Selasa, 29 Juli 2008

dr. Suwanta


KIPRAH MANTAN SISWA TERBAIK

Senang bertemu kembali dengan kawan yang satu ini, dr. Suwanta. Dahulu, dia merupakan siswa kebanggaan sekolah kami, SD-SMP St. Thomas, Ciledug-Cirebon. Ya, sejak masih di SD, Wan Tjiang (nama aslinya dahulu) selalu menjadi juara, bukan saja di sekolah kami atau di tingkat kecamatan, tapi sampai ke tingkat propinsi, Jawa Barat. Predikat juara ini terus dia pegang sampai ia sekolah di SMA Santa Maria, Cirebon. Kami semua bangga bahwa anak Ciledug bisa menjadi siswa terbaik di seluruh Jawa Barat.

Wan Tjiang tidak hanya otaknya saja yang cemerlang tapi sepak terjangnya patut mendapat acungan jempol. Sebagai dokter muda, ia memilih ditempatkan di desa terpencil, Ciwaringin, Cirebon. Ia adalah dokter pertama yang bertugas di kampung kecil ini. Waktu itu, listrik-pun belum masuk. Ketika ia mendapat kesempatan untuk studi lanjut, ia tidak mengambil spesialisasi bidang kedokteran, melainkan manajemen.

Setelah bertahun-tahun bertugas di Ciwaringin sebagai dokter pegawai negeri, ia mulai merintis sebuah Rumah Sakit, di tempat yang sama. RS. Sumber Waras miliknya, kini menjadi besar dan berkembang amat pesat.

Sebagai pegawai negri eselon dua, ia  diangkat oleh Pemerintah Daerah sebagai Direktur Rumah Sakit Umum di Waled, Cirebon. Dengan demikian, ia mengurus dua Rumah Sakit sekaligus! Di tangannya, RSU. Waled maju pesat. Sering orang tidak percaya bahwa RSU. Waled adalah RS pemerintah, karena bersih dan pelayananpun memuaskan.

Wan Tjiang memang bekerja keras agar dapat mengurus dua RS sekaligus yang berjarak sekitar 60 Km satu sama lain. Untunglah semuanya dapat berjalan dengan baik. Meski demikian, tidak selamanya urusan lancar. Sebagai seorang Katolik, keturunan Cina lagi, Wan Tjiang kerap dicurigai. Tuduhan “kristenisasi” berkedok karya Rumah Sakit sempat beredar. Dengan tegar namun bijak, ia menghadapi semua itu. “Sebagai seorang warga Negara Indonesia, saya berhak serta berkewajiban untuk ikut memajukan bangsa ini”, ujarnya dalam percakapan pribadi. Kawan-kawannya di pemerintahan, termasuk pak Bupati, tahu betul integritas Wan Tjiang yang bersih (sudah empat Bupati Cirebon memilih Wan Tjiang sebagai dokter pribadinya!!).

Dalam hidup dan berkarya, Wan Tjiang mendapat dukungan penuh dari Sani, istrinya. Mereka berdua merupakan pasangan serasi, saling mendukung. Sani, selain memiliki usaha Apotik, juga bertindak mengurus bidang keuangan di Rumah Sakit Sumber Waras, milik mereka berdua.

Selamat untuk anda berdua.

Heri Kartono.

Selasa, 15 Juli 2008

Perancis.




DARI TAIZE HINGGA MOULIN ROUGE

Sudah lama mendengar tentang Komunitas Taize di Perancis. Saya suka lagu lagunya, enak untuk didengerin sambil berdoa untuk kemudian tertidur.

Kelompok ini didirikan oleh Roger Schutz, anak seorang pendeta Protestan di Swiss. Roger belajar teologi, mengikuti jejak ayahnya. Pada tahun 1940, dalam suasana perang dunia II, Roger berangkat ke Perancis Selatan dan menetap di desa Taize, di sebuah rumah kosong yang sudah rusak. Ketika itu usianya baru 25 tahun. Roger menjadikan rumahnya sebagai tempat penampungan para pengungsi perang serta tempat perlindungan bagi orang Yahudi yang dikejar-kejar Nazi. Di rumahnya itu ia mengajak orang-orang di sana untuk berdoa secara hening.

