Selasa, 31 Maret 2009

Karsono (2)


TIDAK HARUS DIRALAT!

Berita kematian kakak sulung saya, A. KARSONO cepat tersebar luas. Maklum, jaman teknologi tingkat tinggi. Berita duka ini menjalar lewat Facebook, beberapa milis yang saya ikuti (milis Irrika, REHAT, Oikumene, Alumni Santo Thomas dan milis Ordo) plus e-mail pribadi. Ada juga yang menyampaikan simpati lewat telpon dan SMS.

Perhatian teman, famili dan kenalan pada saat seperti ini, terasa menghibur dan menguatkan hati. Beberapa kenalan dekat, dengan caranya sendiri menunjukkan simpati yang mendalam. Saya berterima kasih atas semua perhatian yang boleh saya terima pada saat duka ini.

Saya juga tetap berterima kasih pada seorang ibu yang dengan hati amat tulus, menulis di salah satu milis: “Saya menyampaikan duka-cita yang amat mendalam atas kematian bapak KARTONO, kakak kandung dari Pastor Heri. Semoga arwah pak Kartono diterima di sisi Tuhan…..!”.

Ibu ini kemudian (sesudah diingatkan salah satu rekan) meralat sekaligus meminta maaf. Tapi, tidak diralatpun, saya tetap berterima kasih, sekurangnya atas niat tulusnya.

Heri Kartono.

Minggu, 29 Maret 2009

Atanasius Karsono.


SELAMAT JALAN MAS NONO

Kakak sulungku Atanasius Karsono baru saja dipanggil Tuhan. Ia meninggal (di Ciledug-Cirebon) pada hari Minggu, 29 Maret 2009 sekitar jam 20.30 WIB dalam usia 58 tahun. Kami sembilan bersaudara. Adik paling bungsu meninggal dunia saat dilahirkan.

Sebagai anak pertama, Karsono atau kami biasa memanggilnya Mas Nono mendapat banyak perhatian sejak kecil, baik dari orang tua, kakek-nenek maupun saudara-saudara. Bahkan, bapak suka memanggil ibu dengan sebutan Bune Nono (ibunya Karsono!). Namun, sebagai anak pertama pula, apalagi laki-laki, mas Nono menjadi tumpuan harapan orang tua. Waktu itu, orang tua mengirim mas Nono ke Jakarta, untuk kuliah di ABI, Akademi Bank Indonesia.

Mas Nono ini badannya paling besar dalam keluarga kami. Dan memang, dia rajin berolah raga: angkat barbel, sit-up dll. Sejak di sekolah menengah, mas Nono sering berkelahi. Meski demikian, dalam bergaul, mas Nono sangat luwes dan humoris. Ia juga bisa romantis serta pandai main gitar, karenanya ia mudah disukai para gadis.

Orang tua sempat kecewa pada mas Nono sekurangnya dua kali. Pertama, mas Nono tidak selesai dengan kuliahnya. Kedua, mas Nono pacaran dengan Tini, seorang guru, Tionghoa, asal Bandung. Di mata orang tua, Tini bukanlah gambaran menantu yang pas untuk orang Jawa.

Karena tidak direstui orang tua, Mas Nono dan Tini kawin secara sipil. Padahal, Tini juga beragama Katolik dan pernah tinggal di asrama Providentia, Bandung. Sesudahnya, mereka semua masuk Islam, juga ke-empat anaknya. Bapak pernah meminta saya untuk mempertobatkan kembali mas Nono menjadi Katolik. Waktu itu saya sudah masuk Seminari di Mertoyudan. Saya dapat mengerti kekecewaan bapak sekaligus juga rasa malunya. Maklumlah, bapak adalah aktivis dan pemuka agama Katolik. Dengan sopan saya tolak permintaan bapak. Saya katakan bahwa mas Nono dan mbak Tini sudah dewasa, berhak menentukan pilihan hidupnya sendiri. Bapak kecewa dan tidak mengerti jalan pikiran saya sebagai calon pastor! (Saya tidak mengatakan bahwa sebenarnya bapak ikut “andil” dalam pilihan hidup mas Nono).

