Minggu, 20 Desember 2009

Keraton Kanoman



BUKAN SRI SULTAN ATAU WALIKOTA!

Pada 1 Muharam 1431 H atau 18 Desember 2009, saya diundang menghadiri acara pembacaan babad Cirebon di keraton Kanoman. Keraton Kanoman terletak agak tersembunyi, tertutup pasar yang memang berada persis di depan Keraton. Kanoman sendiri didirikan pada tahun 1588. Hal ini tercatat pada prasasti di pintu Pendopo Jinem. Pendiri Kanoman adalah Sultan Badridin atau biasa disebut Sultan Kanoman I. Badridin adalah turunan ke VII dari Sunan Gunung Jati atau Syarief Hidayatullah.

Acara Pembacaan babad yang dikaitkan dengan acara ulang tahun kota Cirebon yang ke 640 ini dihadiri antara lain oleh Walikota Cirebon Subardi S.Pd, Ketua DPRD Cirebon dan sejumlah petinggi kota Cirebon. Sri Sultan dan para tamu penting duduk di Witana, tempat pembacaan Babad Cirebon. Witana berasal dari kata awit dan ana yang berarti yang pertama ada. Disebut demikian karena Witana adalah bangunan pertama yang didirikan di kota Cirebon.

Acara dibuka oleh Sultan Kanoman XII, yaitu Sultan Raja Moch.Emirudin. Sultan yang konon mengidap sakit polio sejak kecil ini memberi sambutan amat pendek. Sesudahnya Walikota juga memberikan sambutannya. Selanjutnya pembacaan babad Cirebon dilakukan oleh Pangeran Kumisi Kesultanan Kanoman diiringi Panca Pitu (tujuh pengiring berjubah dan bersorban) dan sepuluh pria berpakaian gelap dan berblankon. Adapun babad Cirebon dibacakan dalam bahasa Cirebonan.

Selesai pembacaan babad Cirebon, acara dilanjutkan dengan arak-arakan. Sri Sultan Kanoman XII menaiki kereta Singa Barong yang diangkat puluhan ponggawa. Di barisan paling depan adalah para pengawal dengan pakaian serba hitam. Sebagian pengawal membawa tameng dan pedang terhunus, sebagian lagi membawa obor menyala. Sementara rakyat jelata mengikuti dengan tertib dari belakang. Prosesi dilakukan di sekitar jalan Kanoman.

Sebelum acara prosesi berlangsung, ada kesempatan untuk saling bersalaman. Para pengunjung berebut untuk menyalami orang-orang penting. Rupanya, yang menarik perhatian orang, khususnya para ibu, bukanlah Sri Sultan atau pak Walikota, melainkan Komar. Nurul Komar, pelawak berbadan mungil memang hadir selaku anggota DPR Komisi X. Komar yang konon mempunyai 4 istri resmi dan beberapa istri siri ini sibuk membalas salam para ibu. Nampaknya Komar memang memiliki kharisma khusus untuk para ibu…

Heri Kartono. (Foto: Sri Sultan Kanoman bersama Komar)

Senin, 14 Desember 2009

P. Sunu Sukmono Wasi Pr.


RAMBUTPUN IKUT BERUBAH!

“Saya telah belajar banyak selama setahun di paroki ini. Saya belajar dari para pastor, dari umat dan secara khusus dari anak-anak OMK. Untuk itu saya amat bersyukur dan berterima kasih”, ujar Pastor Sunu, dalam misa perdananya (13/12/09). Setahun terakhir Sunu memang bertugas di paroki St.Yusuf, Cirebon. Sementara itu dalam sambutannya, Kushardjono OSC, pastor paroki, mengakui bahwa selama setahun Sunu telah berubah banyak. “Saya lihat ada banyak perubahan pada diri pastor Sunu. Bahkan potongan rambut dan kacamatanyapun ikut berubah” ujar Kushardjono disambut tawa umat.

Dalam kesempatan terpisah Pastor Sunu mengatakan: “Saya menjadi pastor bukan karena pantas. Dengan tahbisan, saya telah terikat pada gereja dan pada Allah”, ujar pastor yang pernah ingin menjadi dalang ini sungguh-sungguh. Misa perdana pastor baru yang dipadati umat ini berlangsung meriah. Pastor Sunu kelihatan tidak canggung dan penuh percaya diri memimpin misa. Pastor Didi Wirasmo Hadi Pr, Vikjen dari Bandung dan pastor Kushardjono OSC, turut mendampingi pastor baru. Selesai Misa, pastor baru diarak ke halaman depan gereja untuk melepas balon-balon yang telah disiapkan.

Paulus Sunu Sukmono Wasi Pr ditahbiskan bersama 6 rekan yang lain oleh Mgr. Johannes Pujasumarta Pr di Bandung (08/12/09). Imam baru kelahiran Yogya ini dikenal dekat dengan kaum muda. Seorang anggota OMK paroki St. Yusuf terlihat menangis ketika diumumkan bahwa pastor Sunu akan ditugaskan ke tempat baru, yaitu ke paroki St.Paulus, Bandung. Selama satu tahun penuh pastor Sunu memang bertugas mendampingi kaum muda paroki. “Kami sudah merasa sangat dekat dan cocok”, ujar Cahya dan Fina, anggota OMK.

Sunu Wasi yang gemar makan sayur bayem dan nasi goreng mempunyai motto: Manette in me, ego in vobis (Tinggallah di dalam aku dan aku di dalam kamu). “Bagi saya, yang penting adalah kedekatan dengan Allah. Karena itulah landasan hidup dan karya saya selanjutnya!”, ujar pastor baru ini mantap.

Heri Kartono OSC

Rabu, 25 November 2009

Idul Adha


DASAR DOMBA!

Hari Raya Idul Adha dirayakan dimana-mana, juga di kota Cirebon (27/11/09). Pada Hari Raya Haji ini diperingati peristiwa kurban, yaitu ketika nabi Ibrahim hendak mengorbankan puteranya, Ismail. Allah yang mengetahui kerelaan Ibrahim yang luar biasa, menggantikan kurbannya dengan domba. Hari Raya yang jatuh 70 hari sesudah Idul Fitri ini dirayakan di Mesjid-mesjid dan tanah lapang. Setelah shalat, dilakukan penyembelihan kurban yang kemudian dibagikan terutama kepada fakir miskin.

Kisah pengurbanan Abraham sudah sangat akrab bagi saya yang beragama Katolik. Sejak kecil saya sudah mendengar kisah yang indah tersebut. Tentu saja versi ceritera sedikit berbeda. Anak yang hendak dikorbankan Abraham adalah Ishak (Kitab Kejadian 22: 1-14).

Lepas dari perbedaan versi ceritera, kisah pengurbanan Abraham memang mengesankan. Kisah yang mendasari perayaan Idul Adha ini, menjadi kesempatan bagi orang untuk mengurbankan sebagian kekayaannya untuk sesamanya yang miskin. Banyaknya domba kurban yang tersebar di pelbagai sudut kota Cirebon, mencerminkan banyaknya orang yang tergugah untuk berkorban.

Salah satu tempat penampungan domba kurban adalah di Jalan Kartini, tidak jauh dari pintu pengaman Kereta Api atau sekitar 150m dari At Taqwa, Mesjid Raya Cirebon. Domba-domba ini sebagian besar didatangkan dari Kuningan. Domba yang berusia antara 1-3 tahun ini dijual dengan harga mulai 1 juta rupiah, tergantung besarnya domba. “Tahun ini terjual hampir 140 domba, lebih sedikit dari tahun kemarin”, ujar bapak yang setia menunggui domba-dombanya.