Dua tahun kemudian beberapa temannya bergabung bersama Roger. Ketika perang telah usai, Roger dan teman-temannya bertekad untuk meneruskan karya pelayanan mereka. Tidak hanya itu, mereka sepakat membuat komitmen bersama untuk hidup membujang dan sederhana seumur hidup. Itu awal mulanya kelompok ini yang kemudian dikenal luas.

Pada suatu musim panas, sayapun berkunjung ke Taize. Saya terbang dengan pesawat yang murah, Ryanair, via Swiss. Dari sana naik Kereta menuju Lyon, Perancis menemui frater Nana yang sedang studi multi-media. Esoknya, bersama Nana, Irawan, Olin dan Jessica, kami meluncur ke Taize naik Kereta, kemudian disambung Bus (Taize memang bener-bener kampung kecil, kendaraan umum amat terbatas!).

Di Taize suasananya menyenangkan sekali. Waktu itu ada sekitar lima ribuan anak muda dari pelbagai penjuru dunia yang berkumpul. Umumnya menginap di tenda-tenda. Kami yang berasal dari Indonesia yang terbiasa manja, memilih menginap di kamar, lebih nyaman. Oya, untuk pembayaran (menginap dan makan) ada aturannya. Peserta dari Eropa Barat dikenakan tarif standar; sementara dari Afrika dan beberapa Negara Asia, dikenakan harga khusus (=untuk orang miskin). Kami memang datang dari Lyon dan Roma namun karena cinta tanah air dan terutama demi tarif yang setengah harga itu, dengan bangga kami memperkenalkan diri sebagai orang Indonesia!

Saat itu kelompok persaudaraan Taize berjumlah sekitar 90 bruder yang berasal dari 25 negara, termasuk dua dari Indonesia (Br.Francesco dari Jogya dan Br.Andre dari Tegal, keduanya dari latar belakang Katolik). Kami menikmati sekali acara-acara di Taize, baik acara hura-hura bersama anak-anak muda lain (malam hari), antri mandi, antri makan, jalan-jalan di kampung dan terutama sekali acara doa bersama. Ribuan orang berkumpul dalam satu aula besar, hanyut dalam keheningan dan lagu-lagu yang meditatif. Sungguh tiga hari yang menyegarkan jiwa…..

Dari Taize, bersama frater Nana, melancong ke Paris, kota fashion dan seni. Meski hanya dua hari, cukuplah untuk melihat beberapa tempat menarik: Notre Dame Katedral bergaya gothic, Champs Elysees, Versailles Castle, Menara Eiffel dan tentu saja Moulin Rouge dengan pesona malamnya…Heri Kartono (Musim Panas 2005).

Minggu, 13 Juli 2008

Edward, Ria dan Rizka.



MENGHITUNG HARI

Pertama kali bertemu dengan Ria Dhian dan Edward adalah saat antri makanan di kantin mahasiswa di Gent, Belgia. Begitu mendengar ada orang berbahasa Indonesia, kami langsung bertegur sapa dan langsung tertawa-tawa. Chris Depypere, orang Belgia kawan saya, sesudahnya bertanya: “Apakah kalian sudah lama saling kenal?”. Ketika saya jelaskan bahwa kami baru saja berkenalan, dia tak bisa menyembunyikan keheranannya. “Bagaimana mungkin baru kenal sudah langsung akrab dan ramai sekali?”, kata Chris antara kagum dan bingung.

Ria Dhian memang tergolong manusia langka, dalam hal “keributan”. Berada bersama dia, selalu ramai, menyenangkan. Karenanya tidak mengherankan bahwa Edward yang sebenarnya sedikit pendiam dan pemalu begitu lengket dengan Ria. Mereka bahkan sudah merencanakan untuk menikah tanggal 27 Desember 2008 nanti di Jakarta, asal mereka.