Dengan segala keterbatasannya, mas Nono berusaha menjadi ayah yang baik. Dan memang ia seorang ayah yang bijaksana. Bila ia ingin menasehati salah satu anaknya, biasanya ia mengajak jalan-jalan atau sekurangnya menciptakan suasana nyaman terlebih dahulu. Dalam saat yang tepat, ia menyampaikan nasihat, harapan atau bahkan kekecewaannya. Dengan cara itu, apa yang ia katakan sungguh meresap bagi anak-anaknya. Keempat anaknya telah menikah dan masing-masing hidup secara mandiri.

Di masyarakat sekitar nampaknya ia amat dihormati. Karenanya berkali-kali ia dipilih terus menjadi ketua RT dan RW di lingkungannya. Kemampuan berkomunikasinya memang luar biasa. Itu kelebihan utama mas Nono.

Dua tahun yang lalu, saat kami mengadakan Reuni besar keluarga Bambang Soedjono (Brebes, 11-12 Agustus 2007), mas Nono sudah terlihat sakit-sakitan. Badannya yang kekar dan berotot sudah layu. Malah, waktu itu dia sudah membawa tabung oksigen kecil karena kerap sesak nafas.

Selamat jalan mas Nono. Doa kami mengiringi kepergianmu. (Heri).

 

Minggu, 22 Maret 2009

Campo Felice



KETIKA SUSTER JATUH TERGULING-GULING

Seorang suster yang baru pertama kalinya melihat salju, merasa senang bukan kepalang. Saking senangnya, saat menuruni gundukan salju, ia tidak hati-hati dan jatuh terguling-guling. Suster ini bukannya menjerit kaget, tapi malah tertawa berderai-derai, lupa pada penampilan yang biasanya ia jaga dengan rapih dan anggun.

Suasana tersebut tidak hanya dialami suster, tapi juga oleh sebagian besar peserta rekreasi. Sebanyak 93 suster, bruder, pastor serta sejumlah keluarga Oikumene dan KBRI Vatikan, mengadakan rekreasi pada hari Minggu, 15 Maret 2009. Rombongan menggunakan 2 bus dan sejumlah kendaraan pribadi. Bapak Suprapto Martosetomo ,Dubes RI untuk Tahta Suci beserta ibu, juga ikut, dengan mobil sendiri. Acara ini diselenggarakan oleh pengurus Irrika (Ikatan Rohaniwan/wati di kota Abadi).

Pertama-tama kami berkunjung ke biara Benediktin di Subiaco, sekitar 1 1/2 jam perjalanan dari Roma. Di biara Skolastika ini kami merayakan misa bersama para rahib Benediktin dan umat setempat. Sesudahnya kami makan siang di salah satu ruangan biara. KBRI Vatikan yang menyediakan makanan, menyiapkan masakan khas Indonesia, termasuk sambal dan kerupuk. Tidak heran sebagian peserta makan dengan amat lahap. “Sudah lama nggak makan rendang nih!”, ujar seorang romo projo yang tinggal di asrama.

Dari Subiaco, perjalanan dilanjutkan menuju Campo Felice, daerah pegunungan yang masih diselimuti salju. Tempat ini merupakan salah satu tujuan rekreasi orang Itali yang gemar bermain salju. Di sini kita bisa melihat hamparan salju sejauh mata memandang. Kita juga dapat naik ke atas pegunungan dengan kereta gantung. Dari atas gunung, orang-orang meluncur turun dengan Ski atau alat-alat luncur lain yang dapat disewa dengan mudah. Di sana-sini, sepeda motor Ski berseliweran saling balap. Demi keamanan, wilayah sepeda motor Ski diberi pembatas sehingga tidak saling mengganggu dengan mereka yang berjalan kaki. Yang jelas, dimana-mana terasa suasana suka-cita orang berekreasi.

