Minggu, 14 Agustus 2011

Dr.Ir.Sherly Iliana Iskandar, MM



TERSENYUM DAN MENANGIS

“Excellent!”, begitu Prof.Dr.Wasdiman menyatakan kepuasannya atas jawaban-jawaban Ir.Sherly Iliana dalam sidang doktoratnya. Lewat sidang yang menarik, Sherly dinyatakan lulus dengan predikat Cum Laude. Sidang yang berlangsung di Kampus Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung ini (25/07) dihadiri sekitar 75 orang, termasuk 6 orang imam.

Dalam disertasinya yang berjudul Kepemimpinan Sekolah Dalam Perspektif Global, Sherly mengusung terobosan-terobosan baru dalam hal leadership di sekolah. Sherly antara lain memaparkan gagasan tentang Intelligent School. Ada 9 pilar yang menopang Intelligent School, diantaranya Ethical Intelligence, Spiritual Intelligence dan Contextual Intelligence. Apa yang dipaparkan Sherly, selain berdasar study kepustakaan, juga dari hasil penelitian dan survei atas 267 pemimpin sekolah Katolik yang tersebar di Jawa Barat.

Prof.Dr.Abdul Aziz Wahab MA, satu di antara lima penguji, mengingatkan bahwa pengkajian mustinya tidak hanya pada para pimpinan Sekolah, namun juga pada orang-orang yang dipimpin. Kendati demikian, ia mengakui bahwa gagasan yang disampaikan Sherly, tergolong baru, segar dan amat penting.

Pastor Karel Jande Pr, Ketua MNPK yang hadir pada sidang doktorat tersebut, menyatakan kebanggaannya atas prestasi Sherly. “Semangat dan kegigihan ibu Sherly luar biasa!”, ujarnya. Apa yang disampaikan pastor Karel tidak berlebihan. Di tengah kesibukannya sebagai pengusaha dan Ketua Pengurus Yayasan Mardiwijana Bandung, Sherly masih mampu menyelesaikan karya besarnya ini. Tidak heran saat menerima ucapan selamat, Sherly tersenyum lebar sambil berlinangan air mata. Kerja kerasnya selama beberapa tahun terakhir telah membuahkan hasil gemilang. Kini ia berhak menyandang gelar Doktor Ilmu Pendidikan Program Studi Administrasi Pendidikan. Profisiat! (Dimuat di Majalah HIDUP, edisi 14 Agustus 2011)

Heri Kartono, OSC

Minggu, 31 Juli 2011

Chicha AFI Junior II


SEMPAT TIDAK DIDUKUNG

Lagu To Love You More dari Celine Dion yang dibawakan dengan apik oleh Chicha langsung memukau hadirin. Sesudahnya, Runner Up Afi Junior II ini meneruskan dengan lagu berikutnya, Biru dari Vina Panduwinata. Chicha yang bernama asli Patricia Agustin ini membawakan lagu-lagu tersebut dalam acara St.Helena Charity Golf Tournament baru-baru ini di Gunung Geulis Country Club, Bogor. Jenderal (Purn) Subagyo AS, mantan Kasad, yang juga hadir pada acara tersebut terlihat ikut menikmati penampilan Chicha.

“Menyanyi adalah kegemaranku sejak aku masih kecil!”, ujar Chicha. Bakat Chicha mendapat dukungan penuh orang tuanya. Maklumlah, ayahnya, Anton Jaya adalah pemain band, sementara ibunya juga penyanyi. Hingga kini Chicha mengaku masih terus berkecimpung dalam dunia tarik suara. Di kampusnya, UBM, Chicha kerap diminta ikut tour keliling Indonesia untuk mempromosikan kampus tsb. Chicha yang melejit namanya lewat Afi Junior II dijadikan sebagai salah satu daya tarik. Gadis cantik kelahiran Jakarta ini (16 Agustus 1992) sering juga diundang kelompok kristiani. Misalnya ia pernah diminta memberi kesaksian dalam acara KRK Paroki St.Andreas, Kedoya atau menjadi Guest Star pada acara Natalan GBI Mawar Saron.

