah satu acara tahunan yang menarik adalah piknik bersama keluar kota. Acara ini kerja-sama antara Irrika dengan KBRI. Pada acara ini, KBRI biasanya menjadi sponsor utama, meski kami juga ikut membayar ala kadarnya! KBRI Vatikan masyarakatnya terbatas dan dari kalangan tertentu. Mungkin itu yang membuat KBRI Vatikan menjadi sedikit berbeda dengan KBRI lainnya. Yang jelas, kami menikmati keramahan maupun pelayanan mereka terhadap kami selama ini. Terima kasih pak Dubes atas santapannya yang uenak tenaaan…! Minal aidin, mohon maaf lahir batin!

Heri Kartono OSC.

Senin, 29 September 2008

André Notelaers OSC






SEHAT DAN MENIKMATI HIDUP

André Notelaers OSC, salah satu anggota komunitas kami, hari ini merayakan 50 tahun hidup membiara (29/09/08). Perayaan diadakan secara sederhana di antara kami saja. Selain misa di Gereja, kami rayakan dengan makan siang bersama. James Hentges membuat steak yang empuk dan enak, sementara ibu Maria membuat pasta dan dolce spesial. Ruang makan dihias khusus oleh James, ketua rumah kami.

André Notelaers orang yang lurus hatinya. Ia baik dan gampang jatuh kasihan pada nasib orang lain. Kebaikan hatinya kerap dimanfaatkan orang jahat. Beberapa kali ia ditipu mentah-mentah. Pernah, kami semua marah atas kebodohannya. Ia sendiri juga ikut menyalahkan dirinya. Maklum, nilai uang yang dilarikan si penipu waktu itu lumayan besar jumlahnya. Meski demikian, ia tak pernah kapok berbuat baik, menolong orang lain.

André orang Belgia, berbahasa Belanda. Sebelum pensiun, ia lama bekerja sebagai guru bahasa Perancis di negerinya. Di rumah kami, ia yang paling mahir berbahasa Italia. Ia mengerti bahasa Inggris namun nampaknya ia tidak menyukai bahasa tersebut dan selalu menghindar berbahasa Inggris. Ia juga pernah beberapa tahun tugas di Kongo, Afrika, mengajar bahasa Perancis.

Usianya sudah 70 tahun lebih, namun fisiknya tergolong prima. Setiap pagi ia bersepeda minimal setengah jam. Malam hari, sesudah makan, ia masih berjalan kaki, juga 30 menit. Bila cuaca sedang bagus dan ia tidak sibuk, ia senang jalan-jalan keliling kota atau bersepeda seharian. Ia bisa makan segala, namun ia tahu benar memilih makanan yang sehat. Ia juga amat suka minum anggur, es krim dan dolce. Semuanya dalam porsi yang wajar. André memang tahu bagaimana menikmati hidup.

Di Roma, André bertugas sebagai rektor gereja kami. Ia amat menyukai tugasnya. Sebagai seorang biarawan, ia selalu tekun memenuhi kewajiban doa harian dan misa. Kewajiban doa sudah mendarah daging baginya. Lima puluh tahun bukan waktu yang singkat. Dengan segala kelemahannya, ia selalu berusaha menjadi seorang biarawan, seorang manusia yang baik. Kami bersyukur memiliki konfrater sebaik André.  Tanti auguri amico!

Heri Kartono.

Selasa, 23 September 2008

Komunitas Roma


THE THREE MUSKETEERS

Komunitas kami tahun ini kedatangan tiga penghuni baru: Julio César Resende, José Cláudio Nilton dan Elione Corréa. Ketiganya dari Brasil dan ketiganya masih muda. Selama ini bahasa yang digunakan dalam komunitas kami adalah bahasa Inggris dan Italia. Dua bahasa ini kami gunakan baik untuk rapat, sembahyang maupun percakapan di ruang rekreasi. Bahasa tidak resmi yang kadang-kadang digunakan adalah bahasa Belanda dan bahasa Indonesia. Dengan datangnya tiga penghuni baru dari Brasil, maka bahasa tidak resmi yang mulai sering terdengar bertambah satu: bahasa Portugis.

Dibanding orang Indonesia, ketiga pemuda Brasil ini tergolong tinggi-tinggi. Di antara ketiganya, José Cláudio Nilton, yang berkulit paling gelap dialah juga yang paling panjang badannya, nyaris 2 meter. Kemanapun dia pergi, José Cláudio musti menjaga kepalanya baik-baik karena tingginya itu. Dengan tinggi seperti itu, dia tidak disarankan untuk ke Indonesia, karena dikhawatirkan akan banyak pintu yang rusak ditabrak kepalanya! Sebagai mahasiswa, José Cláudio tergolong rajin. Sepintas dia nampak cuek, tidak pedulian namun sebenarnya ia selalu bersedia membantu siapapun.