Rombongan kami sempat kesulitan mencari tempat parkir. Maklumlah, areal parkir yang begitu luas, telah penuh dengan ratusan kendaraan lain yang telah datang lebih dahulu. Kendati banyak pengunjung, umumnya segala sesuatunya tertata cukup baik. Penjual makanan-minuman, souvenir serta penjaja alat-alat yang disewakan, masing-masing memiliki lahannya sendiri, tidak berebutan. Meski demikian, beberapa suster mengeluh bahwa Toilet Umum-nya kurang bersih.

Jam lima sore, setelah dua jam bermain-main di hamparan salju, kamipun kembali ke Roma. Sepanjang perjalanan, suasana tetap terasa hangat. Di rombongan Bus B, ada beberapa pastor yang pandai membuat orang terpingkal-pingkal karena leluconnya. Sementara beberapa suster dan pastor yang memiliki suara indah, terus memimpin berbagai nyanyian sampai kami semua kehabisan suara. Suasana dalam rombongan Bus A nampaknya tidak jauh berbeda.

Mengalami suasana lepas bebas bersama-sama, sungguh amat menyegarkan jiwa. Kami semua sepakat bahwa acara rekreasi setahun sekali ini amat diperlukan, meskipun beberapa harus jatuh terguling-guling di atas hamparan salju…..

Heri Kartono, OSC (Dimuat di Berita Paroki Pandu).

Sabtu, 21 Maret 2009

Marathon.




HANYA KALAU HUJAN

Johny, seorang pria hidung belang kerap tidur dengan Marlyn, pada saat suami Marlyn tidak di rumah. Suatu hari, saat mereka asyik tidur berdua, mereka mendengar suara mobil suami Marlyn memasuki halaman rumah.

Oh my gosh, suamiku pulang lebih awal. Cepat ambil pakaianmu dan keluarlah lewat jendela”, teriak Marlyn dengan panik. Johny segera menyambar pakaiannya, melompat jendela dan langsung berlari dengan cepatnya. Saat itu hujan sedang turun lumayan deras.

Sesampainya di jalan raya, Johny  baru sadar bahwa di jalan sedang ada marathon tahunan. Apa boleh buat, sambil mengempit pakaian di ketiaknya, ia ikut berlari di sisi jalan.

Sesudah beberapa saat, para pelari marathon yang mengamatinya dengan heran, mulai mendekatinya.

“Apakah anda selalu berlari dengan telanjang?”, tanya salah seorang pelari. 

“Oya…..enak lho,  segaar!”, jawab Johny dengan ceria.

Pelari lain mendekatinya dan bertanya: “Apakah anda juga selalu berlari dengan membawa pakaian di ketiak anda?”

“Betul, kawan. Dengan demikian, saya bisa langsung berpakaian sesampainya di garis finish dan langsung pulang. Praktis kan?!”, jawabnya dengan senyuman.

Pelari ketiga, sambil memandang ke bagian bawah, ikut nimbrung:

“Apakah anda juga selalu berlari sambil mengenakan kondom?”.

“Oo…tidak….hanya kalau hujan saja!”, jawab Johny sekenanya.

(Catatan: 1. Ceritera ini terjemahan dari e-mail tetangga. 2. Foto: Marathon tahunan di kota Roma, Minggu 22/3/09)

Kamis, 19 Maret 2009

Pengalaman Sakit di Roma (Heri Kartono)



LEBIH BAIK SAKIT DI KAMPUNG

Berawal dari sakit perut di bagian kanan di atas pinggang. Waktu itu baru saja mulai santap siang dengan makanan pembuka Spagheti ala Bolognese. Saya menaburkan sambal satu sendok besar di atas spagheti, kebiasaan buruk orang Brebes. Dalam waktu lima menit, perut melilit-lilit, sakitnya bukan kepalang. Saya meringis-ringis dan teringat bahwa ini bukanlah yang pertama kalinya. “Jangan-jangan saya kena usus buntu”, begitu pikir saya.