Perkenalan dengan Ria dan Edward berlanjut saat mereka berkunjung ke Roma selama beberapa hari (Februari 2008). Waktu itu Rizka, adik Ria juga ikut. Rizka tidak seramai Ria namun sama ramahnya dan pandai bergaul. Rizka tergolong kurus dan tinggi, tidak heran makannya lumayan banyak, maklum anak kost. Tidak jelas apakah Rizka sudah punya pacar atau belum. Yang pasti, dalam albumnya ditemukan foto Rizka sedang berpose hangat dengan seorang pria bule……

Ria mendapat gelar master in food science & technology dari Universitas Gent. Ia juga sempat kuliah di Leuven tapi tidak sampai selesai. Edward, bakal suaminya, sedikit lebih hebat. Ia punya 2 gelar master sekaligus: master in food science & technology dan master in industrial management, specialized in transport and logistic (Leuven). Sementara Rizka, anak kecil, ambil S1 jurusan process and food technology.

Kini Ria tinggal di Singapore, berharap mendapat pekerjaan yang layak, sesuai dengan jerih-payahnya studi di Belgia. Mau tahu pekerjaan utamanya sekarang? Ia sibuk menghitung hari. Maklum, saat-saat perkawinannya memang tidak lama lagi. Selamat deh untuk kalian berdua. Untuk Rizka, anak kecil, sekolah dulu yang rajin, baru mikir kawin!!

Heri Kartono.

(Catatan: Tanggal 16 September 2008 ada kabar gembira, Ria diterima kerja. Tidak ada penjelasan kerja apa, mungkin juga TKW. Pokoknya, selamat deh!!).

 

Kamis, 10 Juli 2008

Brasil



DIRAMPOK SESUDAH BERSENANG-SENANG

Dua kali ke Brasil, dua pengalaman berbeda. Yang pertama (2003) saya bersama Pastor Frans Vermeulen, saat menghadiri Rapat Akbar (General Chapter) di Mario Campos, Belo Horizonte, MG. Kami berangkat beberapa hari lebih awal. Kami tidak langsung ke tempat tujuan melainkan melancong ke Sao Paolo dahulu. Di sana kami dijamu oleh pak Hasan, seorang pengusaha sukses asal Bandung, kawan karib Pst. Vermeulen.

Bapak keturunan Tionghoa ini sudah lama menetap di Sao Paolo, Brasil. Bapak ini mensponsori kami berdua berwisata ke air terjun IguaƧu di kawasan hutan dan sungai Amazon. Selanjutnya pak Hasan yang dermawan ini mengajak kami pelesir ke Rio de Janeiro. Selama 5 hari kami menjadi tamu istimewa pak Hasan. Sesudahnya, barulah kami meluncur ke kota Belo Horizonte di wilayah Minas Gerais untuk rapat. Peserta rapatnya adalah perwakilan OSC dari seluruh dunia.

Pada hari Minggu kedua, sesudah makan malam, sebagian dari kami (termasuk saya) nonton film My Big Fat Greek Wedding (2002) yang amat lucu di Aula. Sebagian peserta masih belum kembali, melancong di kota. Ada beberapa peserta yang bersantai di kamarnya. Saat film sedang lucu-lucunya, masuklah seorang pemuda, ceking, bertopi dan berpistol. Dia masuk dengan tenang dan mengawasi kami dengan tenang pula. Kamipun terus menyaksikan film, tidak terlalu memperdulikan pemuda ini, meski merasa sedikit janggal.

Beberapa menit kemudian, kawan-kawan kami yang berada di kamar, digiring satu demi satu dengan pistol menempel di kepala, masuk aula. Barulah kami insyap bahwa sedang terjadi perampokan. Ternyata ada 3 bandit yang datang, semua bersenjata. Dari Aula, kami diperintahkan pindah ke sebuah ruangan yang lebih kecil dan dikunci dari luar. Seorang kawan kami, Huub Wagemans (orang Belanda) lantaran dianggap rewel, dipukul dan dihajar sampai babak belur. Darah mengalir deras dari wajah dan bibirnya yang pecah, membasahi pakaiannya yang berwarna putih. Nyali kamipun langsung menjadi ciut mendengar jeritannya yang menyayat hati.

Pada saat kami berada dalam ruangan terkunci, para bandit dengan leluasa menjarah semua harta benda kami: uang, laptop, kamera bahkan juga paspor. Saya pribadi sedikit tersinggung. Soalnya, si bandit sudah sempat mengambil kamera saya, tapi mencampakannya kembali ke atas kasur, tidak jadi diambil………dianggap kamera murahan!!