Berikutnya adalah Julio César Resende. Julio mempunyai wajah baby pace, selalu siap untuk tersenyum kepada siapapun. Tidak jelas, apakah dia juga suka tersenyum sendirian…..Yang pasti, Julio memang pemuda yang ramah. Ia mengaku tidak punya hobi. Namun sebagai orang Brasil, ia senang melihat sepak-bola. “Saya musti hati-hati untuk tidak terlalu sering nonton bola. Soalnya saya bisa jadi gila bola”, katanya. Saya pikir dia sudah gila!

Elione kendati sudah berkumis namun kelihatan imut-imut, sedikit pemalu. Di antara ketiganya, Elione paling muda. Tahun ini usianya 28 tahun, satu bulan lebih muda dari Julio César. Kemauannya untuk belajar patut dihargai, termasuk belajar masak. Setiap hari kami memang bergiliran masak untuk makan malam.

Tiga pemuda yang hampir jadi imam ini nampak kompak, seperti The Three Musketeers yang tersohor itu. Tidak jelas berapa lama mereka akan studi di Roma. Yang pasti, kehadiran mereka telah membawa suasana baru yang menyenangkan. Selamat datang konfrater!

Heri Kartono.

Senin, 22 September 2008

Laurent dan Kie Wan


SI MISKIN YANG MEMILIKI RUMAH BERBINTANG

Seorang sahabatnya, entah mengapa, kerap menyebut dia si Miskin. Meski demikian, jangan kira Laurentia Ng Lie Yung ini benar-benar miskin. Lihat saja rumahnya di kawasan Jalan Lesmana, megah seperti hotel berbintang. Rumah bertingkat tiga ini diperlengkapi dengan lift dan pengaman serba elektronik. Maklum, suaminya Michael Yip Kie Wan adalah pedagang alat-alat security dan automation di salah satu pertokoan Banceuy, Bandung.

Lepas dari rumahnya yang hebat, Laurent alias Lie Yung adalah sahabat yang setia. Kesediaannya untuk menolong tergolong tinggi. Setiap kali diminta tolong, selalu ia sanggupi dan tepat waktu lagi. Padahal, sebenarnya Lie Yung ini termasuk jenis wanita sibuk. Ia membuka toko sendiri, terpisah dari toko suaminya. Dalam soal dagang, Lie Yung tergolong pinter dan ulet. Kegiatannya yang lain adalah di YECC, suatu komunitas berbahasa Inggris. Di lingkungan paroki Pandu, Lie Yung pernah menjabat sebagai ketua Lingkungan dan anggota koor. Konon sekarang ia diserahi tanggung-jawab mengurus buletin paroki. Di luar itu, sudah lama ia mengajar bahasa Inggris untuk para calon imam. Sekali-kali ia juga diminta untuk menggalang dana. Last but not least, ia juga suka melancong…

Lie Yung dan Kie Wan dikaruniai 2 anak yang sehat: Ryan dan Priska. Ryan pernah berhasil menjadi juara lomba bintang RRI 2007, kategori seriosa. Kini Ryan meneruskan sekolah interior design di Nanyang Fine Arts Singapore. Adiknya, Priska, masih duduk di bangku kelas 2, SMA St. Aloysius Bandung.

Si Miskin eh…Laurent cenderung optimistik dan terbuka. Kalau ngobrol dengan dia, jangan khawatir akan kehabisan bahan obrolan. Ia selalu punya sesuatu untuk diceriterakan. Maklum, pergaulan serta pengalaman hidupnya amat luas. Biasanya saat berceritera, tangan, tubuh, termasuk matanya akan ikut mendukung apa yang ia ceriterakan. Ia memang seorang penceritera yang antusias dan hidup…padahal ia bukan pemain sinetron!

Thanks Laurent, sudah menjadi hopeng yang luar biasa! Kapan mengundang makan malam lagi?

Heri Kartono.

Minggu, 21 September 2008

Dubai


Ketua TKW

Baru kali ini saya naik pesawat Emirates. Sebetulnya menyenangkan: pesawat bagus, makanan enak, pramugari ramah hanya musti transit 3 kali. Perjalanan menjadi terlalu lama.

Di Dubai transit 4 jam lebih. Bandara Dubai memanjang dengan hiasan pohon-pohon cemara di dalam gedung, lengkap dengan lampu warna-warni. Seluruh lantai dilapisi karpet mewah. Di dalam bandara temparatur selalu sejuk karena ber-AC. Toko souvenir dan makanan tersebar dimana-mana. Supaya bisa sedikit berbelanja souvenir dan minuman, saya menukar sebagian uang Euro saya ke dirham. Lumayan juga dapat hampir 150 dirham.

Saat saya sedang melihat-lihat, ada serombongan wanita Indonesia sedang kebingungan. Mereka rupanya hendak pulang ke Indonesia namun tidak tahu di mana harus menunggu. Kemudian saya jelaskan bahwa pesawat masih 4 jam lagi, gate/ruang tunggunya belum muncul di layar. “Apa itu gate dan kenapa belum muncul pak?”, tanya mereka hampir serempak. Kemudian mereka saya ajak untuk melihat layar pengumuman keberangkatan. “Bapak kerja di kedutaan ya?”, kata salah satu dengan kagum. “Bagaimana kalau bapak kami angkat jadi ketua kami saja?”, kata yang lain. Semua bersorak-sorai setuju.

