Jumat, 22 Januari 2010

Yoshua Dwi Prasetyo


JUARA FAVORIT

Kawan kita kali ini bernama Yoshua Dwi Prasetyo, biasa dipanggil Joshua. Belum lama ini Yoshua mengikuti lomba piano di kotanya, Cirebon. Joshua yang telah menyiapkan dengan sungguh-sungguh dapat menyelesaikan medley, lagu-lagu Peter Ilyich yang tergolong sulit dengan amat baik. Para penontonpun menyambutnya dengan tepuk tangan panjang. Semua mengira Joshua akan keluar sebagai pemenang pertama. Nyatanya tidak, juara ketigapun tidak. Joshua hanya meraih Juara harapan dua. Tak heran bahwa para pengunjung merasa kecewa. Ketika ditanya komentarnya, Joshua menjawab: “Bagi saya, kalah atau menang tidak menjadi masalah. Yang penting, saya telah mempersiapkan diri dengan sebaik mungkin”, ujarnya. Untunglah, pada akhir lomba, Yoshua dinobatkan sebagai Juara Favorit. Juara yang terakhir ini merupakan pilihan khalayak ramai dan bukan oleh para juri. Nampaknya penonton tetap memberikan penilaian tertinggi kepada Joshua yang dianggap bermain sangat baik.

Joshua yang lahir di Cirebon (26 April 1996) sudah mengenal piano sejak masih TK. Ketika duduk di kelas 3 SD, ia sudah mulai mencoba mengiringi lagu di Gereja. Setahun kemudian, Joshua mulai rutin bermain organ di paroki St.Yusuf, Cirebon hingga kini. Joshua yang gemar makan Nasi Lengko ini pernah juga menyabet juara I lomba piano se-kota Cirebon. Selain bermain piano, siswa kelas 2 SMP Santa Maria Cirebon ini mahir juga bermain organ dan gitar.

Di luar hobinya bermain musik, Joshua tergolong siswa yang cerdas. Nilai rapor-nya kebanyakan 9. Joshua memang juara di kelasnya. Bahkan, sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, Joshua sudah biasa menjadi juara kelas. Meski selalu juara dan memiliki bakat musik yang menonjol, Joshua dikenal sebagai anak yang rendah hati, apa adanya. Teman-temannya mengenal Joshua sebagai seorang yang ramah dan ringan tangan dalam membantu orang lain.

Masih ada kegiatan lain yang sering dilakukan Joshua. Di waktu senggang ia gemar bermain komputer. Di bidang inipun Joshua amat menonjol. Ia dapat menulis dengan cepat, menggunakan sepuluh jarinya. Menurutnya, kemampuannya menulis cepat dengan komputer, sangat membantu menyelesaikan tugas-tugas sekolah, termasuk tugasnya sebagai pengurus OSIS. Joshua memang aktif di OSIS, seksi Kerohanian. Joshua ditunjuk sebagai penanggung jawab seksi Rohani, mungkin karena ia berpembawaan tenang dan kerap aktif di Gereja. Yang pasti, penggemar buku-buku novel ini selalu berusaha menjalankan tugas-tugasnya dengan penuh tanggung-jawab.

Heri Kartono, OSC (dimuat di Majalah HIDUP edisi 24 Januari 2009).

H. Nur Riyaman N


TERKESAN DAN BANGGA

“Saya sangat terkesan dan bangga pernah duduk di sekolah Katolik!”, ujar H. Nur Riyaman N, Sekretaris Daerah Kabupaten Cirebon. Pak Sekda ini memang pernah mengenyam pendidikan di sekolah Katolik sejak TK hingga SMP, yaitu di Sekolah Santo Thomas Ciledug, Cirebon.

“Waktu itu Sekolah Santo Thomas amat dikenal sebagai sekolah bermutu. Disiplin amat ketat diterapkan. Dan sekolah ini memiliki banyak prestasi tidak hanya di bidang akademis tapi juga olah raga dan kesenian”, lanjut Nur Riyaman dengan nada bangga. Lelaki berbadan jangkung ini mengaku bahwa pendidikan yang ia terima di Santo Thomas menjadi dasar yang kokoh bagi jenjang pendidikan selanjutnya.

Sebelum menjabat sebagai Sekretaris Daerah, Nur Riyaman bertugas sebagai Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cirebon. Pernah, dalam rangka menjalankan tugasnya, ia berkunjung ke Sekolah Santo Thomas. Guru-guru yang menerimanya kebanyakan masih muda, tidak mengenalnya. Salah seorang guru menjelaskan panjang-lebar tentang sekolah Santo Thomas. Sesudah selesai penjelasan, Nur Riyaman berkata santai: “Saya tahu pak. Saya juga alumni sekolah ini kok!”. Mendengar itu pak guru tercengang, malu namun juga senang.

Di samping rasa bangga, Nur Riyaman menyampaikan juga rasa keprihatinannya. “Dewasa ini sekolah-sekolah Katolik banyak yang mengalami kemunduran. Demikian juga Sekolah Santo Thomas”, paparnya. Sebagai mantan siswa sekolah Santo Thomas, Nur Riyaman bersedia membantu menaikkan kembali pamor almamaternya. “Saya bersedia membantu sesuai kapasitas yang saya miliki”, tegas Nur Riyaman bersemangat.

Heri Kartono, OSC (dimuat di majalah HIDUP edisi 07 Februari 2010)

Senin, 18 Januari 2010

Inggawati Sutanto


EMPAT JAM DISEKAP PERAMPOK

Setiap kali Inge menceriterakan pengalaman yang mengerikan itu, teman-temannya tertawa terbahak-bahak. Di mata teman-temannya, pengalaman Inge amat lucu dan langka. Inge sadar bahwa teman-teman tidak bermaksud mentertawakannya. Seandainya ia tidak mengalami sendiri, mungkin ia juga akan ikut tertawa.

