Minggu, 14 Oktober 2012

ASYIKNYA JADI ROMO (KORAN JAKARTA)






Kualitas SDM
Pembentukan Karakter Perlu Waktu

JAKARTA - Pembentukan karakter seseorang itu tidak dapat dilakukan secara instan, perlu waktu. Demikian salah satu pernyataan dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Dr Haryatmoko SJ, saat menjadi pembicara pada acara peluncuran dan bedah buku Asyiknya Jadi Romo, di Gedung Karya Pastoral Paroki Helena, Tangerang, Minggu (14/10). 

Buku tersebut merupakan karya P Heri Kartono OSC.

Menurut Haryatmoko, dalam buku tersebut, dikisahkan idola-idola Romo Heri Kartono. Menjadi panutan berkarakter seperti itu tidak mudah, perlu perjuangan sejak muda, perlu latihan-latihan langsung di tengah masyarakat untuk menempa diri. 

Calon-calon imam dikirim untuk bekerja sebagai upaya membentuk karakter. Buku itu terdiri dari 91 cerita unik, lucu, menggelitik, inspiratif, dan menggugah. Orang-orang yang diidolakan Heri antara lain ada di kisah nomor 33, 34, 38, 52, 53, dan 68. Menurut Heri, buku itu semula hanya main-main di blog. Bahkan ceritanya secara umum main-main saja, tapi banyak dibaca. 

Tulisan di blog sudah 30.000 artikel lebih. Ini sebagian dari tulisan-tulisan di blog tersebut.

Haryatmoko mengelompokkan cerita-cerita ke dalam tema keluarga, pendidikan, melayani, imam yang ideal, kepahlawanan, dan cerita orang lain. "Saya tiap malam malas tidur karena membaca buku ini," ujar Haryatmoko. 

Menurut dia, Heri merupakan pastor yang dekat dan tidak ditakuti umat. Dia tidak otoriter. Dia selalu memiliki solusi atas setiap masalah. "Beliau selalu tenang menghadapi masalah," ujar dosen UI itu. Salah satu cerita lucu itu ialah saat Heri mengajak temannya makan bakso. Temannya mau. Setelah selesai, keduanya lirik-lirikan dan saling mengajak pulang. 

Tapi tidak ada yang beranjak. Heri memberi kode agar temannya membayar. Heri mengasumsikan temannya itu membawa uang, maka dia mau ketika diajak makan bakso. Heri tidak membawa uang. Terpaksalah temannya dijadikan borek. Dia sendiri cari pinjaman ke umat yang tinggal di sekitar pangkalan bakso. "Pinjamnya pun sedikit berbohong. Katanya, dompetnya hilang," ujar Haryatmoko disambut gelak tawa. 



Heri menjelaskan Asyiknya Jadi Romo berisi semacam "kronik" perjalanan hidup yang dibuat secara khusus, lain dari yang lain. Banyak kisah yang lucu, segar, bahkan konyol. Ada juga kisah yang mendebarkan, seperti saat dia ditolak menjadi pastor di Medan serta mendapat 100 tanda tangan penolakan dari umat. Dia juga pernah didemo sejumlah guru yang kalap. 

Di antara mereka ada yang menggebrak meja. Pastor kelahiran Cirebon ini bersama tamunya nyaris diserang orangutan di tengah hutan Bahorok, Sumatra Utara. Dalam buku setebal 196 halaman ini, kita juga dapat menikmati kisah-kisah inspiratif sebagaimana dituturkan tentang salah satu sahabatnya, Richard Gleeson (Richard, What Do You Want me To Do?). wid/P-3
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/103111

Berita ini ada juga di Kompas, klik saja di bawah ini:
http://oase.kompas.com/read/2012/10/14/21243689/Pastor.Pasti.Manusia.Juga

Minggu, 07 Oktober 2012

Asyiknya Jadi Romo (kutipan)






SERASA MENJADI PAHLAWAN

Ini salah satu pengalaman kecil yang membuat hati bangga dan malu sekaligus. Suatu siang (1998), saya berkunjung ke susteran SFD di belakang Katedral Medan. Saat itu saya memang bertugas di Medan. Ketika saya datang, ada seorang suster yang sedang kebingungan. Suster Laurensia Sinulingga SFD hendak pergi ke Kisaran dengan adiknya naik Kereta Api. Mobil susteran yang seharusnya mengantar dia ke Stasiun Kereta, belum kunjung datang. Begitu melihat saya, suster ini langsung menyongsong: “Pastor bisa minta tolong antar kami ke Stasiun Kereta Api? Kami sudah hampir terlambat dan belum punya karcis!”, pintanya dengan cemas.

Tanpa banyak kata, saya mengantar Sr.Laurensia SFD dengan adiknya ke Stasiun. Sesampainya di Stasiun, saya ikut membantu membawakan koper suster. Kami langsung menuju loket penjualan karcis. Di depan loket, ada banyak orang berjubel. Sepertinya mereka sedang berteriak-teriak tidak puas. Rupanya para penumpang itu kesal dan marah melihat di depan loket tertulis pengumuman menyolok: “KARCIS HABIS!”. Hari itu memang permulaan liburan sekolah. Banyak orang bepergian ke luar kota naik Kereta. Suster Laurensia hampir menangis membaca pengumuman itu. Saya mencoba menghibur: “Suster tenang saja tunggu di sini, saya akan coba mencari karcis!”

Saya langsung bergegas menuju kantor Kepala Stasiun. Dengan agak enggan, Kepala Stasiun menemui saya. “Pak, saya minta 2 karcis untuk Kisaran!”, ujar saya tanpa basa-basi. “Kenapa minta dari saya?”, katanya dengan nada kurang senang. Saya jawab: “Bapak saya juga Kepala Stasiun di Brebes, Jawa. Biasanya bapak selalu punya beberapa karcis ekstra!”. Mendengar jawaban saya, sang Kepala Stasiun berubah menjadi ramah. “Oo…begitu. Mari masuk!”, katanya bersahabat. Sejurus kemudian pak Kepala Stasiun memberikan 2 karcis yang saya butuhkan. Tidak hanya itu, dia malah berkata: “Hari ini penumpang sangat banyak. Tunggu saja di sini, nanti saya suruh anak buah saya mencarikan tempat duduk!”. Tentu saja suster Laurensia amat senang dan berterima kasih.

Saya menunggu sampai suster mendapat tempat duduk dan Kereta berangkat. Saya melambai-lambaikan tangan bak seorang pahlawan yang telah berjasa besar. Susterpun dari dalam Kereta melambai-lambaikan tangannya berulang-ulang. Ketika Kereta telah hilang dari pandangan mata, saya baru ingat sesuatu. Dengan panik saya meraba saku baju saya. Celaka…..dua karcis Kereta yang saya peroleh dengan susah payah dari pak Kepala Stasiun ternyata masih  tersimpan dalam saku baju saya…….!! (dari buku: ASYIKNYA JADI ROMO, Heri Kartono).