Domba-domba diikat berdekatan satu sama lain. Seekor domba, mungkin lantaran bosan diikat dengan tali yang pendek, mulai mencari hiburan. Domba ini nampaknya sedang amat bergairah. Tanpa sungkan-sungkan ia mencoba “menaiki” domba di sebelahnya. Padahal, domba di sebelah juga jelas-jelas bertanduk alias sama-sama jantan. Untunglah tali di leher tidak memungkinkan aksi tak senonoh terjadi di muka umum. Dasar domba……!

Heri Kartono.

Senin, 16 November 2009

Titis Rani


BELAJAR DARI ARTIS

Sahabat kita kali ini bernama Sesaria Winanda Titis Rani namun biasa dipanggil Titis saja. Meski masih duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar, Titis sudah pandai bergaya, terutama di depan kamera. Diminta berpose apapun, dengan luwesnya Titis akan langsung mengikuti. Sebenarnya tidak mengherankan bahwa sahabat kita ini akrab dengan kamera. Soalnya, ayah Titis bekerja sebagai kameramen sebuah stasiun televisi ternama. Titis belajar dari ayahnya bagaimana sebaiknya harus berpose di depan kamera.

Masih soal berpose, Titis kerap mengamati dan meniru para artis saat bergaya di depan kamera. Kok bisa Titis bertemu para artis? Sebetulnya ini bukan rahasia. Pada saat senggang, Titis kerap diajak ayahnya ke studio televisi tempat ayahnya bekerja. Di sanalah ia kerap bertemu para artis yang sedang syuting.

Selain berpose di depan kamera, Titis pandai juga menari balet. Ia pernah beberapa kali pentas lho, antara lain dua kali tampil di Gedung Kesenian Jakarta bersama grup Tari Sumber Cipta. Sampai saat ini Titis mengaku masih rajin berlatih menari balet. Bagaimana pula prestasi Titis di sekolah? Titis memang bukan murid terpandai, namun ia tergolong murid cerdas juga. Buktinya, ia pernah meraih predikat juara 3 di sekolahnya. Cukup baik kan?

Pada saat senggang, Titis sering memanfaatkan waktunya untuk berlatih menyanyi. Ia pernah ikut les bina vokalia sehingga Titis mengetahui teknik bernyanyi yang benar. Hobby Titis lainnya adalah membuat puisi. Dalam menulis puisi, Titis mendapat bimbingan dari ibunya langsung. Maklum, ibu Titis adalah seorang guru bahasa Indonesia di sebuah SMP Swasta di daerah Tangerang.

Ada satu lagi kesukaan kawan kita ini, yaitu berkorespondensi lewat e-mail. Banyak lho teman-teman e-mail Titis. “Tiap hari aku buka e-mail dan internet. Aku juga sudah bisa mencari informasi sendiri lewat internet!”, ujar Titis dengan bangga. Hanya saja, Titis mengaku, dalam menggunakan internet di rumahnya, orang tuanya selalu mendampinginya.

Belum jelas apa cita-cita Titis kelak. Yang pasti, saat ini ia ingin mengerjakan segala sesuatunya dengan sebaik mungkin.

Heri Kartono (dimuat di Rubrik Anak-anak Majalah HIDUP edisi 15 Nopember 2009)

Minggu, 08 November 2009

Frans Garnaen


BISA LUPA SEGALA HAL

Frans Garnaen adalah seorang lelaki yang banyak bekerja untuk orang lain. Di luar pekerjaannya sebagai seorang pengusaha, ia banyak menghabiskan waktunya di lingkungan gereja. Sudah bertahun-tahun Frans bertugas sebagai seorang pro- diakon. Ia selalu bersedia saat diminta untuk kirim komuni, mendoakan orang atau bahkan menguburkan, saat pastor berhalangan. Frans memang berhati mulia.

Bagi rekan-rekannya, Frans adalah seorang pria istimewa, khususnya dalam hal lupa. Frans memang bisa lupa segala hal. Pernah, Frans menguburkan seorang umat. Selesai acara penguburan, Frans pulang ke rumah diantar seorang rekannya yang membawa mobil. Sesampainya di rumah, Frans melihat garasinya kosong. Dengan sedikit cemas, Frans bertanya pada istrinya: “Mobil dipakai siapa?”. Istri Frans menjawab: “Lho, tadi kan jij bawa ke kuburan?!”. Frans baru sadar, rupanya tadi ia membawa mobil ke kuburan…

Suatu hari, Frans diminta mengantar istrinya ke Pasar Baru untuk belanja. Sesampainya di pasar baru, tempat parkir penuh. Frans meminta istrinya untuk turun lebih dahulu. “Jij turun saja dulu, ikke mau cari tempat parkir!”. Sesudah sang istri turun, Frans pun berputar-putar mencari tempat yang kosong. Rupanya hari itu tempat parkir benar-benar padat. Sesudah beberapa saat tidak menemukan tempat parkir, Frans memutuskan pulang. Sesampainya di rumah, dengan santai Frans menonton acara televisi kesukaannya sampai selesai. Ia heran sekali bahwa istrinya tidak ada di rumah. “Yem, nyonya kemana ya?”, tanya Frans kepada pembantunya. Si Iyem, menjawab dengan nada keheranan: “Kan tadi tuan yang mengantar nyonya ke Pasar Baru?”. Frans terkejut sekali. Buru-buru ia mengeluarkan mobilnya untuk menjemput istri tercinta. Dari jauh Frans melihat sang istri membawa dua belanjaan besar di tangan, menunggu dirinya dengan wajah putus asa….

Lepas dari kebiasaannya yang gampang lupa, Frans adalah seorang bapak yang baik dan seorang suami yang setia. Ketika ditanya tentang kebiasaan Frans yang satu itu, istrinya menjawab: “Frans memang sering lupa dalam banyak hal. Tapi dia tak pernah lupa bahwa saya adalah istrinya…..!”.

Heri Kartono.

Rabu, 04 November 2009

Christian Handoko


PALING BAHAGIA

Christian Handoko barangkali merupakan orang yang paling bahagia saat peresmian Gua Maria Regina Rosarii (31/10/09). Disaksikan Mgr. Johanes Pujasumarta Pr serta umat yang hadir, Chris mendapat kalungan bunga khusus dari pastor paroki. Leonardus Bambang Pr, pastor paroki Bunda Maria, Cirebon, mengatakan bahwa Chris telah bekerja keras demi terwujudnya komplek Taman Doa. Hal senada disampaikan juga oleh Leo Budiarto, penggagas berdirinya Gua Maria.

Chris memang orang yang amat berperan dalam terwujudnya Gua Maria baru di Cirebon. Dialah yang merancang sekaligus mengikuti perkembangan pembangunan kompleks tersebut. Gua Maria yang berlokasi tepat di belakang gereja paroki Bunda Maria ini, dirancang Chris selama dua minggu. Chris, yang pernah merancang pelbagai bangunan ini merasa lega. “Ada kepuasan tersendiri merancang kompleks Gua Maria dibanding merancang bangunan lain”, aku Chris. Salah satu hal yang membuat arsitek lulusan Unpar ini senang, adalah adanya dukungan serta antusiasme umat yang amat besar. “Dukungan, termasuk dalam pendanaan, tidak hanya dari paroki kami saja, tapi juga dari banyak paroki lain”, tutur Chris.

