Rabu, 25 November 2009

Idul Adha


DASAR DOMBA!

Hari Raya Idul Adha dirayakan dimana-mana, juga di kota Cirebon (27/11/09). Pada Hari Raya Haji ini diperingati peristiwa kurban, yaitu ketika nabi Ibrahim hendak mengorbankan puteranya, Ismail. Allah yang mengetahui kerelaan Ibrahim yang luar biasa, menggantikan kurbannya dengan domba. Hari Raya yang jatuh 70 hari sesudah Idul Fitri ini dirayakan di Mesjid-mesjid dan tanah lapang. Setelah shalat, dilakukan penyembelihan kurban yang kemudian dibagikan terutama kepada fakir miskin.

Kisah pengurbanan Abraham sudah sangat akrab bagi saya yang beragama Katolik. Sejak kecil saya sudah mendengar kisah yang indah tersebut. Tentu saja versi ceritera sedikit berbeda. Anak yang hendak dikorbankan Abraham adalah Ishak (Kitab Kejadian 22: 1-14).

Lepas dari perbedaan versi ceritera, kisah pengurbanan Abraham memang mengesankan. Kisah yang mendasari perayaan Idul Adha ini, menjadi kesempatan bagi orang untuk mengurbankan sebagian kekayaannya untuk sesamanya yang miskin. Banyaknya domba kurban yang tersebar di pelbagai sudut kota Cirebon, mencerminkan banyaknya orang yang tergugah untuk berkorban.

Salah satu tempat penampungan domba kurban adalah di Jalan Kartini, tidak jauh dari pintu pengaman Kereta Api atau sekitar 150m dari At Taqwa, Mesjid Raya Cirebon. Domba-domba ini sebagian besar didatangkan dari Kuningan. Domba yang berusia antara 1-3 tahun ini dijual dengan harga mulai 1 juta rupiah, tergantung besarnya domba. “Tahun ini terjual hampir 140 domba, lebih sedikit dari tahun kemarin”, ujar bapak yang setia menunggui domba-dombanya.

Domba-domba diikat berdekatan satu sama lain. Seekor domba, mungkin lantaran bosan diikat dengan tali yang pendek, mulai mencari hiburan. Domba ini nampaknya sedang amat bergairah. Tanpa sungkan-sungkan ia mencoba “menaiki” domba di sebelahnya. Padahal, domba di sebelah juga jelas-jelas bertanduk alias sama-sama jantan. Untunglah tali di leher tidak memungkinkan aksi tak senonoh terjadi di muka umum. Dasar domba……!

Heri Kartono.

Senin, 16 November 2009

Titis Rani


BELAJAR DARI ARTIS

Sahabat kita kali ini bernama Sesaria Winanda Titis Rani namun biasa dipanggil Titis saja. Meski masih duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar, Titis sudah pandai bergaya, terutama di depan kamera. Diminta berpose apapun, dengan luwesnya Titis akan langsung mengikuti. Sebenarnya tidak mengherankan bahwa sahabat kita ini akrab dengan kamera. Soalnya, ayah Titis bekerja sebagai kameramen sebuah stasiun televisi ternama. Titis belajar dari ayahnya bagaimana sebaiknya harus berpose di depan kamera.

Masih soal berpose, Titis kerap mengamati dan meniru para artis saat bergaya di depan kamera. Kok bisa Titis bertemu para artis? Sebetulnya ini bukan rahasia. Pada saat senggang, Titis kerap diajak ayahnya ke studio televisi tempat ayahnya bekerja. Di sanalah ia kerap bertemu para artis yang sedang syuting.

Selain berpose di depan kamera, Titis pandai juga menari balet. Ia pernah beberapa kali pentas lho, antara lain dua kali tampil di Gedung Kesenian Jakarta bersama grup Tari Sumber Cipta. Sampai saat ini Titis mengaku masih rajin berlatih menari balet. Bagaimana pula prestasi Titis di sekolah? Titis memang bukan murid terpandai, namun ia tergolong murid cerdas juga. Buktinya, ia pernah meraih predikat juara 3 di sekolahnya. Cukup baik kan?