Pagi itu (Oktober 2009) sepulang berbelanja di toko Yonas, Inge berjalan menuju mobilnya yang ia parkir agak jauh. Jalanan masih agak sepi. Tiba-tiba seorang lelaki dengan kepala tertutup “kupluk” muncul dan langsung menodongnya dengan pisau. “Cepat masuk mobil dan jangan bertindak macam-macam”, gertak lelaki tsb. Inge yang ketakutan, langsung menuruti perintah tsb. Sesudah mengikat kedua tangan Inge, lelaki tsb mengambil kunci mobil dan menjalankannya.

“Saya perlu uang. Beri saya 10 juta dan kamu akan saya lepaskan!”. Gertak lelaki berperawakan kecil itu sambil mengacung-acungkan pisau cutter-nya. Inge hanya bisa terdiam dengan tubuh dan kaki gemetar. Selanjutnya penjahat membawa Inge berputar-putar tanpa arah. Berbagai pikiran buruk sempat melintas di benak Inge: “Jangan-jangan aku dibunuh atau diperkosa atau paling tidak dikuras seluruh hartaku!”, pikirnya dalam hati.

Mungkin untuk mengurangi ketegangan, sang penjahat mulai berceritera tentang dirinya. Suatu saat dia bertanya: “Apakah kamu sudah kawin?”. Inge-pun menjawab cepat: “Belum!”. Penjahat yang mulai genit itu berkata: “Kamu cantik lho. Mau nggak saya jadikan istri yang ke-3”. Tentu saja Inge menggelengkan kepalanya dengan keras.

Sesudah hampir empat jam berputar-putar, sampailah mereka di suatu ATM terpencil di wilayah Soreang. Penjahat meminta Inge untuk mengambil uang sebesar 10 juta rupiah. Inge mencoba menawar dengan mengatakan: “Saya hanya bisa ambil uang maksimal 5 juta dan di dompet saya tidak banyak uang!”. Si penjahat akhirnya mengalah, bersedia menerima 5 juta. Sesudah menerima uang, penjahat berkata: “Saya minta alamat kamu dong. Nanti kalau saya dapat rejeki, uangnya saya kembalikan!”, ujarnya. Antara geli dan takut, Inge menjawab: “Nggak usah, saya sudah rela kok!”. Tentu saja Inge, selain tidak percaya, juga tidak mau ambil resiko sang penjahat datang ke rumahnya.

Penjahat mengucapkan terima kasih sebelum berlalu meninggalkan Inge sendirian. Selama beberapa saat, Inge berdiri mematung. Perasaannya bercampur aduk antara sedih karena kehilangan uang, gembira karena terbebas dari bahaya dan geli mengingat kelakuan sang penjahat genit itu…

Heri Kartono.

Senin, 11 Januari 2010

Cirebon 2 (Heri Kartono)





PIYAMA OH PIYAMA…….

Beberapa waktu yang lalu, saya pergi ke Pasar Kanoman untuk membeli kain piyama. Kain piyama ini langsung saya jahitkan. Di bagian pojokan pasar memang ada ibu-ibu yang menerima jahitan. Sesudah selesai, saya coba ternyata enak dipakai dan warnanya juga OK. Waktu itu saya hanya membuat celananya saja karena saya biasa memakai kaos oblong untuk bagian atasnya.

Beberapa hari kemudian, saya pergi lagi ke pasar Kanoman untuk membeli kain yang sama. Berhubung sudah ada celananya, kali ini saya hanya ingin membuat baju atasannya saja. Ternyata kain yang tersedia ukurannya “tanggung” alias tidak bisa dipotong. Saya diminta untuk membeli semuanya (kelebihan sekitar setengah meter). Dengan santai saya berkata: “Boleh ngutang nggak?”. Si ibu juga menjawab dengan santai pula: “Bapak ini gagah-gagah ngutang!”. Karena dibilang gagah, langsung saya bayar kontan.

Kain itu saya bawa ke jalan Talang, tidak jauh dari Pasar Kanoman. Di situ ada beberapa tukang jahit yang selalu stand by di pinggir jalan. Sayapun memberikan kain untuk dijahit. Saya jelaskan bahwa saya ingin membuat baju piyama. Ibu Asroh, penjahit yang masih muda dan berpenampilan rapih, langsung mengukur badan saya. “Selesainya lima hari lagi ya pak!”, kata ibu Asroh.

Persis lima hari kemudian, saya menemui ibu Asroh untuk mengambil jahitan. Ibu Asroh menyambut saya dengan wajah berseri-seri: “Mau ambil baju ya pak? Sudah selesai kok!”, ujarnya sambil menyodorkan jahitan yang sudah rapih diseterika itu. Saya terkejut sekali ketika melihat jahitan itu. Soalnya, bukan baju piyama seperti yang saya kehendaki melainkan baju resmi yang tentu saja bukan untuk tidur. “Bu Asroh, kok baju resmi, bukan piyama?”, kata saya. Dengan tersipu bu Asroh menjawab: “Iya pak, maaf. Waktu itu, sesudah bapak pergi, saya ragu-ragu, apakah diminta membuat baju piyama atau baju resmi. Soalnya kainnya bagus sih pak!”, jawabnya dengan polos……..

Di rumah, saya tunjukan “baju piyama” itu lengkap dengan celana piyamanya. Pastor Yuwono, pastor Kushardjono dan pastor Purwo tertawa terpingkal-pingkal melihat kombinasi piyama model terbaru itu…….

Heri Kartono.