Bagi Chris, kelahiran Cirebon (18/12/82), keterlibatannya di dalam lingkungan gereja bukanlah hal yang baru. Sejak masih remaja ia sudah menjadi organis di parokinya. Ia memang pandai bermain organ, juga biola. Saat kuliah di Bandung, Chris bergabung dengan grup orkes Light the World Orchestra pimpinan Iryanto dan Laurentius Chamber Orchestra. Masih soal musik, saat kuliah pula Chris bergabung dengan St. Lucia Choir untuk pelayanan di gereja bersama teman-teman kampus. Nampaknya bakat Chris di bidang arsitek dan seni tidak ingin ia nikmati sendiri melainkan ia abdikan juga demi Gereja kesayangannya.

Heri Kartono (dimuat di HIDUP edisi 6 Desember 2009).

Selasa, 27 Oktober 2009

Danny Karjo


MEMBANGUN RELASI INTIM

Saat Adorasi Ekaristi Abadi (Adeka) baru pertama kali diadakan di Keuskupan Bandung, Danny Karjo adalah salah seorang yang ikut sibuk. Sejak persiapan, pelaksanaan hingga pengaturan jadwal, Danny terlibat aktif. “Saya merasa gembira dan antusias karena akhirnya Adeka hadir juga di keuskupan ini, bahkan di Pandu, parokiku sendiri”, ujar pria kelahiran Jerman ini bersemangat.

Danny yang dibaptis sejak usia 11 tahun mengaku senang berdoa di hadapan Sakramen Maha Kudus. Ia kerap bertugas ke luar kota. Kemanapun ia pergi, biasanya ia menyempatkan diri berkunjung ke tempat Adeka. Salah satu tempat yang kerap dikunjunginya adalah Gua Maria Kerep Ambarawa. “Saya ingin membangun relasi intim dengan Allah”, tutur Danny memberi alasan. Menurutnya, saat adorasi adalah kesempatan untuk bertemu, berbicara, melepaskan masalah serta mendengarkan Tuhan secara pribadi. Lelaki berwajah Indo ini juga mengaku mengalami kelegaan serta kedamaian setiap kali melakukan Adeka. Lebih lanjut suami dari Anita ini menjelaskan bahwa menghadiri ekaristi dan menyambut tubuh Kristus seminggu sekali tidaklah cukup. “Karena itu, adeka menjadi pelengkap sempurna kehadiran kita dalam ekaristi mingguan”, jelas Danny bernada promosi.

Semangat Danny makin bertambah saat melihat banyaknya umat yang berminat untuk melakukan adorasi. “Sampai saat ini, sudah 619 orang yang mendaftar untuk berjaga-jaga. Dari jumlah itu, tidak sedikit yang rela berjaga tengah malam”, ujar Danny dengan gembira. Besarnya animo umat, di mata Danny, mencerminkan kerinduan umat untuk bertemu dengan Allah secara pribadi. Sebenarnya ikut aktif dalam kegiatan gereja, khususnya dalam adeka, menyita cukup banyak waktunya. Kendati demikian, Danny melaksanakannya dengan riang gembira. Ia sadar, jerih payahnya tidak akan sia-sia karena dirasakan oleh banyak orang yang haus akan pertemuan dengan Allah secara intim.

Heri Kartono (dimuat di majalah HIDUP edisi 8 Nopember 2009).

Selasa, 20 Oktober 2009

Bedanya Cirebon dengan Roma


AFTER SHAVE

Saat di Roma, saya biasa menggunakan aftershave, dioles sesudah cukur jenggot dan kumis pagi hari. Aftershave ini terasa enak dan segar di kulit. Aftershave mengandung antiseptic untuk mencegah infeksi akibat luka tergores alat cukur. Aftershave biasanya dicampur dengan parfum dan pelembut kulit sebagai daya tarik tambahan. Aftershave bisa berupa cairan, gel, bubuk atau sejenis balsem. Saya terbiasa menggunakan aftershave jenis liquid, harumnya nempel terus. Maklum, karena dioles persis di bawah hidung.

Hampir semua rumah mode ternama mengeluarkan produk aftershave. Tentu saja harganya amat melambung tinggi. Tapi mencari aftershave dengan harga manusiawi juga banyak, tergantung kemampuan dan selera kita. Di Roma, aftershave bisa ditemukan di sembarang toko, bahkan Tabacchi (warung rokok) juga menjual aftershave.

Cirebon rupanya tidak sama dengan Roma. Sudah tiga hari ini saya mencari-cari aftershave dengan hasil nihil. Pertama, saya pergi ke Yogya Depstore langganan saya di jalan Siliwangi. Saya mencari-cari sampai sembilan menit, tidak saya temukan. Akhirnya saya bertanya pada salah seorang SPG: “Mbak, bisa bantu? Saya perlu aftershave!”. Tadinya saya mengira si mbak yang manis ini akan menjawab: “Yang merek apa pak?!”. Ternyata tidak. Dia malah balik bertanya: “Apa itu pak?”. Dengan sabar saya jelaskan tentang aftershave dan dia tetap tidak mengerti. Kemudian si mbak memanggil SPG lain, juga tidak mengerti. Petugas ketiga datang. Sesudah dijelaskan, dengan mantap dia pergi untuk mengambil “aftershave”. Ternyata yang dibawa adalah sejenis busa yang dioles sebelum cukur. Akhirnya datanglah sang supervisor. Ternyata sang supervisor juga tidak mengerti apa itu aftershave!

Pengalaman di Yogya Depstore, terjadi juga di toko-toko lainnya. Banyak toko tidak tahu dan tidak menjual aftershave. Pada hari ketiga, atas saran seorang kenalan, saya pergi ke jalan Pekiringan. Di sini ada sebuah toko parfum/kosmetik besar dan serba lengkap. Saat saya memasuki toko, lima orang gadis menyongsong saya. Mereka bertanya nyaris serentak: “Perlu apa pak??”. Saat saya menyebut kata aftershave, kelima gadis ini saling berpandangan dengan wajah oon. Rupanya toko kosmetik besarpun tidak mengenal aftershave……

Sampai hari ini saya belum menemukan aftershave. Tapi untung, di dapur masih ada persediaan minyak goreng kualitas nomor satu!

Heri Kartono.

Senin, 05 Oktober 2009

Heri Kartono (Di Cirebon)



BEBAS LIMA

Bertugas di Cirebon memang berbeda dengan di Roma, Italia. Suasana, bahasa, makanan dan pola kerja juga lain sekali. Sejak Jumat (02/10/09) saya mulai bertugas di paroki Santo Yusuf, Cirebon dan saya menikmatinya.

Atas beberapa pertimbangan, saya memilih sepeda sebagai alat transportasi. Saya membeli sepeda ditemani Santi, istrinya Kardjono, mantan frater OSC. Papanya Santi mempunyai bengkel dan toko onderdil sepeda di jalan Lemahwungkuk. Karenanya, Santi tahu betul seluk-beluk sepeda, termasuk harga sepeda. Berkat Santi pula saya mendapat sepeda bagus dengan harga miring.

Hari Senin (05/10) saya mulai mencoba sepeda baru. Saya berangkat dari pastoran di Jalan Yos Sudarso 20 menuju jalan Pancuran, rumah kakak perempuan saya. Sesudah lama tidak naik sepeda, rasanya senang sekali. Saya langsung menyadari, betapa naik sepeda itu bebas polusi. Tidak ada asap busuk yang dikeluarkan, kecuali sekali-kali dari pengendaranya.

Di jalan Karanggetas ternyata jalan satu arah. Kalau saya mengambil jalan yang seharusnya, saya akan berputar lumayan jauh. Dengan sedikit nekad, saya masuk jalan Karanggetas, melawan arus. Polisi yang berdiri di gardu perempatan jalan nampaknya tidak peduli, bahkan melirik-pun tidak. Rupanya sepeda dianggap bebas rambu-rambu lalu-lintas.