Berita perampokan tersebar cepat. Esoknya, sejumlah polisi datang untuk melakukan investigasi dan pendataan. Selain polisi, datang juga crew sebuah stasiun televisi untuk meliput dan mewawancarai sebagian dari kami. Sesudah segala urusan beres, rapat tetap diteruskan sesuai agenda, meski beberapa masih syok.

Selesai rapat, kami sekali lagi diundang pak Hasan yang mendengar berita pilu perampokan. Dia ingin menghibur kami. Pak Hasan mengajak kami pelesir dengan kapal pesiar ke danau Bara Bonita, sekitar 3 jam dari Sao Paolo. Perjalanan di kapal pesiar sambil menikmati santap siang spesial membuat kami amat bahagia, tapi tetap tidak bisa melupakan para bandit sialan itu….!

Perjalanan kedua ke Brasil (Juni 2006) juga untuk rapat. Saya berangkat bersama James Hentges dari Roma. Kali ini tidak ada perampokan. Jadi, tidak ada yang menarik untuk diceritakan…

Heri Kartono.

Selasa, 08 Juli 2008

Grand Canyon (Heri Kartono)





GRAND CANYON DAN JUDI!

Sambil bertugas, sekalian jalan-jalan. Itu motto yang tidak terlalu jelek. Kalau tidak, setiap tahun ke USA, bosen juga. Saat berkunjung ke komunitas OSC di Phoenix, Arizona, konfrater Bob Rossi mengatur juga hari-hari untuk jalan-jalan. Salah satu tempat yang dituju adalah Grand Canyon, sekitar 3 jam dari Phoenix dengan mobil. Grand Canyon merupakan salah satu National Park pertama di AS. Presiden Theodore Roosevelt adalah orang yang getol mengusulkannya. Dia sendiri gemar berkunjung ke tempat ini.

Konon tempat ini terbentuk (antara lain oleh aliran sungai Colorado) selama 17 juta tahun. Panjang Grand Canyon 446 Km, lebar antara 7-29 Km sementara kedalamannya berkisar 1.6 Km. Dahulu, gua-gua yang banyak terdapat di wilayah ini dihuni oleh suku-suku asli setempat. Orang kulit putih pertama yang datang ke tempat ini adalah Garcia Lopez de Cardenas dari Spanyol (1540).

Kalau anda anak muda, apalagi gemar berpetualang, pasti akan tergoda untuk berjalan kaki turun ke lembah. Ada jalan khusus yang memang disediakan untuk itu. Atau, bisa juga cari terobosan sendiri. Hanya, kalau tersesat, pasti akan bikin repot para petugas yang selalu memantau keselamatan pengunjung. Saya sih cukup puas mengamati dari atas dahsyatnya karang-karang dan lembah tempat ini.

Pulangnya, kami mampir minum kopi di kota kecil Modena. Kota ini dikelilingi pegunungan dan karang-karang yang bagus sekali. Ini memang kota turis. Dari sana kami makan malam di Cliff Castle Casino. Ini kompleks judi besar dan resmi di Arizona. Di dalamnya ada restoran dengan harga miring. Katanya sih sengaja dibuat murah untuk mengundang orang datang dan tentu sesudahnya diharapkan bermain judi. Itu juga yang terjadi dengan kami. Bob, seperti yang sudah ahli, menunjukkan berbagai kemungkinan permainan judi, mulai dari yang paling murah sampai yang paling bergengsi alias mahal (untuk jenis ini biasanya ada petugas wanita, cantik, ikut meladeni!).

Saya diajari main judi pake mesin, entah apa namanya, lupa. Yang jelas, ini jenis permainan murah. Kebanyakan yang main jenis judi ini para pensiunan atau orang-orang miskin, seperti turis asal Brebes yang satu ini. Sesudah menang $ 40, saya buru-buru minta berhenti. Si Bob tertawa terbahak-bahak: “Kamu nggak punya jiwa judi. Baru menang dikit sudah minta berhenti!”. (Yah…daripada bangkrut baru berhenti, lebih baik dibilang nggak punya mental judi tapi dapet untung 40 dollar!!).