Ada pengalaman yang sempat mengganjal hati Chicha, juga Anton ayahnya. “Chicha mendapat dukungan dari banyak paroki lain namun paroki sendiri malah tidak memberi dukungan. Memasang posterpun dilarang!”, papar Anton, ayah Chicha yang setia mendampingi anaknya. “Itu dulu, ketika Afi Junior sedang berlangsung. Saat ini sih saya merasa didukung paroki juga” ujar Chicha menimpali. Dengan atau tanpa dukungan paroki, Chicha mengaku akan terus bernyanyi. “Itulah talenta saya yang bisa saya persembahkan untuk Tuhan dan untuk sesama”, katanya sungguh-sungguh.

Heri Kartono, OSC (dimuat di Majalah HIDUP edisi 21 Agustus 2011)

Rabu, 13 Juli 2011

Cirebon 3 (Heri Kartono)



ASYIKNYA NGGOWES BECAK!

Dalam rangka setahun meninggalnya kakak perempuan, kami berkumpul di rumah kakak di Cirebon. Saudara-saudara dari Brebes, Bandung dan Jakarta datang semua, termasuk anak-anak mereka. Anak-anak ini ada yang memanggil saya Oom Romo, Pakde dan Mbah Romo. Berhubung acara jatuh pada hari Minggu, kami hanya mengadakan ibadat Rosario saja bersama lingkungan.

Minggu siang, sepulang dari Gereja, acara santai. Sebagian dari kami duduk-duduk ngobrol sambil menikmati aneka macam jajanan yang disediakan “panitia”. Titis, Colleta dan Amel bermain-main di atas becak di halaman rumah. Becak ini milik pak Koding, langganan almarhum kakak. Pak Koding kerap diminta bantuannya membersihkan kebun, mengecat pagar atau apapun. “Pakde, jalan-jalan dong!”, teriak Titis memanggil saya. Seumur hidup belum pernah saya mengemudikan becak. Saya coba-coba, ternyata mudah, minimal tidak membuat saya jatuh. Sayapun mulai menggowes becak sementara Titis, Colleta dan Amel tak henti-hentinya berteriak-teriak kegirangan.

Becak saya bawa kearah stasiun Kereta Api. Maklum, rumah kakak berada persis di balik tembok Stasiun Kereta Api Cirebon. Dahulu almarhum kakak ipar bekerja di PJKA Cirebon. Bambang, ayah Titis, melihat saya membawa becak, langsung mengambil kamera dan berlari-lari mengejar untuk memotret. Mas Bambang ini kameramen RCTI. Meski sudah pensiun, hobby serta naluri memotretnya masih tetap besar. Berkali-kali mas Bambang memotret kami dari pelbagai sudut. Tidak jelas siapa yang lebih bergaya, penumpang atau tukang becaknya!

Menggenjot becak ternyata tidak hanya memerlukan ketahanan fisik tapi juga ketahanan pantat. Pasalnya, becaknya si Koding ini sadelnya keras sekali, hanya sepotong kayu dibalut kain. Meski demikian, kegembiraan yang kami dapat memang tak terlupakan…

Heri Kartono

Senin, 20 Juni 2011

Exorcism


LANGSUNG PRAKTEK

Sebanyak 62 pastor dari Keuskupan Agung Jakarta, Bandung dan Bogor mengikuti pertemuan tentang Exorcisme. Pertemuan ini diadakan di Lembang (15-17 Juni 2011) dengan pembicara Pastor Jose Francisco C. Syquia bersama dua rekannya. Pastor Jose adalah direktur kantor Exorcism Keuskupan Agung Manila, Filipina. Menurut Jose, Exorcism adalah bagian dari pertobatan. Orang yang kerasukan Roh Jahat harus dibimbing agar kembali kepada Tuhan. Sebab, orang yang percaya pada Tuhan dengan segenap hatinya, tak akan bisa dirasuki roh manapun. Sementara dalam proses pelepasan atau pengusiran setan, focus kita adalah pada Tuhan Allah, bukan setan.