Di jalan Siliwangi, saya mampir di Jogya Supermarket, membeli beberapa alat tulis. Tukang parkir, yang melihat saya masuk membawa sepeda, sedikitpun tidak memperdulikan. Ketika saya dengan tenang menaruh sepeda di antara deretan motor, barulah tukang parkir datang. Dengan sedikit kurang senang, tukang parkir menunjuk sudut tembok. Sayapun nurut, memarkir sepeda di tempat yang paling pojok. Selesai belanja, saya sudah menyiapkan uang parkir. Namun, tukang parkir sama sekali tidak menggubris. Rupanya untuk sepeda bebas parkir!

Sesudah puas berkeliling, sayapun kembali ke pastoran. Kemudian saya menyadari bahwa selama sekitar dua jam, saya tidak mengeluarkan uang satu sen-pun untuk transportasi. Sepeda memang bebas bahan bakar.

Menurut kabar burung, kalau kita rajin dan teratur bersepeda, kita juga akan bebas kolesterol. Meski ini belum dibuktikan, sekurangnya sudah menambah semangat saya untuk terus bersepeda.

Belum ada akibat negatif dari naik sepeda yang saya rasakan selain pantat sedikit lecet. Satu-satunya perubahan adalah porsi makan saya. Sejak naik sepeda, porsi makan saya bertambah satu piring!

Heri Kartono.

Minggu, 27 September 2009

Veronica D.



DIPERTEMUKAN BURUNG-BURUNG

Salah satu tugas sampingan di Roma adalah mengantar tamu, khususnya dari Indonesia. Kedatangan tamu kerap kali memberi kesegaran tersendiri.

Tamu terakhir yang datang adalah Veronica atau biasa dipanggil Veron. Wanita yang mengaku mirip Dewi Sandra ini seorang Sarjana Hukum, lulusan Undip. Ia bekerja di Bank BCA. Ia kerap berceritera tentang pekerjaannya dengan antusias. Veron memang menyukai pekerjaannya dan orang-orang yang bekerja dengannya. Ia selalu datang ke tempat kerja lebih awal dan pulang melebihi jadwal resmi. Kecintaan serta loyalitasnya pada perusahaan pantas diacungi jempol.

Selama dua minggu, Veron berkeliling Italia: Roma, Milano, Florence, Venice, Assisi, Pavia, Vignanello, Foligno dan Fara Sabina. Selama dua minggu itu ia menikmati perjalanan dengan kereta super cepat seperti Euro Star, tapi juga dengan Kereta Lokal, Bus Kota, Trem dan Metro (Kereta Bawah Tanah). “Saya senang sekali bisa mencoba banyak hal”, tuturnya polos.

Saat berada di lapangan Santo Petrus, Vatikan, ia amat gembira. Pasalnya, burung-burung merpati datang berbondong-bondong mengerubutinya tanpa sedikitpun rasa takut. Ada yang hinggap di tangan, pundak bahkan kepala. Sebagian besar berebut beras yang ditaburkan-nya. Ia memang membawa beras yang disiapkan dari tempatnya menginap. Pengalaman ini tak pernah ia jumpai di Indonesia, apalagi di Bojongloa, kampung halamannya.

Beberapa turis datang dan ikut memotretnya. Sebagian lagi malah meminta beras dan ikut bergabung bersama burung-burung. Sesudah beberapa saat, Veron dan turis-turis itupun saling bertegur-sapa. Rupanya mereka adalah orang-orang Yahudi dari Israel. Saat berkenalan, Veron tak bisa menyembunyikan kekagetannya: “Israel?”, teriaknya spontan. Seumur-umur ia tak pernah bermimpi akan berjumpa orang Yahudi, selain dalam Injil. Rupanya yang terkejut tidak hanya Veron tapi juga para turis itu. Dengan teriakan yang sama kerasnya, mereka berseru: “Indonesia?”. Bagi mereka, nama Indonesia identik dengan teroris atau sekurangnya bangsa yang amat anti Yahudi, bukan perempuan manis yang ramah. Sesudahnya mereka saling bersalaman hangat sambil tertawa-tawa. Mereka tertawa-tawa bukan karena obrolan lucu atau menarik, melainkan karena mereka tidak saling mengerti satu sama lain. Maklum, Veron hanya mahir berbahasa Sunda, selain bahasa Indonesia.

Yang jelas, burung-burung merpati telah mempertemukan orang Indonesia dan Yahudi secara damai di pelataran Santo Petrus…….

Heri Kartono. (dimuat di majalah KOMUNIKASI edisi Nopember 2009).

Minggu, 20 September 2009

Marina Bianchin


ISTRI ISTIMEWA

Saya mengenal Marina dan Mirko pada bulan Juli 1987 atau lebih duapuluh tahun yang lalu. Saat itu saya bekerja selama satu bulan di RSU Bassano del Grappa, Italia Utara. Mereka juga bekerja di Rumah Sakit yang sama: Marina sebagai perawat sementara Mirko pengemudi Ambulans. Mereka masih pacaran.

Tanggal 3 Oktober 1987, Marina menikah dengan Mirko. Sesudahnya mereka berbulan madu ke Indonesia. Sebenarnya mereka tergolong nekad karena keduanya tidak mengerti bahasa lain kecuali Italia. Marina masih lumayan, sedikit mengerti bahasa Inggris meski terpatah-patah. Selama satu bulan penuh, mereka berkeliling Jawa, Bali dan Sulawesi. Tak ketinggalan, mereka juga sengaja mampir ke Brebes, menengok orang tua saya.

Ada dua pengalaman yang mengesankan. Pertama adalah saat mereka naik pesawat dari Denpasar ke Ujung Pandang. Pada waktu boarding, Mirko melihat pintu cockpit terbuka lebar. Mirko berdiri di depan pintu selama beberapa saat. Ia memandang dengan kagum peralatan yang begitu rumit. Pilot dan co-pilot terlihat sedang bersiap-siap, mengecek peralatan satu demi satu.

Sesudah take-off beberapa menit, seorang pramugari mendekati Mirko. Pramugari berusaha menjelaskan sesuatu namun Mirko tidak mengerti. Marinapun mencoba membantu. Nampaknya pilot memanggil Mirko. “Apa yang kamu lakukan tadi?”, tanya Marina cemas. Mirko mengangkat bahu, merasa tidak melakukan kesalahan apapun juga. Mirko mengikuti pramugari dan tak pernah kembali selama perjalanan. Tentu saja Marina kebingungan. Ia bertanya pada setiap pramugari yang lewat namun semuanya hanya senyum-senyum tanpa memberi jawaban yang jelas.

Sesudah pesawat mendarat, Mirko muncul sambil cengar-cengir gembira. Rupanya, pak Pilot yang baik hati itu mengundang Mirko untuk duduk di dalam cockpit selama perjalanan…..

Di Ujungpandang Marina memiliki pengalaman lain yang tak terlupakan. Mereka bertemu seorang laki-laki ramah, berusia sekitar 40 tahun. Lelaki ini menawarkan diri untuk mengantar-antar. Marina dan Mirko menyambutnya dengan gembira. Pada beberapa tempat yang indah, mereka berfoto bersama. Tak ketinggalan, lelaki ini juga selalu minta ikut difoto. Setiap kali berfoto, tangannya memeluk Marina. Bagi Marina, orang Italia, hal ini tentu saja tidak menjadi masalah. Ia menganggapnya sebagai tanda keakraban. Hanya, ia memang sedikit heran. Karena, makin sering difoto, lelaki itu makin erat memeluknya.