Beberapa hari kemudian, atas anjuran seorang sahabat, sayapun pergi ke Rumah Sakit Salvator Mundi, Roma. Di RS Internasional ini, saya menemui Dr. Bilotta, dokter langganan sejak saya masih mahasiswa, 23 tahun yang lalu. Bilotta menganjurkan agar saya periksa beberapa hal, sekaligus General Check Up. Menurutnya, ada beberapa indikasi yang mencurigakan. Supaya pemeriksaan dapat berjalan dengan tenang dan semua ongkos dibayar asuransi, sayapun masuk Rumah Sakit (16-19 Maret 2009). Maklumlah, asuransi hanya mengganti bila kliennya dirawat inap di Rumah Sakit.

Hal pertama yang dilakukan adalah pemeriksaan darah dan urine, setelah sebelumnya berpuasa sejak malam hari. Untuk mengambil darah nampaknya bukan perkara gampang. Masalahnya, urat nadi saya terlalu kecil dan tersembunyi. Sang perawat tak bisa menemukannya meski sudah memukul-mukul lengan beberapa kali. Akhirnya seorang suster senior mengambil alih tugasnya. Ia berhasil menemukan urat nadi pada tusukan yang kedua.

Pemeriksaan berikutnya disebut Diagnostica Endoscopica. Seorang suster yang nampaknya sudah ahli, menyuruh saya membuka seluruh pakaian bagian atas. Kemudian alat-alat dipasang pada dada dan perut. Dengan sebuah alat yang dihubungkan dengan layar komputer, suster ini melihat dan merekam kondisi “jeroan” saya.

Sore hari, seorang petugas membawa 2 botol air mineral. “Minumlah dan musti habis. Ini diperlukan untuk pemeriksaan Ecografia Addome Completo satu jam lagi. Dan, jangan kencing sebelum saat pemeriksaan!”, ujar petugas tadi sambil menekankan setiap perintahnya. Dengan susah payah, 2 botol air itu saya minum, meskipun sama sekali sedang tidak haus.

Pada saat pemeriksaan, juga dengan alat yang disambung pada sebuah layar komputer, saya sudah tidak bisa menahan diri untuk kencing. Rasanya air kecing sudah ada di ujung “kran” saya. Tapi dokter Maria Almberger dengan tenangnya berkata: “Air baru sebagian yang turun, kita musti menunggu sekurangnya 10 menit lagi!”. Dengan meringis saya menjelaskan bahwa saya sudah tidak tahan lagi untuk kencing. Akhirnya pemeriksaanpun dilanjutkan. Saya harus berjuang keras supaya tidak mengencingi tangan dokter Jerman yang bersih dan halus itu…Begitu pemeriksaan selesai, saya langsung melompat dan berlari ke kamar kecil. Dan sebelum dikeluarkan secara sempurna, si adik kecil sudah langsung menyemprotkan hujan berkatnya yang melegakan!!

Penyiksaan belum selesai. Makanan yang saya dapat selama di RS nampaknya disesuaikan dengan kebutuhan pemeriksaan. Alhasil, setiap saat hanya sup macaroni setengah mangkuk saja. Hari kedua, selesai sarapan yang amat sederhana, Fransisca sang perawat, masuk dengan senyum amat manis. “Minumlah ini dan harus habis sebelum jam 12 siang!”, ujarnya dengan ramah. Mata saya membelalak melihat 8 botol air/minuman yang dibawa sang perawat…..

Minuman itu rasanya manis, sedikit memualkan. Ketika saya berhasil meminumnya 2 botol, perut saya langsung mual-mual. Berkali-kali saya hendak muntah. Akhirnya, tepat pada jam 12.00 siang, botol kedelapan berhasil saya habiskan. Dan selama itu, saya sudah 9 kali buang air kecil dan 6 kali buang air besar (dalam artian yang sesungguhnya, betul-betul cairan…alias air besaaar!). Dan rupanya cairan 8 botol itu dimaksudkan untuk mencuci habis isi perut saya. Sebagai pelengkap, seorang perawat lain menyuntikkan obat cairan lewat dubur, sesuatu yang amat tidak nyaman. Itu semua diperlukan untuk pemeriksaan RX Torace Clisma-opaco.

