Senin, 26 Juli 2010

Pastor Daerah


TIDUR DI LANTAI HOTEL BERBINTANG

Ini kisah yang mengharukan dari seorang pastor. Sebut saja namanya pastor John. Pastor ini berasal dari sebuah kampung kecil di sebuah pulau nun jauh di timor sana. Sebelum dan sesudah menjadi pastor, dia tidak pernah tidur di hotel, apalagi hotel berbintang.

Suatu hari, pastor John ini diundang memberi ceramah di sebuah kota besar. Untuk menghargai sang pastor, panitia menempatkan pastor di Novotel, sebuah hotel bergengsi. Hotel ini masih tergolong baru. Fasilitas di hotel tersebut amat baik dan masih kinclong-kinclong karena belum banyak digunakan. Pastor John terkagum-kagum melihat hotel yang amat bagus itu.

Keesokan harinya, saat pastor John dijemput, terlihat wajahnya masam, tanpa senyum sedikitpun. Dengan sedikit was-was sang penjemput bertanya: “Bagaimana pastor, bisa tidur nyenyak?”. Masih dengan wajah kecut, pastor John menjawab: “Hotelnya payah. Listrik tidak nyala. Televisi dan AC juga tidak berfungsi. Karena udara sangat panas, akhirnya saya tidur di lantai tanpa baju…!”, jawab pastor John dengan nada kurang senang. Tentu saja sang penjemput kaget bukan kepalang. Akhirnya, sesudah diusut ke pihak hotel, ketahuan penyebabnya. Pastor John yang tidak pernah tidur di hotel besar ini tidak tahu bahwa “kartu Chip” yang diberikan pihak hotel seharusnya dimasukan ke lobang yang tersedia. Karena kartu tidak dimasukan, maka semua listrik dan fasilitas yang lain juga tidak berfungsi. Sang penjemput hampir tertawa terpingkal-pingkal. Untunglah ia segera sadar bahwa pastor yang dihormatinya ini masih berdiri di hadapannya dengan wajah yang amat kecut!!

Heri Kartono.

Sabtu, 24 Juli 2010

Dr.Lukas Yohandoyo


PENCINTA BOLA YANG SOSIAL

Saat menyaksikan Piala Dunia, Lukas Yohandoyo teringat kembali akan pengalamannya di dunia sepak bola. Ia pernah mendirikan Sekolah Sepak Bola remaja di kotanya, Malang. Prestasi terbaik anak-anak asuhannya adalah ketika berhasil menyabet gelar juara PSSI Yunior (1998).

Pak Yo, panggilan akrab pria ramah ini, menyukai sepak bola sejak ia masih remaja. Saat duduk di bangku SMA, Yo mendirikan klub V3 (Veni Vidi Vici) bersama rekan-rekannya. Kecintaannya terhadap bola dibawanya terus hingga kini.

Sehari-hari Yohandoyo adalah seorang dokter medis. Setelah lulus dokter dari fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya (1965) Yo ditempatkan di Rumah Sakit dr.Saiful Anwar (RSSA) Malang. Yo bertugas di Rumah Sakit ini hingga pensiun (1998). Meski bekerja di Rumah Sakit, Yo tetap tak mau melepaskan diri dari kegemarannya di bidang olah raga, khususnya Sepak Bola. Saat ia menjabat sebagai direktur bagian Pavilyun RSSA, Yo mendirikan klub sepak bola. “Semua pemainnya adalah pegawai RSSA. Dan ini merupakan satu-satunya Rumah Sakit di Indonesia yang memiliki klub Sepak Bola!”, ujar dokter yang pernah mendapat pendidikan tambahan Kedokteran Olahraga ini.

Di kota Malang, tempat tinggalnya, nama Yohandoyo populer di kalangan pencinta sepak bola. Tidak heran bahwa ia pernah diminta menjadi pengurus PERSEMA (Persatuan Sepak Bola Malang). Selama 8 tahun ia duduk sebagai Ketua Harian dan Team Manager. Di bawah asuhannya, PERSEMA naik tingkat dari grup klassemen divisi I ke divisi utama. Selama 8 tahun itu ia kerap berkeliling Indonesia mendampingi tim asuhannya mengikuti pelbagai turnamen. Yo pernah juga menyelenggarakan “Kursus Wasit dan Pelatih Sepak Bola”, suatu kegiatan yang jarang diadakan.