Suatu saat, ketika Mirko berdiri agak jauh, lelaki nekad ini bertanya: “Mau jadi istri saya?”. Tentu saja Marina terkejut sekali mendapat pertanyaan tersebut. Dengan sabar Marina menjelaskan, sambil menunjuk Mirko, bahwa ia sudah bersuami. Dengan tenang pula laki-laki tak tahu malu ini berkata, bahwa itu bisa diatur. “Saya juga sudah punya 2 istri. Asal kamu mau, kamu akan saya jadikan istri yang ketiga. Saya berjanji kamu akan menjadi istri saya yang istimewa…….!”

Heri Kartono.

Jumat, 04 September 2009

Rob Stigter OSC





ANTARA GUNUNG DAN ANJING!

Pastor Robert Stigter OSC adalah sosok yang gemar naik gunung. Dimanapun dia bertugas, pasti akan menyempatkan diri untuk mendaki gunung, bersama orang lain atau sendirian. Gunung Ciremai, Tampomas, Merbabu, Sumbing dan Sindoro pernah ia taklukkan. Bahkan Gunung Ciremai pernah beberapa kali ia daki, maklum dekat dari Cirebon, tempatnya berkarya di masa lalu.

Saat bertugas di Kongo, Afrika, ia tidak hanya merambah gunung tapi juga mulai gemar berjalan kaki menerabas hutan belantara. Sebagai pendaki gunung yang handal, Rob memiliki stamina yang amat baik. Glen Lewandowski, pimpinan kami, pernah diajak berjalan kaki melewati hutan dan ladang (awal 2009). Lebih dari 8 jam mereka berjalan kaki. Sesudahnya Glen mengatakan “kapok” karena kelelahan luar biasa, sementara Rob tetap bersemangat.

Saya sendiri pernah mengalami hal yang mirip. Waktu itu, bersama kawan saya romo Kushardjono dan romo Sukarna ikut naik gunung di perbatasan Austria dan Jerman (1988). Semua barang dibawa oleh pastor Rob dalam ransel besar, digendong di punggungnya. Kami yang jauh lebih muda tidak membawa apapun juga. Setelah setengah hari berjalan, kami semua kelelahan setengah mati dan nyaris menyerah. Sementara itu, Rob dengan bebannya tetap segar bugar. Semula kami merasa gengsi untuk mengatakan lelah. Namun, akhirnya kami menyerah juga, minta istirahat dengan alasan ingin menikmati panorama yang bagus……

Selain gemar naik gunung, Rob dikenal sebagai pencinta binatang. Nampaknya binatangpun, terutama anjing dan kucing, amat mencintainya. Saat di Kongo, Rob memiliki 6 ekor anjing dan beberapa ekor kucing. Konon, Rob sering memilih tidur di kursi malas lantaran tempat tidurnya sudah “dikuasai” lebih dahulu oleh anjing-anjing dan kucingnya..

Rob Stigter, kelahiran Belanda, 70 tahun yang lalu, pernah bertugas di banyak tempat: Indonesia, Amerika Serikat, Roma-Italia dan Kongo, Afrika. Karenanya, tidak heran bahwa ia menguasai pelbagai bahasa dengan fasihnya: bahasa Belanda, Inggris, Italia, Perancis, Indonesia dan tentu saja bahasa Cirebon….Kini, setelah 17 tahun bekerja di Kongo (1991-2009), ia memilih kembali ke Indonesia. Ia memang tercatat sebagai Warga Negara Indonesia.

Dalam usianya yang tidak muda lagi, Rob amat antusias untuk memulai tugasnya yang baru di paroki Pandu, Bandung. Saat ditanya soal hobi naik gunungnya itu, Rob menjawab ringan: “Yah…sekarang mendaki bukit-bukit sajalah, sesuai usia!”. Rob Stigter memang pendaki gunung sejati, namun ia juga tahu benar keterbatasannya sebagaimana ia juga tahu keterbatasan hidup. (Foto: Pst.Rob dengan anjing, dari Rosiany).

Heri Kartono.

Sabtu, 01 Agustus 2009

Heri Kartono, OSC.



MERASA TENTERAM DI KERAGUAN

“Tuhan begitu baik dan murah hati..!”, itulah sepenggal rasa syukur yang diungkapkan Romo Heri Kartono, OSC menyambut 25 tahun imamatnya, 15 Agustus 2009 ini.

Menjadi seorang pastor sudah menjadi keinginannya sejak duduk di kelas 6 SD St.Thomas Ciledug-Cirebon. Pada saat itu, ia mengaku tidak tahu banyak. ”Saya sama sekali tak tahu bagaimana dan di mana sekolah untuk menjadi seorang imam”, ujarnya dengan polos. Setamat SMP, dengan persetujuan orang tua, ia masuk Seminari Menengah Mertoyudan (1973-1976). Sesudahnya, ia memilih OSC dan mengikuti pendidikan di Seminari Tinggi Bandung (1977-1983).

Selesai studi, sosok yang amat rendah hati dan kocak ini ditugaskan di paroki Tasikmalaya (1983-1986). ”Tugas di paroki ini sangat mengesankan dalam mengawali tugas pastoral saya. Walau sebentar, banyak pengalaman yang memperkaya saya di kemudian hari”, tutur Romo yang punya hobi menulis ini.

Dari Tasikmalaya, ia mendapat tugas belajar ke Roma (1986-1989). Sepulang dari Roma, penulis tetap majalah HIDUP ini ditempatkan sebagai Magister para frater OSC di Bandung sambil mengajar di UNPAR. Bersamaan dengan ini, ia masih sempat mengelola majalah KOMUNIKASI. Tak tanggung-tanggung, di tengah semua kesibukan itu, ia masih mengurus dua komisi di keuskupan Bandung.

Tahun 1995 ia mendapat izin tinggal di keuskupan Armidale, NSW Australia dan membantu di paroki Katedral Armidale. Saat saat ini di manfaatkan olehnya untuk merefleksikan kehidupan religiusnya yang sempat diterpa badai.

Dengan segala kemantapan hati, usai ‘pertapaan’ di Australia, ia menerima tugas penggembalaan di keuskupan Agung Medan. ”Kabanjahe yang berudara dingin dengan mayoritas umat yang sederhana membuat saya sangat bersemangat dalam pelayanan pastoral saya. Itulah cita cita saya sejak lama, ingin berkarya di paroki terpencil” ujar Romo yang gaul dan punya facebook ini. Tugas dari Kabanjahe dilanjutkan ke paroki Tanjung Selamat, Medan sebagai pastor paroki. Selama di Medan ia juga mengelola majalah MENJEMAAT dan Studio rekaman milik keuskupan Agung Medan.

Akhir 2001, Romo Heri Kartono ditempatkan kembali di Jawa dan bertugas di Bandung. Dalam Kapitel Jendral di Brasil tahun 2003 ia terpilih sebagai Konselor Jendral OSC. Karenanya ia bertugas di Roma hingga Agustus tahun 2009 ini, bertepatan dengan 25 tahun imamatnya.

“Kebaikan Tuhan saya rasakan juga lewat orang orang yang saya temui dalam perjalanan imamat saya”, demikian kata Romo Kartono dengan mimik serius yang seringkali penuh canda dan tawa jika bergaul dengan umat. Ini yang membuat umat merasa akrab dan dekat dengan sosok OSC yang satu ini.

Sayup-sayup terdengar lagu: ”Biar kini daku bersyukur, Tuhan. Merasa tenteram di keraguan….”

Proviciat Romo!! (Foto bawah: di depan Gereja Tanjung Selamat, Medan).

Rosiany T.Chandra. (Dimuat di majalah HIDUP, 02/08/2009).