Hari Sabtu (18 Juni), saya kembali ke St.Helena. Malam hari, sekitar jam 22.00, HP saya berdering. Rupanya telpon dari ibu Iin yang tinggal di Cluster Taman Beverly Golf. Dengan suara gugup, bu Iin memberi tahu bahwa pembantunya kerasukan setan. Pembantu yang bernama Matilda Enita ini tinggal di salah satu Ruko Asia Millenium milik bu Iin. Ibu yang aktif di paroki ini meminta saya datang untuk menolong. Sayapun menyanggupinya sambil tidak tahu persis apa yang harus saya lakukan. Soalnya, buku Doa Exorcism pemberian Pst. Jose masih dalam bahasa Inggris. Buku itu tetap saya bawa bersama air suci, garam laut dan salib kecil. Semula doa dalam bahasa Inggris akan saya gunakan, namun tidak jadi. Saya khawatir setan-nya kurang berpendidikan… Pak Tjetje yang kebetulan sedang berada di pastoran, menawarkan diri ikut mendampingi saya.

Saat saya datang, Matilda yang kerasukan berada di ruang belakang. Ia dipegangi 4 orang, termasuk pak Asiong, suami ibu Iin yang berbadan besar. Matilda yang masih remaja ini kadang-kadang berteriak dengan suara keras, terkadang tertawa dan saat matanya terbuka, ia melotot dengan tatapan ganas.

Sambil berusaha tenang, saya mengeluarkan peralatan yang saya bawa. Kemudian saya mulai berdoa. Saya tidak tahu doa apa persisnya yang harus didoakan. Hanya, saya ingat pesan Pastor Jose: “Focus kita pada kuasa dan kebaikan Tuhan, bukan pada roh jahat. Ingat juga bahwa doa harus disampaikan dengan segenap hati, penuh percaya!”. Dengan sedikit ragu-ragu saya mulai berdoa. Doa saya akhiri dengan kata-kata (diucapkan dengan suara kurang meyakinkan): “Demi nama Tuhan Kita Yesus Kristus, aku perintahkan, keluarlah engkau dari tubuh anak ini!”. Tak lupa saya membuat tanda salib dengan salib kecil yang saya pegang. Ajaib. Remaja tadi langsung terdiam tenang. Sayapun bersorak dalam hati. Semua yang hadir ikut lega.

Saya terkagum-kagum sendiri dengan keampuhan doa pengusiran ini. Namun, baru 3 menit berlalu, tiba-tiba Matilda kembali menjerit-jerit dan tertawa terkekeh-kekeh seolah-olah mentertawakan saya. Antara bingung dan geram, saya mulai berdoa lagi. Kali ini mencoba lebih focus. Bersama semua yang hadir, saya berdoa Bapa Kami, Salam Maria dan tak lupa menyebut nama Malaikat Mikael, Gabriel serta santo-santo yang dahulu sering berperang melawan setan seperti Johanes Maria Vianney, Fransiskus Asisi, Padre Pio dan tentu saja Bunda Maria. Sesudah hampir satu jam, barulah remaja asal Kalimantan ini benar-benar sadar kembali. Saat membuka matanya, ia mengeluh sakit. Kamipun memberinya minum dan menenangkan dia. Jam 23.30 saya kembali ke pastoran dan langsung tidur kelelahan…

Heri Kartono, OSC

Minggu, 29 Mei 2011

Event Organizer




KETIKA PASTOR DIATUR EO

Hari Sabtu (28 Mei 2011) saya menikahkan sepasang pengantin. Kali ini tempatnya di Katedral Jakarta. Karena perkawinan baru mulai jam 11.00 siang, pagi hari saya masih sempat naik sepeda dulu, olah raga. Selesai olah raga dan mandi, kami (saya bersama dua rekan imam lainnya) sarapan bersama seperti biasanya. Saat sedang sarapan, HP saya di kamar terdengar berbunyi terus menerus. Saya pikir pasti panggilan urgent. Maka saya berlari mengambil HP. Nomor yang muncul tidak saya kenal. Dengan sopan saya bertanya: “Selamat pagi. Siapa ya?”. Rupanya seorang dari EO (Event Organizer) perkawinan. “Posisi pastor sekarang ada dimana?”, tanyanya. Saya jawab: “Lho, perkawinan kan baru jam 11.00 nanti. Saya masih di rumah, sedang sarapan!”.