Heri Kartono (Thanks Bob, for your warm hospitality!)

Senin, 07 Juli 2008

Rm. Rio Mursanto SY



KERJA KERAS DAN RENDAH HATI

Sesudah lulus SMA tahun 1976, rasanya tidak pernah bertemu lagi. Dan sesudah lebih 30 tahun tidak bertemu, Rio Mursanto masih seperti dulu: santun, tenang, rendah hati, senang kerja keras dan tetap kurus. Waktu di SMA, setiap tahun Rio naik klas dengan predikat Cum Laude dan mendapat penghargaan khusus. Tak ada yang meragukan otaknya yang encer dan tak ada yang iri karena prestasinya itu, lantaran Rio tak pernah menyombongkannya.

Sebagai imam Yesuit, bertahun-tahun Rio bertugas sebagai Direktur SMA Kanisius Jakarta. Sempat beberapa tahun bekerja di Manila dan kini bertugas di Semarang, sebagai Ketua Yayasan Loyola. Di samping itu, Rm. Rio masih merangkap sebagai kepala sekolah pertukangan.

Rm. Rio datang ke Roma untuk mengikuti Konggregasi Jenderal (KJ) Yesuit yang berlangsung dari 7 Januari hingga awal Maret 2008. Dalam KJ ke-35 ini terpilih Pater Adolfo Nicolas (71) sebagai pimpinan baru Yesuit. Sebelum terpilih, Rm. Rio tinggal bersama Pater Adolfo di Collegio del Gesu. Setiap pagi mereka berjalan kaki bersama (sekitar 2 Km) menuju tempat pertemuan KJ. Namun, sesudah terpilih, Pater Adolfo langsung dipindahkan ke Generalat Yesuit di kawasan Vatikan.

Terima kasih Rm. Rio, sudah menyempatkan mampir dan makan siang bersama di komunitas kami. Selamat berkarya.

Heri Kartono.

(Rm.Rio sekarang menjadi Propinsial SY).

Sabtu, 05 Juli 2008

Heri Kartono (Atsj-Asmat)





JENDERAL CENGENGESAN

Ini kisah perjalanan ke Atsy, Asmat (Juni 2008). Kecamatan Atsj masih termasuk wilayah Indonesia tapi baik daerah maupun orangnya sangat berbeda dengan di Bandung atau di Brebes sekalipun. Tidak ada jalan darat karena tanahnya berlumpur. Siang hari boleh saja kering, namun malam hari, saat air pasang, maka semua terendam air.

Perjalanan dimulai dari Jakarta, singgah di Denpasar, Ujung Pandang kemudian langsung ke Timika. Di kota yang hidup dari uang Freeport ini, kami menginap satu malam. Esoknya, kami terbang lagi dengan pesawat kecil, juga milik Merpati menuju Ewer. Dari atas pesawat yang terbang tidak terlalu tinggi, kita hanya bisa melihat hutan dan sungai-sungai besar, melingkar-lingkar seperti ular.

Saat mendarat, pesawat terguncang-guncang hebat, maklum landasannya sederhana dan dibuat dengan tangan kosong. Orang-orang, baik penjemput, penumpang yang akan naik, maupun penduduk serta anak-anak, berkerumun di sekitar pesawat. Kedatangan pesawat merupakan hiburan tersendiri bagi penduduk, khususnya anak-anak. Beberapa kali petugas harus mengusir mereka yang berdiri terlalu dekat pesawat.

Dari Ewer, kami dijemput naik speedboat menuju Agats, ibu kota Asmat. Untuk yang tidak terbiasa naik speedboat di atas sungai maha besar dengan ombak yang lumayan, apalagi dengan kecepatan tinggi, memang bisa membuat perut langsung mual dan kepala berkunang-kunang. Di Agats, kami tinggal beberapa hari.