Selasa, 28 Juli 2009

Renata Christha Auli.


TERBAIK BAHASA JERMAN

Pada tahun 2005, Renata Christha Auli atau biasa dipanggil Rere, mengikuti orang tuanya pindah ke Jerman. Saat itu ia masih duduk di kelas 1 SD naik ke kelas 2. Di Jerman, prestasi Rere di kelasnya tergolong menonjol. Yang mengagumkan adalah kemampuan bahasanya. Nilai bahasa Jermannya terbaik di kelasnya, padahal ia bukan orang Jerman! Rere memang senang membaca dan menulis. Salah satu karangannya dinilai baik dan diterbitkan dalam sebuah buku di Jerman bersama penulis anak-anak lainnya.

Saat Rere duduk di kelas 4 SD, ia kembali ke Indonesia (2007). Bersama orang tuanya, Rere tinggal di Bandung dan sekolah di SD Katolik Pandu. Rere yang sudah terbiasa berbahasa Jerman dan adat-istiadat orang Jerman, justru merasa kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya di tanah airnya sendiri. Tiga bulan pertama adalah saat-saat yang paling berat bagi Rere. Ia nyaris tidak tahan dan ingin kembali ke Jerman. Untunglah para guru cukup sabar mendampingi Rere dan kedua orang tuanya tak henti-hentinya membesarkan hatinya.

Ketika seorang sahabatnya berulang tahun, Rere menyiapkan hadiah buatan tangannya sendiri. Nyaris sepanjang malam, Rere bekerja keras menyelesaikan hadiah tersebut. Esoknya, dengan bangga Rere menyerahkan hadiah khusus buatan tangannya itu. Namun sayang, sahabatnya bukan berterima kasih, malah menolak hadiah yang menurutnya tidak menarik. Rupanya sahabat ini lebih menyukai hadiah bagus yang dibeli di toko daripada menghargai jerih payah kawannya.

Kejadian di atas merupakan salah satu contoh pengalaman pahit masa peralihan Rere. Di Jerman, teman-temannya lebih menghargai hadiah buatan tangan sendiri daripada membeli di toko. Nampaknya ia harus banyak menyesuaikan diri dengan kebiasaan teman-temannya yang baru. Kebiasaan lain yang pada awalnya agak mengganggunya adalah soal pinjam meminjam.

“Di Jerman, bila seorang meminjam suatu barang, ia akan meminta ijin lebih dahulu. Sesudahnya, saat mengembalikan, ia juga mengucapkan terima kasih. Di sini, rupanya tidak demikian!”, ujar penggemar lagu klasik ini. Selain soal kebiasaan, proses pengajaran juga amat berbeda. Di Jerman, setiap murid diberi kebebasan luas untuk berdialog bahkan berdebat dengan guru. Di Indonesia murid tidak selalu bisa memiliki pendapat sendiri.

Kini, sesudah tiga tahun, Rere sudah merasa betah di sekolah barunya ini. Ibu Theresia Marjani, Kepala Sekolah SD Pandu, menilai Rere sebagai murid yang cerdas dan kritis. Salah satu bakat Rere yang menonjol adalah photogenic. Tahun lalu, ia menyabet gelar juara I photogenic tingkat SD se-Bandung Raya.

Jerman adalah negeri yang mempunyai kenangan tersendiri bagi Rere. Meski demikian, ia sadar bahwa dirinya adalah seorang puteri Indonesia sejati. Karenanya, meski tidak selalu mudah menyesuaikan diri, Rere yakin bahwa dirinya dapat menyumbang sesuatu demi tanah airnya, Indonesia.

Heri Kartono. (Dimuat di Rubrik Anak-anak Majalah HIDUP, edisi 23 Agustus 2009).

Senin, 27 Juli 2009

Perkawinan Ria & Gatot.


MENDAPAT PENYUAP BARU

Nama lengkapnya Maria Setyowati tapi biasa dipanggil Ria saja. Dia adalah anak bungsu dari 5 bersaudara. Sebagai anak bungsu, perempuan lagi, Ria menikmati pelbagai keistimewaan dan perhatian, baik dari orang tua maupun kakak-kakaknya. Salah satunya adalah soal suap. Umumnya, seorang anak disuapi ibunya sampai sekitar usia 7 tahun atau sampai dia duduk di kelas 1 SD. Tidak demikian dengan Ria. Sampai ia menjadi mahasiswi-pun, Ria selalu minta disuapin saat makan. Herannya, ibunyapun mau. Mungkin ini merupakan bentuk kemanjaan sekaligus kedekatan antara Ria dan ibunya.

Kendati mempunyai pembawaan manja, Ria bisa juga bersikap tegas sekaligus berwibawa. Hal ini nampak saat ia menjalankan tugasnya sebagai guru. Ria memang berprofesi sebagai guru SD di Aloysius, Bandung.

Pada hari Minggu, 5 Juli yang lalu, Ria melangsungkan pernikahan dengan Carolus Gatot Sudiarto. Pemberkatan dilaksanakan di gereja Santo Yosef, Cirebon, dilanjutkan dengan resepsi sederhana di halaman rumahnya di jalan Pancuran. Grup Keroncong Universitas Katolik Parahyangan Bandung turut memeriahkan resepsi tersebut. Semua yang hadir menikmati lagu-lagu keroncong yang dibawakan secara manis. Ibunya Ria yang mudah lelah dan sakit-sakitan, saat diajak masuk rumah untuk beristirahat, dengan tegas menolak. Rupanya ia begitu menikmati lagu-lagu keroncongan. Saat diminta beristirahat, ia menjawab dalam bahasa Cirebon: “Emong…istirahate mengko bae. Lagu-lagune enak nemen jeh!”.

Mengapa Ria jatuh cinta dan memutuskan menikah dengan Gatot? Apakah karena Gatot orang yang ramah, rajin dan pandai menyuapi Ria? Hal ini tidak terlalu jelas. Yang pasti, keduanya nampak ceria dan bahagia sepanjang hari yang bersejarah itu...

Heri Kartono.

Selasa, 23 Juni 2009

Teringat Br.Harrie OSC



UNTUNG TERLAMBAT!

Saat melihat tayangan berita tentang Palestina, tiba-tiba saya terkenang kembali Harrie Vogels (7 Juni 1913 – 29 Mei 2004). Karena dialah yang memungkinkan saya pernah menjejakkan kaki di Israel selama 8 hari.

Harrie Vogels adalah seorang bruder Ordo Salib Suci atau OSC. Orangnya amat sederhana. Ia bertugas dari dapur ke dapur nyaris sepanjang hidupnya. Sekitar 30 tahun terakhir sebelum pensiun, ia bertugas di Roma sebagai tukang masak merangkap penerima tilpun dan penjaga pintu. 

Br. Harrie, kelahiran Belanda, mempunyai banyak sekali perbendaharaan ceritera, terutama ceritera konyol. Pokoknya, ceritera yang membuat kita tertawa bahkan tertawa terbahak-bahak. Sebagian besar ceriteranya adalah kejadian nyata. Namun tidak sedikit juga yang merupakan fantasi Br.Harrie. Pengalaman sederhana sekalipun, di tangan Br.Harrie bisa menjadi ceritera yang amat kocak dan menarik. “Korban” ceriteranya bisa siapa saja mulai dari teman seangkatan, atasannya bahkan Paus sekalipun! Saya menikmati banyak ceritera menarik yang dikisahkan Br.Harrie saat saya study di Roma (1986-1989).