Saya mencari bangku untuk duduk tapi para TKW lebih memilih duduk di atas karpet. Kami lantas duduk melingkar dan tanpa dikomando mereka mulai berceritera satu demi satu. Dalam waktu singkat, berdatanglah para TKW yang lain dan ikut duduk bersama kami. Ada seorang TKW sudah 21 hari menjadi semacam tahanan Imigrasi. Surat-suratnya tidak lengkap. Ia dilarang keluar dari bandara dan harus kembali ke Indonesia. Nasibnya menjadi terlunta-lunta lantaran tidak ada satupun pesawat yang bersedia membawa dia kembali ke Indonesia, gratis. Seorang lain, laki-laki, juga sudah satu minggu menunggu sia-sia di bandara. Diapun diharuskan pulang. Nama yang tertulis dalam Visa, berbeda dengan namanya. Seorang TKW asal Mataram terpaksa dipulangkan karena selalu sakit-sakitan. Dia diberi tiket hanya sampai Jakarta dan sedikit uang jajan. TKW muda dan kurus ini selalu membawa plastik karena muntah terus-menerus. Ada juga beberapa TKW yang sukses, berhasil membawa uang dan emas, seperti mbak Siti dari Kaliwungu, Semarang.

Saat di dalam pesawat, para TKW ini hilir-mudik berkali-kali. Setiap kali melewati saya, dengan senyum lebar berkata: “Permisi pak!”. Sayapun terpaksa melambaikan tangan, mencoba ramah. Rupanya para pramugari mengamati dan pasti mereka mengira bahwa saya betul-betul ketua TKW. Para TKW ini kebanyakan dari udik, tidak terdidik dan amat polos. Rupanya juga mereka tidak tahu menggunakan WC secara benar, termasuk cara membuka serta menutup pintu WC. Saat transit di Singapore, salah satu WC tidak bisa digunakan lagi karena pintunya jebol, dibuka paksa TKW. Pramugari-pramugari geleng-geleng kepala sambil menatap saya, seolah-olah berkata: “Di mana tanggung-jawabmu pak ketua??”.

Heri Kartono.

Dubai, 18 Juli 2008.

Minggu, 14 September 2008

Agats-Asmat 2.



NANGKA PAK!

Bepergian ke Agats/Asmat selalu menyenangkan, serasa ke negeri entah berantah. Wilayah Asmat terletak di tengah hutan belantara Papua dan dikelilingi sungai-sungai maha besar. Nyaris seluruh tanah Asmat berlumpur sehingga jalanan dan rumah-rumah didirikan sekitar 2 meter dari atas tanah. Ini kali kelima saya berkunjung ke Agats, ibu kota Asmat. Saya berangkat dari Jakarta bersama Tom Carkhuff, propinsial dari AS. Kami naik Garuda berangkat jam 23.30 WIB. Pesawat transit di Denpasar kemudian langsung ke Timika. Sampai di Timika jam 6.30 pagi waktu setempat. Virgil Petermeier (pimpinan OSC Papua), Allo dan Frans sudah menunggu di bandara. Kami memang akan langsung meneruskan perjalanan ke Agats, dengan pesawat Twin Otter Merpati.

Saat saya menulis ini, kami sedang menunggu pesawat lanjutan ke Agats. Menurut kabar, cuaca di Agats hujan dan berkabut, jadi pesawat terpaksa menunggu dulu sampai cuaca dinyatakan OK. Virgil rupanya kenal baik pimpinan bandara. Jadi, kami boleh menunggu di kantornya yang ber-AC dan ada jaringan internet lagi,.. asyiiik juga punya kenalan orang yang tepat!

Ruang pak kepala terasa sejuk dan nyaman sekali. Soalnya, di ruang tunggu umum, selain panas, penuh sesak, baunya juga minta ampun, terutama bau ayam dengan segala tai-nya. Penumpang ke Agats atau ke pedalaman lain, memang banyak yang membawa ayam (hidup). Ayam-ayam malang itu dijejalkan dalam keranjang plastik mereka. Kata petugas, kadang-kadang ada juga penumpang yang nekat bawa anak babi. 

Ada ceritera. Pernah ada penumpang bawa anak babi. Petugas yang melihatnya, melarang dia masuk. Tanpa membantah, diapun pergi. Tak lama kemudian, penumpang ini datang lagi memanggul sebuah karung ukuran sedang. Dengan curiga petugas bertanya: "Bawa apa itu?". Penumpang menjawab: "Nangka pak!".  Akhirnya petugaspun mengijinkan dia masuk pesawat dengan karung nangka-nya itu.

Saat pesawat sudah terbang tinggi, ternyata karung itu mulai bergerak-gerak bahkan mulai menguik keras. Rupanya isinya bukan nangka melainkan anak babi. Petugaspun berang dan langsung menghardik: "Tadi aku sudah tanya dan kamu bilang itu nangka, padahal anak babi?!". Dengan kalem si penumpang menjawab: "Betul pak, ini memang anak babi, namanya si NANGKA!"

Timika, 6 September 2008.

Heri Kartono,OSC.