Kepedulian Terhadap Anak Miskin

Di luar hobi bolanya, Yo dikenal juga sebagai tokoh sosial. Perhatiannya terhadap orang yang tak mampu memang amat besar. Awalnya, di sekitar tempat tinggalnya, ia sering bertemu anak-anak terlantar, tidak bersekolah karena tak ada biaya. Hatinyapun tergerak oleh belas kasihan. Dengan modal sendiri, ia berinisiatif membantu anak-anak miskin yang ia jumpai itu. Yo membiayai terutama keperluan sekolah anak-anak mulai dari alat tulis, pakaian seragam hingga sepatu. “Pokoknya perlengkapan yang dibutuhkan untuk sekolah. Teoritis sekolah itu gratis. Namun ada banyak pengeluaran yang harus dibayar siswa”, tutur pria kelahiran Pekalongan, 8 April 1940 ini. Yo meyakini bahwa taraf hidup seseorang dapat menjadi lebih baik pertama-tama lewat pendidikan, baik pendidikan formal maupun kursus-kursus ketrampilan praktis.

Semakin hari kegiatannya di bidang sosial makin bertambah seiring dengan bertambahnya anak-anak terlantar yang dibantunya. Yo beruntung bahwa kiprahnya dalam membantu anak-anak miskin mendapat dukungan sepenuhnya dari istrinya, Anna Elisabeth Louise Herlani, maupun dari anak-anaknya. Selain anak-anak yang ditemui Yo, ada pula orang yang datang menitipkan anak supaya dibantu dan disekolahkan. “Seorang suster pernah juga menitipkan seorang anak tak mampu. Anak tersebut kami tampung di rumah kami”, jelas dokter yang mempelajari juga pengobatan akupunktur. Saat ini anak-anak yang dibantunya mencapai hampir 100 orang.

Ketika Yo mempunyai rejeki lebih, ia membeli sebuah rumah di seberang tempat tinggalnya. Yo memang sengaja membeli rumah tersebut untuk melancarkan karya sosialnya. Di tempat itu kemudian didirikan Yayasan Sosial Agape (31 Juni 1997). Awalnya kegiatan yang dilakukan masih terbatas, seperti: Program Anak Asuh, Kursus Komputer , Kursus Reparasi sepeda motor.

Beberapa tahun kemudian, kegiatan makin berkembang yaitu kursus Menjahit bagi ibu-ibu rumah tangga, kursus membuat mebel/furniture, kursus bahasa Inggris, bimbingan belajar, kursus reparasi alat-alat elektronik. Di samping itu Yo masih sempat membentuk sanggar tari traditional, juga untuk anak-anak miskin. “Mereka juga layak menikmati kesenian, tidak hanya bekerja!”, jelas Yo memberi alasan.

Lewat pelbagai kegiatan itu Yayasan Agape makin dikenal dan mendapat banyak bantuan dari pelbagai pihak. Salah satu bantuan datang dari bapak Bernard Vekemans. Orang Belanda ini dikenal Yo secara kebetulan pada tahun 1998. Waktu itu ada pertemuan Woman International Club. Dalam pertemuan tersebut, Herlani istri Yo, memberikan presentasi mengenai Yayasan Agape yang dikelolanya. Ternyata penjelasan tersebut amat menarik bapak Bernard yang juga hadir. “Sesudahnya ia mengunjungi rumah kami dan berbincang-bincang sambil makan malam. Sejak itulah ia membantu Agape hingga sekarang”, tutur Yo.

Penolong Tak Dikenal

Yo ingin terus mengembangkan karya sosialnya. Sebab ia melihat anak-anak yang miskin dan terlantar begitu banyak. Namun ia sadar bahwa itu semua membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Lagi pula tempatpun tidak memenuhi syarat.

Suatu hari Yo mendapat kabar gembira. Seorang dermawan dari Belanda berniat mengirim uang untuk pembangunan gedung yayasan sosial yang dikelolanya. Dermawan yang tak mau menyebutkan jati dirinya itu mengenal Yo lewat Bernard Vekemans. Yo sungguh-sungguh merasa seperti bermimpi mendapat bantuan besar dari orang yang tak dikenalnya! Dengan uang kiriman dewa penolong tersebut dibangunlah gedung yang saat ini berdiri dengan megahnya. Yo pernah empat kali pergi ke negeri Belanda. Sebenarnya ia ingin bertemu dan berterima kasih pada penyumbang budiman itu. Namun sayang, orang tersebut tidak berhasil ditemuinya. “Nampaknya ia tetap tidak ingin dikenal”, papar Yo.