Suatu hari, Br.Harrie mendapat uang dari sanak-famili-nya sebagai hadiah 25 tahun bertugas di Roma. “Ambillah waktu cuti dan berziarahlah ke Tanah Suci!”, begitu pesan saudara-saudaranya. Br.Harrie menerima uang tersebut, namun ia mengatakan: “Saya sudah tua dan sudah pernah ke Israel. Apakah boleh saya berikan uang ini pada orang lain yang belum pernah ke Israel?”. Saudara-saudaranya meskipun tidak terlalu puas, namun menyetujuinya juga. Br.Harrie memberikan uang tsb pada saya untuk pergi ke Israel. Katanya sebagai tanda terima kasih. (Saya memang sering masak nasi goreng pada hari Sabtu sore, sehingga memungkinkan Br.Harrie bebas dari tugas dan bisa jalan-jalan).

Sebelum pergi ke Israel, saya harus mendapat persetujuan lebih dahulu dari propinsial di Bandung, Pst. Yan Sunyata OSC. Kebetulan Pst.Rob Stigter hendak cuti ke Indonesia. Ia mengatakan: “Nanti saya mintakan ijin dari Pastor Yan!”. Sebulan kemudian, Pst.Rob Stigter kembali dari Indonesia. Saat saya tanya soal ijin itu, rupanya ia lupa. Karena merasa bertanggung-jawab, Pst.Rob menulis surat pada Pst.Yan, meminta ijin untuk saya.

Dua bulan berlalu tanpa ada balasan. Saya katakan pada Pst.Rob: “Tinggal beberapa hari lagi batas akhir untuk pembayaran tanda kepastian ikut ziarah!” (Saya ikut rombongan Italia, Opera Romana). Mendengar itu, Pst.Rob menjawab: “Ya sudah bayar saja. Nanti saya yang jelaskan pada propinsial!”. Maka hari itu juga, saya langsung membayar lunas ongkos ziarah. Dua hari sesudah pembayaran, surat Pst. Yan tiba. Isinya singkat: “Kartono TIDAK BOLEH ke Israel!”.  Untung suratnya datang terlambat dan uang  sudah ‘terlanjur’ dibayarkan….........(Foto 1: Br.Harrie Vogels OSC. Foto 2: Di Nazareth, Israel).

Heri Kartono. 

Jumat, 12 Juni 2009

Kasus Prita Mulyasari.


MASIH UNTUNG!

Kasus Prita Mulyasari yang ditangani Rumah Sakit Omni Internasional secara tidak memuaskan, membuat saya teringat akan pengalaman sendiri, juga amat pahit. Ini berawal dari suatu kecelakaan yang saya alami.

Dalam rangka liburan, saya naik Honda Bebek dari Tasikmalaya menuju Brebes (1986). Baru saja sampai di Ciamis, ban depan motor tiba-tiba kempes mendadak. Padahal, kecepatan sedang pol! Saya terjatuh dengan amat keras. Bahu kiri saya menghantam pembatas tembok. Sayapun pingsan entah berapa lama.

Semula saya dibawa ke RS. Negeri Tasik tapi kemudian dibawa ke Bandung ke Rumah Sakit swasta yang besar dan bergengsi (saya tidak perlu menyebutkannya!). Setelah diperiksa, dokter mengatakan bahwa saya tidak apa-apa dan boleh pulang. Saya mengatakan pada pastor Cor Kluskens OSC yang menunggui saya: “Saya sakit sekali. Tidak ada yang luka?”, tanya saya sambil memegang bahu yang amat sakit.

Karena saya mengeluh sakit, saya diperbolehkan menginap di Rumah Sakit. Satu minggu saya dibiarkan saja tanpa diperiksa ulang. Para perawat menganggap saya manja dan kolokan karena selalu mengeluh kesakitan. Mereka hanya tahu bahwa dokter mengatakan: “Tidak apa-apa!”. Sesudah satu minggu terus mengeluh sakit, saya diperiksa ulang, di-rontgent dll. Sesudahnya, dokter memutuskan untuk mengoperasi saya segera. Sedikitpun saya tidak diberi tahu, apa dan mengapa saya harus dioperasi?

Hasil operasi dari Rumah Sakit yang terhormat ini sebagai berikut. Pertama, dada sebelah kiri di-pen (tulang belikat?). Pen-nya terlalu panjang sehingga selalu menusuk daging dan berdarah setiap saat. Kedua, lutut saya dibuka karena hendak diambil “sum-sum”-nya tapi tidak jadi. Ketiga, akhirnya tangan kiri saya divonis lumpuh seumur hidup. Keempat, tentu saja saya harus membayar segala ongkos “kebodohan” yang mahal harganya itu.

Dalam keadaan tangan kiri lumpuh total, saya berangkat ke Roma. Waktu itu saya memang dikirim untuk tugas Study lanjut. Di kota ini saya berobat lagi ke RS. Salvator Mundi. Awalnya diterima Dr. Vincenzo Bilotta, seorang dokter umum. Kemudian saya dikirim ke Proffesor Doktor Raffaele Sadun, spesialis Ortopedia & Traumatologia. Dokter Raffaele ini kemudian berkonsultasi dengan dokter ahli syaraf. Dua dokter ini, setelah saling berkonsultasi, menjelaskan pada saya secara detail apa yang saya alami dan tindakan apa yang hendak mereka lakukan. “Akan dilakukan 2 kali operasi secara bertahap dan tangan anda akan diusahakan berfungsi 60%”, ujar dokter Raffaele. Dan itulah yang terjadi. Saya bersyukur sekali bahwa tangan kiri saya berfungsi lagi, meski tidak sepenuhnya. Untung juga bahwa asuransi bersedia mengganti semua ongkos!

Dokter adalah profesi yang amat mulia dan terhormat. Sayang bahwa tidak sedikit di antara mereka yang bekerja secara sembrono sehingga merugikan orang lain, baik secara fisik maupun finansial! (Foto: Di Rumah Sakit Salvator Mundi, sesudah operasi, 1986).

Heri Kartono, OSC

 

 

Rabu, 10 Juni 2009

Louis Gouveia


BUKAN MENOLAK!

Ketika pertama kalinya datang ke Indonesia (1983), Louis Gouveia mengira akan sulit menemukan Gereja. Maklum, ia mendengar bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Sebagai “Negara Islam” terbesar di dunia, ia juga membayangkan bahwa kehidupan di Indonesia akan sama dengan negara-negara Islam di Timur Tengah. “Saya merasa sedih, karena tanpa pergi ke gereja pada hari Minggu, hidup saya seperti tidak lengkap”, kenang pria asal India ini. Perusahaan tempat ia bekerja, saat itu menempatkannya di kota Bandung.

Ketika tiba di Bandung, ia merasa gembira sekali. Ternyata gereja ada di mana-mana. Yang mengherankannya, pada hari Minggu semua gereja penuh dengan umat. “Di Katedral, tempat saya dahulu sering datang, setiap misa selalu dipadati umat. Padahal, pada hari Minggu ada 5 kali Misa!”, ujar Louis dengan nada kagum.

Suatu hari ia mendengar bahwa di Bandung ada kelompok ex-patriat yang menyelenggarakan misa dalam bahasa Inggris. Ia dan keluarganya kemudian bergabung dengan kelompok ini. Beberapa bulan kemudian, ia malah dipercaya menjadi koordinator. “Dahulu, misa dalam bahasa Inggris hanya untuk kelompok ex-patriat. Namun, sejak orang-orang asing makin berkurang, misa yang diadakan di biara OSC Jln.Sultan Agung 2 ini, terbuka bagi siapa saja. Misa diadakan setiap hari Minggu jam 10.00 pagi, sesudahnya ada acara ramah-tamah”, jelas Louis bernada promosi. Sebagai koordinator, ia merasa gembira karena rupanya misa berbahasa Inggris banyak diminati. Gereja selalu penuh.