Jam 09.30 saya berangkat dari St.Helena, Lippo-Karawaci, menumpang mobil pak Jo Hanafi dan bu Lili. Selama perjalanan, HP saya berdering dua kali. Saya malas untuk mengangkatnya karena sedang asyik ngobrol. Hari Sabtu pagi lalu lintas lancar sekali. Sekitar jam 10.15 kami sudah tiba di Katedral. Karena masih ada banyak waktu, saya mampir ke toko buku Kanisius belakang pastoran. HP kembali berbunyi, rupanya mbak EO hendak mengecek “posisi” saya lagi. Lantaran merasa terganggu, HP langsung saya matikan.

Sudah beberapa tahun terakhir EO masuk di lingkungan Gereja. Para pengantin yang nervous menggunakan jasa EO untuk meyakinkan bahwa segala sesuatunya berjalan dengan baik. Hanya, mengatur pastor untuk urusan perayaan liturgi berbeda dengan mengatur orang untuk acara pesta-pesta. Harus diakui ada banyak EO yang memang amat membantu memperlancar acara. Meski demikian, tidak sedikit juga orang EO yang bertindak agak berlebihan. Pernah, di paroki Pandu, Bandung, seorang pastor yang sedang memimpin upacara perkawinan amat marah oleh ulah EO. Sang EO yang merasa diberi wewenang, bertindak agak berlebihan. Waktu itu ia amat sibuk mengatur segala hal, berjalan mondar-mandir selama upacara. Pastor yang sudah berusaha menahan kesabarannya, akhirnya meledak juga. Hampir saja sang EO diusir keluar gereja.

Saya sendiri tidak terlalu terganggu dengan kehadiran EO. Upacara perkawinan berjalan dengan baik dan lancar, sebagian karena jasa EO juga. Hanya, gara-gara EO, HP saya lupa saya hidupkan sampai malam hari. Beberapa umat yang berkepentingan sempat bersungut-sungut karena tidak bisa menghubungi saya… (Foto: Hasil jepretan pak Jo Hanafi).

Heri Kartono, OSC

Senin, 07 Maret 2011

Heri Kartono (Ulang Tahun2)




ULANG TAHUN DAN TULANG AYAM

Ulang tahun pastor paroki biasanya menjadi hajatan umat. Itulah juga yang biasa terjadi di paroki Santa Helena. Tahun ini perayaan ulang tahun saya disatukan dengan penyambutan pastor Bobby Harimaipen OSC yang baru mulai bertugas.

Panitia acara ,yang dimotori Pak Benny Sugiarto, membuat sejumlah kejutan. Pastor Bobby yang belum dikenal umat, disamarkan sebagai penjual bakso. Pak Ernst, ketua Dewan Paroki, sempat bingung saat diminta untuk menemukan pastor yang baru ini.

Kejutan selanjutnya ditujukan untuk saya. Diam-diam panitia telah mengundang dan berhasil menghadirkan sejumlah orang istimewa yaitu Propinsial OSC, Pastor Anton Subianto OSC dari Bandung, keluarga Ganda Kusuma dari Pasar Minggu, Pasutri Benny-Diana dari Bandung dan adik bungsu saya bersama keluarganya. Tentu saja kehadiran mereka mengagetkan namun amat menyenangkan. Panitia juga, dimotori pak Jo Hanafi, berhasil mengumpulkan banyak foto saya. Foto-foto yang berasal dari sekitar 10 sumber ini ditayangkan di layar lebar. Lewat tayangan tsb umat diajak mengikuti perjalanan hidup saya sebagai imam.

Untuk menghibur umat yang hadir, ditampilkan beberapa atraksi, antara lain Tarian break dance serta St.Helena Children Choir. Acara ditutup dengan makan malam bersama. Saya berkeliling mencicipi semua makanan yang ada sambil menerima sekitar 250 jabat tangan umat yang hadir.

Esok harinya (tanggal 3 Maret) saya bangun seperti biasanya, jam 05.00 pagi. Seperti biasanya juga, hal pertama yang saya lakukan adalah “buang hajat”. Acara rutin kali ini sedikit mengalami gangguan. Ada yang nyangkut dan menyakitkan di “pintu keluar” . Selama hampir 15 menit saya berusaha mengorek-ngorek benda tajam yang menyakitkan itu, namun gagal. Akhirnya, saya memakai celana dan bergegas meluncur ke RS.Siloam.