Aktivitas Yo selama ini bukannya tanpa hambatan. Aktivitasnya membantu anak-anak miskin pernah dicurigai dan diteror. Memang hampir semua anak miskin itu beragama Islam sementara Yo sekeluarga adalah pemeluk Katolik yang taat. Isyu kristenisasipun sempat dihembuskan. Beberapa kali keluarga Yo menerima terror lewat telpon. Anak-anak asuh Yo juga tak luput dari interogasi. Yo sekeluarga tidak gentar sedikitpun karena memang mereka tulus ingin menolong anak-anak miskin. Lurah setempat yang mengetahui sepak-terjang Yo sejak awal, datang membela dan memberikan dukungan sepenuhnya pada Yo.

Dokter Lukas Yohandoyo telah beberapa tahun melewati masa pensiun sebagai PNS golongan IVB. Namun ia tak juga mau berhenti bekerja. Baginya, tak ada istilah pensiun dalam membantu orang lain, khususnya mereka yang miskin dan terlantar.

Heri Kartono, OSC (dimuat di majalah HIDUP edisi.....).

NB:

Dr.Yo meninggal dunia pada 31 Maret 2011 pukul 19.30.



Senin, 19 Juli 2010

Christina Trisnawati


DICINTAI GURU

Pada hari Jumat (16 Juli 2010) sekitar jam 14.15, Christina Trisnawati dipanggil Tuhan. Sebelumnya, selama beberapa hari, ia dirawat di Ruang ICU Rumah Sakit Gunung Jati, Cirebon. Trisnawati dikebumikan di pekuburan Kristen Sunyaragi. Makamnya berdampingan dengan adik bungsunya yang meninggal saat dilahirkan.

Christina Trisnawati atau mbak Tris adalah kakak saya yang kedua. Kami delapan bersaudara. Sejak suaminya, Johanes Ruslan, meninggal dunia (17 Agustus 1999) keseimbangan mbak Tris sering terganggu. Semangat hidupnya merosot tajam dan sering kejang-kejang hingga menjelang kematiannya kemarin.

Mbak Tris adalah seorang kakak yang sederhana. Di antara kami, dialah yang paling pandai berceritera. Ia tidak hanya pandai berceritera namun juga menirukan dengan persis orang yang diceriterakannya. Ceriteranya selalu mengundang tawa kami.

Keahlian mbak Tris yang paling menyolok adalah memasak. Saya paling suka masakan mbak Tris. Waktu saya beberapa bulan tinggal di paroki Cirebon, saya sering datang ke rumahnya khusus untuk makan. Sayur Lodeh, sambal terasi dan udang goreng buatan mbak Tris, untuk saya, tak ada duanya. Oya, mbak Tris tidak suka makan daging. Sejak kecil ia tak pernah makan daging apapun. Namun ia bisa memasak daging apa saja dengan enak tanpa dia mencicipinya. (Saya pernah sengaja membeli roti yang berisi daging ayam di dalamnya. Saya berikan ke mbak Tris. Sesudah dimakan beberapa gigitan, mbak Tris berhenti dan tidak meneruskan memakannya. Kami semua tertawa namun mbak Tris hanya senyum-senyum saja, tanpa komentar apapun!)

Waktu remaja, mbak Tris sangat suka olah raga. Ia menjadi andalan SMP Santo Thomas (Ciledug-Cirebon) dalam lomba Balap Sepeda dan Bola Volley. Di Sekolah, mbak Tris sangat dicintai guru-gurunya. Mbak Tris begitu dicintai guru-guru sampai dua kali harus tinggal kelas!

Dalam soal pelajaran, mbak Tris memang serba pas-pasan. Cara berfikirnyapun sederhana. Namun dalam soal iman, ia memiliki keyakinan kuat. Ia juga selalu berdoa secara teratur. Setiap jam 6.00 sore ia selalu masuk kamar untuk berdoa Angelus dan Rosario. Biasanya ia tidak mau diganggu pada jam tersebut. Selain itu, kesetiaan kepada suaminya luar biasa. Bertahun-tahun ia melayani suaminya dengan rajin: bangun pagi-pagi, menyediakan makanan, menemani makan dan kalau suami sudah berangkat ke kantor, ia mengurus rumah, anak-anak dan menyiapkan makan siang. Itulah dunianya dari hari ke hari.

Salah satu sifat yang patut dipuji dari mbak Tris adalah kejujurannya. Dalam soal ini, suaminya juga sama. Tidak heran bahwa suaminya selalu dipercaya mengurus keuangan di kantornya, PJKA hingga ajalnya.

Kini mbak Tris telah pergi. Kami yakin mbak Tris telah bahagia bersama bapa di Surga dan juga bersama mas Rus, suami yang amat dicintainya. Selamat jalan mbak Tris, Heri akan kehilangan sayur lodehnya!! (Terima kasih untuk Bu Rosiany T.Chandra atas fotonya)

Heri Kartono, OSC