Saat bertemu di Roma, saya mengusulkan sesuatu pada Louis. Ia langsung menggeleng-gelengkan kepalanya. Saya mengira Louis menolak usulan saya. Rupanya tidak, ia justru sangat setuju bahkan merasa terharu. Ketika disinggung soal “geleng kepala”-nya itu, Louis menjelaskan: “Kalau kepala saya tidak bergoyang saat berbicara, namanya bukan orang India!”, ujarnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya….(Foto: Louis paling kiri, berjanggut & berkaos loreng, bersama keluarga besarnya. Berkunjung ke Roma: 2-5 Juni 2009).

Heri Kartono, OSC.

 

 

Rabu, 03 Juni 2009

Sr. Reynelda Saragih FCJM.


SEPERTI BATUK DAN PILEK

“Penyakit Aids di sini, seperti penyakit batuk dan pilek di negara kita, banyak sekali  yang terjangkit!”, ujar Sr.Reynelda Saragih FCJM dengan nada prihatin. Suster yang sudah 10 tahun bertugas di Malawi, Afrika ini memang pantas prihatin. Bagaimana tidak, di antara 1000 murid di sekolah tempatnya mengajar, sekitar 300 murid sudah positif mengidap penyakit tersebut.

Di dekat sekolahnya ada klinik. Dahulu klinik ini milik suster FCJM namun kemudian diserahkan kepada pihak pemerintah. Setiap murid sekolah, diwajibkan untuk secara berkala diperiksa kesehatannya di klinik tersebut. Mereka yang positif terkena Aids, diberi obat secara cuma-cuma. Obat-obatan disediakan oleh pemerintah. “Yang memprihatinkan juga, tidak hanya para murid, bahkan para gurupun terkena penyakit ini. Lebih dari separuh guru di sekolah kami terjangkit Aids. Gejala seperti ini terjadi hampir di seluruh Malawi”, ujar suster asal Sumatera Utara ini.

Epidemi penyakit Aids di negara yang berpenduduk 14 juta ini memang tinggi. Dilaporkan, di Malawi setiap jam ada 8 orang yang meninggal karena Aids. Demikian juga 70% kematian di Rumah Sakit, disebabkan karena Aids. Tidak heran bahwa dunia internasional menaruh perhatian serius terhadap Malawi.

Mengganasnya penyakit Aids, merusak tatanan sosial dan ekonomi di Malawi. Negara yang sudah miskin ini, makin terpuruk lagi oleh situasi tsb. Di luar tugasnya mengajar agama dan matematika di sekolah, Sr.Reynelda juga ikut membantu membagi-bagi makanan kepada penduduk yang kelaparan. “Setiap hari puluhan orang antri di depan susteran, menunggu jatah makanan”, ujarnya saat berkunjung ke Roma beberapa waktu yang lalu. “Kami sendiri juga hidup sederhana. Tiap hari kami makan jagung. Makan nasi seminggu sekali, karena beras memang sulit diperoleh. Air bersih juga sulit didapat. Jadi kami betul-betul mandi hanya seminggu dua kali”, ujar suster Reynelda sambil tertawa.

Heri Kartono, OSC. (Dimuat di Majalah HIDUP edisi 28 Juni 2009).

Minggu, 24 Mei 2009

Roma, Musim Panas (Heri Kartono)



POTRET EMPAT MUSIM

Hari Sabtu siang (23 Mei 2009) saya nonton Euro Beach Soccer Cup. Lokasinya di lapangan Circo Massimo yang disulap menjadi “stadion mini tepi pantai”. Yang bermain saat itu antara grup Hungaria melawan Swizerland. Sebelum pertandingan usai, saya sudah keluar dari stadion, tidak tahan panasnya.

Ketika saya sedang berjalan santai sendirian, masih di dekat Circo Massimo, tiba-tiba datang serombongan gadis-gadis sambil menunjukkan kamera. Saya pikir mereka minta tolong untuk memotretkan. Rupanya tidak. Mereka minta berfoto bersama saya satu per satu. Ketika saya tanya untuk apa, mereka mengatakan tugas dari sekolah. Kemudian salah satu menjelaskan bahwa tugas yang diberikan guru adalah berpotret dengan seorang turis asing dalam cuaca empat musim.

Seorang gadis berambut pirang, sedikit centil, mulai berpose di samping saya. Ketua regu berteriak: “Primavera!” (Musim Semi). Maka si gadispun berpose dengan wajah senang seolah-olah menyambut kedatangan musim semi yang sejuk. Sesudahnya dia minta diulangi lagi, karena belum yakin akan bagus hasilnya. Tak lupa, dia juga meminta saya mengikuti gerakannya.

L”estate (musim panas) adalah giliran gadis yang kedua. Yang kedua ini agak seronok. Dia hendak membuka T.Shirt-nya, seolah-olah sedang kepanasan. Saya bilang: “Jangan terlalu tinggi!”.

Sesudah semua dipotret dengan gaya empat musim, saya minta gantian dipotret dengan kamera yang saya bawa. Dua orang gadis meloncat, menyediakan diri untuk berpotret bersama. Sesuai aturan, harus dipotret satu demi satu. Ketika yang pertama sudah berdiri di samping saya, siap berpose, juru potret berteriak: “Musim Pepaya!”. Kami semua tertawa sambil seolah-olah sedang mengukur besarnya pepaya…..!

Heri Kartono.

Sabtu, 23 Mei 2009

Laskar Pelangi, di KBRI


LASKAR IBU-IBU

Kemarin saya nonton film LASKAR PELANGI di KBRI untuk Italia. Ini yang pertama kalinya KBRI mengadakan acara “nonton bareng”. Sekurangnya, selama saya 6 tahun tinggal di Roma. Diumumkan di milis bahwa film akan dimulai jam 05.00 sore. Sayapun datang jam 16.45 bersama seorang teman. Rupanya baru satu-dua orang saja yang datang. Panitia masih menyiapkan alat-alat, termasuk “layar tancap”-nya. Katanya ada perubahan jadwal pemutaran, menjadi jam 06.00 sore. Akhirnya jam 18.30 film baru benar-benar diputar. Yang hadir, termasuk anak-anak sekitar 30-an orang.

Suasana nonton rame-rame sebetulnya menyenangkan, kekeluargaan. Apalagi makanan-minuman ringan juga mengalir terus: Kacang rebus, ba’wan, coklat, permen, dan air mineral. Gratis lagi.

Ada ibu-ibu yang rupanya pernah nonton atau baca bukunya (sebetulnya saya malah sudah baca ke-empat buku Andrea Hirata, termasuk baca The Phenomenon, ulasan Asrori S.Karni tentang Andrea dan buku Laskar Pelanginya!). Tapi, ibu-ibu nampaknya sulit untuk tidak memberi komentar. Malahan, kadang-kadang komentar ibu-ibu lebih ramai dari filmnya. Soalnya, sebelum adegan berikutnya muncul, penjelasan ibu-ibu sudah lebih dulu...

Seperti halnya jadul, pemutaran film di KBRI ini ada break-nya juga. Selama break, kami disuguhi batagor yang memang uenaak…atau mungkin juga lantaran perut lapar.

Sesudah break, Laskar Pelangi babak keduapun dilanjutkan. Dan komentar ibu-ibu juga berlanjut hingga selesai. Seandainya Andrea Hirata ikut nonton bareng, mungkin dia akan mendapat inspirasi untuk membuat novel berikutnya, dengan judul: Laskar Ibu-ibu…..

Heri Kartono.