Kepada perawat yang bertugas di UGD, saya jelaskan bahwa dubur saya tersumbat dan sakit. Saya pikir, mereka akan bergerak cepat menolong saya. Rupanya tidak. Ada sejumlah prosedur menjengkelkan yang harus saya jalani terlebih dahulu. Pertama-tama saya diminta untuk menimbang berat badan. Kemudian tensi darah. Selanjutnya menjawab beberapa pertanyaan: “Sudah berapa lama sakitnya pak?”; “Apakah ada alergi obat?”; “Apakah pernah terjadi sebelumnya?”; “Pernah berobat kemari?”. Sambil meringis menahan sakit, saya menjawab interogasi itu. Tak lupa identitas serta alamat lengkap diminta dan dimasukan dalam catatan Rumah Sakit. Sesudah kesabaran hampir habis, barulah saya diminta masuk Ruang Periksa.

Dokter datang didampingi perawat tadi. Dengan posisi “nungging” tanpa celana, saya diperiksa. Dokter langsung menemukan benda tajam yang menyumbat dubur namun tidak berhasil mengeluarkannya. Kemudian, sambil meminta maaf, dokter menyemprotkan cairan pelicin. Akhirnya…, dua buah serpihan tulang ayam berhasil dikeluarkan. Dua tulang kecil tsb harus dibayar senilai beberapa ayam utuh…… Sungguh, ulang tahun yang mengesankan! (Foto2 dari Pak Jo Hanapi)

Heri Kartono, OSC

NB: Terima kasih pada kelompok lansia Simeon-Hanna yang dimotori ibu Subrata atas perayaan yang dilakukan pada pagi/siang harinya.

Minggu, 27 Februari 2011

Detti Kesuma



TERINGAT LIBYA

Libya diguncang kerusuhan. Keinginan rakyat untuk menggulingkan pemimpin mereka, Moammar Khadafy, dibalas dengan tindak kekerasan. Korbanpun berjatuhan. PBB memperkirakan lebih dari 1000 orang tewas dalam kerusuhan. Dunia prihatin dan cemas atas krisis yang sedang terjadi di Libya. Satu diantara orang yang amat cemas adalah Detti Kesuma, seorang ibu muda. Maklumlah, ia bersama keluarganya selama 2 ½ tahun tinggal di Tripoli, ibu kota Libya. Baru setahun mereka kembali ke tanah air dan menetap di Jakarta.

Detti mengaku terkejut dengan maraknya kerusuhan di Libya. Seingatnya, orang-orang Libya itu cenderung santai dan menikmati hidup. Jadi bukan tipe yang agresif. “Kalau kami pergi ke suatu toko, tidak jarang pemiliknya sedang minum kopi sambil ngobrol dengan tetangga sebelah. Mereka baru datang melayani bila pembeli sungguh-sungguh mau membeli sesuatu!”, kenangnya.

Umat Katolik di Tripoli amat akrab satu sama lain. Mungkin karena jumlahnya tidak terlalu banyak. “Saya mengenal baik Mgr. Giovanni Martinelli OFM, uskup Tripoli dan para suster Missionaries of Charity yang berkarya di Tripoli”, ujarnya lagi. Sampai saat ini Detti mengaku masih berkontak dengan warga katolik yang dikenalnya dahulu. Kontak biasanya dilakukan lewat jejaring Facebook atau telpon.

Gereja Katolik di Libya mempunyai beberapa kekhususan, sebagaimana disampaikan Detti: “Kami biasanya pergi ke Gereja pada hari Jumat. Sebab di Libya, hari libur resmi adalah Jumat, bukan Minggu”, tuturnya. Paroki St.Fransiskus, satu-satunya gereja Katolik di Tripoli umumnya dikunjungi umat expatriat, antara lain dari Filipina dan Nigeria. “Tidak jarang umat membawa tradisi dari negaranya. Misalnya, tidak sedikit umat yang membawa persembahan in natura, seperti membawa kalkun hidup di dalam gereja”, kenang wanita berwajah teduh ini. Detti amat berharap semoga kerusuhan yang terjadi di Libya, dapat segera berakhir dengan baik. (Foto: Detti bersama mami dan anak)