Kalau tidak terpaksa, jangan pernah berurusan dengan pemeriksaan Clisma-opaco. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara memasukan sejenis slang kedalam dubur kita. Dari slang itu, dimasukan cairan tertentu. Dengan itu Prof. Dr. A.F. Maccioni dapat mengamati dan merekam bagian perut yang hendak diperiksanya. Dua puluh menit yang menyengsarakan!

Pemeriksaan terakhir adalah Elettro-cardiogramma. Sebuah alat monitor di pasang di bagian dada untuk mendeteksi kondisi jantung selama 24 jam. Saat petugas datang, saya baru bangun tidur siang. Sang petugas medis yang jangkung ini langsung memasang alat tanpa memberi kesempatan saya mandi dulu. Tanpa mandi lebih dari 24 jam, untuk orang Brebes adalah siksaan tersendiri, meski sedang musim dingin sekalipun.

Sesudah segala pemeriksaan yang menyiksa selesai, dokter Bilotta dengan tersenyum menyimpulkan bahwa kondisi saya secara keseluruhan baik-baik saja. Kolesterol sedikit tinggi, juga tekanan darah agak naik (gara-gara dipaksa minum cairan 8 botol, jadi naik darah!). Selebihnya dokter mengatakan OK.

Begitulah kalau sakit di negeri orang. Untuk sakit perut yang tidak terlalu jelas, harus menjalani segala pemeriksaan dan siksaan selama 3 hari penuh. Lebih baik sakit di kampung, tinggal pergi ke Puskesmas. Sakit apapun, pak Mantri akan memberi aspirin, beres. Hanya…..kalau sesudahnya pasien makin parah dan mati, itu memang resikonya!

Heri Kartono.

(Catatan: Ada satu pemeriksaan lagi: RX Stomaco Duodeno. Saya di-rekam/di-rontgen sambil meminum cairan putih. Sebelumnya saya berpuasa dahulu. Pemeriksaan ini terutama untuk mendeteksi saluran pencernaan. Hal yang paling berguna bagi saya dari keseluruhan pemeriksaan ini adalah penjelasan rinci tentang dampak2 kecelakaan yang pernah saya alami lebih 20 tahun yang lalu dan tidak pernah saya sadari!).

Kamis, 12 Maret 2009

Heri Kartono (Tulisan Tan Mariam)




PASTOR DESA

Pastor Heribertus Kartono, OSC – rupanya dia lebih geunah kalau dipanggil Pastor Heri. Lahir di Cirebon, Jawa Barat lebih setengah abad yang lalu. Orangnya sederhana, enak diajak bicara dan bisa masuk ke lingkungan dan kalangan mana saja.

Selera humornya cukup tinggi di balik wajahnya yang “rada serius” itu, sehingga orang sulit membedakan dia sedang bergurau atau serius...

Mimpinya dulu ketika mau jadi Pastor adalah jadi Pastor desa, yang kegiatannya melayani umat dari desa yang satu ke desa yang lain.

Sayang, mimpi itu tidak sepenuhnya dapat diraih, sebab tugasnya selama ini lebih banyak di kota dan tidak langsung berhubungan dengan umat. Sebut saja, beberapa tahun mengajar di Fakultas Filsafat UNPAR, Bandung, menangani majalah Komunikasi di Keuskupan Bandung, delegatus KKI-KKM Keuskupan Bandung pun pernah dipegangnya. Kemudian juga pernah bertugas di Keuskupan Agung Medan, dengan tugas membuka paroki baru, menangani Komisi KOMSOS di Keuskupan Agung Medan sekaligus mengibarkan majalah MENJEMAAT di sana.

Kini, karena tugasnya, ia sudah hampir 4 tahun harus berdomisili di Roma, Italia. Karena tugasnya itu juga, mimpi Pastor desanya pun tercapai, sebagai anggota Dewan Jenderal OSC, ia tidak saja harus berkunjung dari desa ke desa di dalam negeri, melainkan desa-desa di berbagai negara lain ... Rupanya Tuhan memberi lebih dari yang dimimpikannya...

Tan Mariam

BN Karya Kepausan Indonesia

Jl. Cut Meutia 10, Jakarta 10340

Medio 2007.