Sampailah saatnya kami berangkat ke Atsj, sekitar 2 jam dengan speedboat. Di beberapa tempat, speedboat yang terbuat dari semacam kaleng ringan ini guncangannya kelewat mengkhawatirkan. Namun melihat Pst. Bowo yang menyetir dari belakang dengan wajah tenang tanpa ekspresi, saya tahu bahwa situasi terkendali. Sekitar 15 menit sebelum sampai, Pst. Ote membuka HT-nya dan mulai mencoba kontak dengan Atsj. Pembicaraannya begitu keras sehingga tanpa diberi tahu, kami semua mendengar bahwa ada penyambutan besar-besaran sudah menunggu.

Ketika mendekati Atsj, saya melihat kerumunan banyak orang dengan teriakan-teriakan serta goyang pantat yang khas. Mereka bergembira karena kedatangan seorang Jenderal, pimpinan Ordo Salib Suci sedunia, langsung dari Roma! Ketika kami mendarat, terdengar sedikit kegaduhan dan bisik-bisik namun dengan suara keras. “Kok jenderalnya bukan orang bule?” “Cengengesan lag!?” “Pendek dan gelap lagi!” “Apakah tidak tertukar di jalan?”. Begitu kira-kira yang mereka kasak-kusukan.

Pastor Ote segera berinisiatif mengambil pengeras suara. Dengan mantap ia menjelaskan bahwa Bapak Jenderal Glen Lewandowsi, jenderal OSC yang asli, berhalangan mendadak karena sakit perut akut. Tapi, yang di depan kita ini, juga sama sakti-nya. Dia juga datang dari Roma, temennya Paus, tapi makan nasi seperti kita! Merekapun mengangguk-angguk, bersorak-sorai dan mulai mengarak sang Jenderal kecil yang cengengesan ini (setelah diberi topi bulu kus-kus, kalung jimat dan bulu-bulu kasuari).

Malam harinya acara dilanjutkan. Orang-orang berkumpul mulai jam 8 malam sampai jam 6 pagi, pukul tifa, goyang pantat dengan beberapa kali istirahat (minum kopi, isap rokok dan gorengan ala kadarnya!). Pada awal acara, Pastor Suwarno menjelaskan bahwa itupun merupakan bagian penyambutan menurut adat Asmat. Suwarno yang asli orang Jawa berkata sopan: “Tugas pastor hanya hadir dan cukup menyediakan rokok dan makanan ringan bagi semua yang datang!”. Sayapun maklum apa yang dia maksud. Dompet saya serahkan pada Warno supaya urusan lancar!

Pada tengah malam, saya berbisik pada Pst. Bowo bahwa saya bahagia tapi mata sudah tidak tahan. Pastor Bowo-pun mengumumkan bahwa “Bapak Jenderal” ada urusan lain! Mereka memaklumi dan terus memukul tifa, menari-nari dan meneriakkan suara-suara tertentu dalam bahasa mereka. Jam 6 pagi semua kelelahan namun puas karena telah menjalankan acara penyambutan secara sempurna sesuai dengan adat Asmat. Sementara sang "Jenderal" masih terlelap di kamarnya.

Heri Kartono.

Terima kasih untuk Komunitas Atsj: Pst. Bowo, Pst. Ote, Pst. Suwarno; Pst. Edu.

Jumat, 04 Juli 2008

Linda Chandra.



INGIN TERUS MAJU

Orangnya tergolong kecil, tapi kemauan dan prestasinya besar. Tidak heran ia sempat dinobatkan sebagai salah satu The most Powerful Women 2006 (Swa, 20 April 2006). Sejak masih remaja Linda Chandra memang sudah terbiasa kerja keras. Hal itu mungkin karena dituntut situasi namun juga didukung karekternya. Orang tuanya mempunyai usaha di bidang perhiasan. Semula Linda ikut membantu usaha orang tuanya. Belakangan ia mencoba sesuatu yang baru: Art Shoes, sepatu seni yang diciptakan untuk orang per orang. Tanpa ragu, ia menggunakan namanya sebagai merek sepatunya: Linda Chandra atau LC.

Usaha yang dimulai dengan susah payah ini, akhirnya membuahkan hasil juga. Nama sepatu buatannya mulai banyak dikenal dan digemari, terutama untuk kalangan atas. Para artis, perwira tinggi, bahkan keluarga Presidenpun menjadi langganannya. Yang jelas, Venna Melinda, Miss Jakarta 2002 dan artis Cornelia Agatha sudah lama menjadi pelanggan tetap sepatu LC. Satu demi satu Media Massa tertarik untuk menyorot kiprahnya di bidang persepatuan. Kompas, Gatra, Warta Ekonomi, Nova adalah beberapa contoh media yang pernah mengulas profil wanita enerjik ini. Tidak ketinggalan, sejumlah stasiun televisi nasional, berebut mewawancarinya untuk tayangan mereka.