Dimuat di Majalah HIDUP edisi 20 Maret 2011

Heri Kartono, OSC

Jumat, 11 Februari 2011

veronica Diaz



NAIK PANGGUNG EMPAT KALI

Empat kali naik panggung dalam kesempatan yang sama, memang luar biasa. Itulah yang dialami Veronica Diaz. Karyawati sebuah bank Swasta nasional ini terpilih sebagai Inspiring E-champ terbaik dan peserta E-champ terbaik kedua nasional. Tak pelak lagi, wanita asal Bandung ini menjadi bintang dari workshop yang diadakan di Hotel Marbella Anyer (13-14 Desember 2010). Workshop sendiri dihadiri 150 peserta dari seluruh penjuru Indonesia. Selain untuk menerima penghargaan, Vero juga diminta naik panggung untuk men-sharingkan pengalamannya dalam memotivasi rekan-rekan kerjanya.

E-champ adalah program pelatihan-pelatihan yang dilakukan lewat internet. Agar e-champ dapat berjalan dengan baik, dibutuhkan sejumlah pelatihan serta workshop. Program ini sendiri bertujuan untuk meningkatkan kinerja bank swasta terbesar di Indonesia tersebut. “Bu Diaz, kebahagiaan ada pada kami memiliki seorang e-champ yang sehebat ibu! Semoga yang lain ketularan semangat ibu untuk terus belajar dan bertumbuh”, ujar Sri Angraini salah satu atasan Vero.

Teman-teman sekantor banyak yang tidak terlalu heran bahwa Vero menyabet prestasi hebat dalam soal e-champ ini. Pasalnya, Vero dikenal amat getol mempromosikan program tersebut kepada rekan-rekan sekantornya di kawasan Gang Tengah Semarang. Selain itu, ia juga dikenal sebagai pribadi yang periang dan kreatif.

Nampaknya prestasi Vero tidak hanya di kantor namun juga di lingkungan Gereja. Di Gereja Katedral Semarang, Vero dikenal sebagai salah satu lektor terbaik. Ia dua kali menjadi pemenang pertama lomba lektor se-kodya Semarang. “Sebetulnya sejak saya masih duduk di bangku SMP, saya sudah berulang-ulang menjadi pemenang lomba lektor!”, ujar wanita berdarah Timor ini. Pengagum Bunda Teresa dari Kalkuta ini mengaku ingin bekerja sebaik-baiknya, entah saat sedang dinilai ataupun tidak. Profisiat! (Dimuat di Majalah HIDUP edisi 23 Januari 2011)

Heri Kartono, OSC

Senin, 03 Januari 2011

Natal dan Tahun Baru


TERIMA KASIH SUSTER!

Natal dan Tahun Baru adalah satu kesempatan baik untuk memberi perhatian. Di masa lalu, hal yang biasa dilakukan adalah mengirim kartu Natal. Pada jaman serba elektronik ini, kartu Natal makin berkurang. Sebagai gantinya, orang lebih menyukai kirim e-mail atau SMS. Alasannya, lebih praktis dan ekonomis selain cepat sampai. Itulah juga yang terjadi dengan saya.

Pada saat Natal dan Tahun Baru kemarin, saya bertubi-tubi mendapat SMS ucapan selamat Natal dan Tahun Baru. Sebagai tanda penghargaan, saya membalas semua SMS yang masuk, meski tidak semua saya kenal. Untuk menghemat waktu, saya membuat satu kali balasan dan dikirim berulang-ulang, dengan penambahan singkat seperlunya. Suatu saat, seorang bapak protes. Lewat SMS ia menulis: “Aduh, sejak kapan saya dipanggil suster?”. Saya kaget sekali. Buru-buru saya cek SMS yang baru saja saya kirim ke bapak ini. Ternyata SMS saya memang tertulis: “Terima kasih SUSTER atas perhatiannya. Selamat Natal dan Tahun Baru juga!”. Ya ampun, rupanya karena terburu-buru saya lupa menghapus kata SUSTER dalam SMS itu. Saya langsung minta maaf pada sang bapak sambil menahan malu…..(Foto: Helena Children Choir sedang manggung di pastoran).

Heri Kartono.