Minggu, 30 November 2008

Prof.Dr.Johannes Tarigan.


BANGGA MENJADI KATOLIK

“Saya bangga menjadi orang Katolik”, begitu komentar spontannya saat memasuki Basilika Santo Petrus, Vatikan. Sebagai seorang sarjana teknik sipil yang biasa bergelut dengan bangunan, ia amat takjub menyaksikan kebesaran serta kemegahan bangunan basilika tersebut. “Padahal, basilika ini dibangun 500 tahun yang lalu, ketika teknik dan peralatan belum semaju sekarang”, ujarnya dengan nada kagum.

Kebanggaan serta kekagumannya bertambah ketika ia mengikuti audiensi umum dengan Paus. Ia geleng-geleng kepala saat mendengar Paus dengan amat lancar berbicara dalam 5 bahasa, termasuk bahasa Polandia yang rumit. “Bagaimana mungkin beliau menguasai begitu banyak bahasa sekaligus?”, ujarnya seperti kepada diri sendiri.

Prof.Dr.Johannes Tarigan adalah guru besar pada Universitas Katolik St.Thomas Medan, Sumatera Utara. Sejak kecil ia memang dekat dengan gereja. Ayahnya dahulu bekerja sebagai Kepala Sekolah SMU Katolik di Kabanjahe. Di luar tugasnya sebagai kepala sekolah, sang ayah kerap juga membantu pastor mengajar agama dari kampung ke kampung. Tarigan kecil saat itu aktif sebagai putera altar di parokinya.

Kedekatannya dengan lingkungan gereja tetap melekat hingga kini. Sesuai keahliannya sebagai insinyur teknik sipil, ia banyak terlibat dalam pembangunan gereja. Kami kenal dan kerap bertemu juga dalam urusan pembangunan gereja. Waktu itu pak Tarigan duduk sebagai ketua pembangunan gereja Santa Maria  Tanjung-Selamat Medan. Seminggu sekali kami bertemu untuk memantau, mengevaluasi serta merencanakan kelanjutan pembangunan. Untuk pembangunan tersebut, Tarigan bukannya menerima bayaran malah acapkali ia ikut mengeluarkan uang dari kantong pribadinya.

Baru-baru ini Tarigan menjadi Visiting Professor selama tiga bulan di Achen, Jerman. Baginya, Jerman adalah negara yang tidak asing lagi. Ia meraih gelar S3-nya di kota Wuppertal, Jerman. Anak pertamanya, Juanta, lahir di kota tersebut. Sesudah menyelesaikan tugasnya sebagai Visiting Professor, Tarigan menyempatkan diri berkunjung ke Roma bersama istri dan Stefanie, anak bungsunya.

Professor Tarigan selalu tampil riang dan bersemangat. Ia selalu berbicara positif tentang orang lain, mencerminkan kebaikan hatinya. Sesudah menduduki jenjang tertinggi dalam dunia akedemis, penampilannya tetap bersahaja, rendah hati dan ramah. Demikianpun kecintaan serta pengabdiannya terhadap gereja tak pernah luntur. Kecintaan yang ia warisi dari almarhum ayahnya itu, nampaknya ia tularkan pula pada istri serta ketiga anaknya.

Heri Kartono.

5 komentar:

Anonim mengatakan...

kalau boleh saya ambil peran devil's advocate ?
sudah tentu hal bangga itu pendapat masing-2, tidak hendak didebat disini.
Hanya saja Candi Borobudur, Piramid, patung di pulau Paska mustinya lebih kolosal lagi [siapa yang bangga akan gedung-gedung ini?]
Paus yang primus inter pares - sudah tentu dituntut esktra - no question - paling tidak seorang Paus bicara Latin, Inggris, Italia dan bahasa ibunya - [imagine kalau Paus datang dari Wonosobo, maka ia bicara pula bahasa Jawa!]

Saya jadi ingat dongeng de Mello ttg Yesus yang nonton sepakbola - pertandingan di Belfast antara Katolik lawan protestan. Dan Yesus bersorak tiap kali kesebalasan Katolik membuat goal, pun makala protestan yang menjaringkan bola
orang disebelah jadi bertanya - Engkau ini dukung yang mana ?
I support humanity kata Yesus.

Katolik, protestan, etc - we are all human ain't we?- and let us celebrate humanity

tertanda
the devil

Heri Kartono mengatakan...

Terima kasih bang Lucas atas komentarnya, menarik.
Salam,
HK.

Rosiany T.Chandra mengatakan...

Semangat ingin melayani biasanya datang dari kerendahatian yang bersumber dari cinta kasih yang tumbuh subur terpelihara...

Unknown mengatakan...

Romo, pernah melihat sebuah bangunan rumah diantara factory outlets di jalan Dago, Bandung yang ada Dome-nya? Mirip Dome yang ada di St Pietro, Vatican. Pengen sekali mendengar komentar Pak Tarigan tentang bangunan itu...

JP Isnaryono DS mengatakan...

Mo,
ngeliat foto2nya aja udah kagum
apa lagi langsung bisa mengelusnya
dan kebetulan itu bangunan yang sejarahnya sedikit-banyak kita tahu

Bangunan itu menjadi mengagumkan
juga karena terawat-terpelihara dengan baik dan cermat,
mungkin terperhatikan per-inchinya ya...
coba jika dibiarkan menjadi bangunan angker
siapa yang akan mengaguminya?

Btw, kelemahan kita di sekitar mBrebes adalah seringnya memeras tenaga dan kantong seseorang demi berdirinya sebuah gereja, hanya dengan janji "upahmu besar di sorga…".
Ngga percaya?
tanyain deh ke Romo Mangun...
he…he…

salam