Linda tidak pernah puas. Mungkin itu yang membuat dia selalu mencari terobosan baru. Untuk kulit bahan sepatu misalnya, ia tidak segan-segan untuk berbelanja ke manca-negara, khususnya Italia, mencari produk terbaik. Selain itu, ia juga terus mengikuti perkembangan persepatuan lewat kursus-kursus serta pameran di tingkat internasional. Berminat untuk mengenalnya lebih jauh? Silahkan klik di sini: http://www.lindachandra.com/

Di luar dunia usaha, Linda adalah kawan yang menyenangkan. Kalau sudah ngobrol, susah untuk berhenti, sambung-menyambung. Hobinya makan Gelato alias Es Krim Italia, kadang mencemaskan. Nampaknya ia tidak peduli bahwa dengan banyak makan Es Krim, tubuhnya bisa “berkembang” (sebetulnya sih sudah mulai!). Begitu juga dengan kesukaannya bernyanyi. Kalau sedang “in the mood”, ia bisa bernyanyi di mana saja, dengan suara keras: di dapur sambil mengeringkan piring-piring dan gelas ataupun di Piazza yang penuh dengan orang-orang. Ia selalu menyanyi dengan penuh percaya diri. Suaranya memang bagus, kadang-kadang!

Terima kasih ya adik kecil atas kunjungan-kunjungannya. Sendal istimewanya masih tetap bagus dan mengkilap (maklum, jarang saya pakai!). Ditunggu kunjungan berikutnya!

Heri Kartono/Kakak Besar.

Kamis, 03 Juli 2008

Yani Kardono.




SESUDAH LEBIH 15 TAHUN

Namanya Yani Kardono tapi lebih sering dipanggil Supermie, maklum rambutnya ikal kayak mie. Dulu sekolahnya di SMA St.Angela Bandung. Mbak Yani tinggal di Jalan Cikutra, depan RS.St.Yusup. Kalau berkunjung ke rumahnya, harus berjuang berat melawan becak, andong, angkot dan segala macam bakul-bakul yang berjualan di kiri-kanan jalan. Sekarang sih sudah lebih manusiawi….

Sudah lama tidak jumpa, paling kurang 15 tahun, tahu-tahu muncul lagi. Mbak Yani datang bersama Deti (yang putih, simpatik dan tetap cantik). Mbak Deti didampingi suaminya, mas Prasetya yang setya, sarjana Hukum namun kerja di perusahaan motor, merangkap “juru foto keliling”, maklum kemana-mana selalu memotret.

Mbak Yani sekarang tinggal di Jakarta bersama suami dan anaknya. Ia punya biro Konsultan Hukum, kerja-sama dengan beberapa rekannya dan sukses. Salah satu indikasi suksesnya, bironya 3 kali mendapat award sebagai The Law Firm of The Year versi Who's Who Legal. Informasi tentang bironya, bisa diakses di: www.ssek.com . Selain lulus dari Fakultas Hukum Unpar, Yani sempat studi sebentar di AS; sementara adiknya, Deti sekarang psikolog free-lance

Senang sekali bertemu kembali dengan anda semua. Terima kasih atas kunjungannya. Sukses selalu.

Ciao. 

Catatan Personal.



PADA AWALNYA...

Blog ini dibuat untuk melengkapi blog sebelumnya. Blog pertama dimaksudkan sebagai "Album Artikel", terutama yang pernah dipublikasikan media umum. Sementara blog ini lebih bersifat catatan pribadi, sedikit main-main.

Seandainya anda kebetulan ikut membaca dan menikmatinya, nggak ada salahnya juga. Memang blog ini sekaligus juga sebagai ajang komunikasi dengan beberapa kawan dekat.
Terima kasih sudah ikut mengunjungi blog ini.
Wasalam,
HK.