Pada saat senggang, Titis sering memanfaatkan waktunya untuk berlatih menyanyi. Ia pernah ikut les bina vokalia sehingga Titis mengetahui teknik bernyanyi yang benar. Hobby Titis lainnya adalah membuat puisi. Dalam menulis puisi, Titis mendapat bimbingan dari ibunya langsung. Maklum, ibu Titis adalah seorang guru bahasa Indonesia di sebuah SMP Swasta di daerah Tangerang.

Ada satu lagi kesukaan kawan kita ini, yaitu berkorespondensi lewat e-mail. Banyak lho teman-teman e-mail Titis. “Tiap hari aku buka e-mail dan internet. Aku juga sudah bisa mencari informasi sendiri lewat internet!”, ujar Titis dengan bangga. Hanya saja, Titis mengaku, dalam menggunakan internet di rumahnya, orang tuanya selalu mendampinginya.

Belum jelas apa cita-cita Titis kelak. Yang pasti, saat ini ia ingin mengerjakan segala sesuatunya dengan sebaik mungkin.

Heri Kartono (dimuat di Rubrik Anak-anak Majalah HIDUP edisi 15 Nopember 2009)

Minggu, 08 November 2009

Frans Garnaen


BISA LUPA SEGALA HAL

Frans Garnaen adalah seorang lelaki yang banyak bekerja untuk orang lain. Di luar pekerjaannya sebagai seorang pengusaha, ia banyak menghabiskan waktunya di lingkungan gereja. Sudah bertahun-tahun Frans bertugas sebagai seorang pro- diakon. Ia selalu bersedia saat diminta untuk kirim komuni, mendoakan orang atau bahkan menguburkan, saat pastor berhalangan. Frans memang berhati mulia.

Bagi rekan-rekannya, Frans adalah seorang pria istimewa, khususnya dalam hal lupa. Frans memang bisa lupa segala hal. Pernah, Frans menguburkan seorang umat. Selesai acara penguburan, Frans pulang ke rumah diantar seorang rekannya yang membawa mobil. Sesampainya di rumah, Frans melihat garasinya kosong. Dengan sedikit cemas, Frans bertanya pada istrinya: “Mobil dipakai siapa?”. Istri Frans menjawab: “Lho, tadi kan jij bawa ke kuburan?!”. Frans baru sadar, rupanya tadi ia membawa mobil ke kuburan…

Suatu hari, Frans diminta mengantar istrinya ke Pasar Baru untuk belanja. Sesampainya di pasar baru, tempat parkir penuh. Frans meminta istrinya untuk turun lebih dahulu. “Jij turun saja dulu, ikke mau cari tempat parkir!”. Sesudah sang istri turun, Frans pun berputar-putar mencari tempat yang kosong. Rupanya hari itu tempat parkir benar-benar padat. Sesudah beberapa saat tidak menemukan tempat parkir, Frans memutuskan pulang. Sesampainya di rumah, dengan santai Frans menonton acara televisi kesukaannya sampai selesai. Ia heran sekali bahwa istrinya tidak ada di rumah. “Yem, nyonya kemana ya?”, tanya Frans kepada pembantunya. Si Iyem, menjawab dengan nada keheranan: “Kan tadi tuan yang mengantar nyonya ke Pasar Baru?”. Frans terkejut sekali. Buru-buru ia mengeluarkan mobilnya untuk menjemput istri tercinta. Dari jauh Frans melihat sang istri membawa dua belanjaan besar di tangan, menunggu dirinya dengan wajah putus asa….

Lepas dari kebiasaannya yang gampang lupa, Frans adalah seorang bapak yang baik dan seorang suami yang setia. Ketika ditanya tentang kebiasaan Frans yang satu itu, istrinya menjawab: “Frans memang sering lupa dalam banyak hal. Tapi dia tak pernah lupa bahwa saya adalah istrinya…..!”.

Heri Kartono.

Rabu, 04 November 2009

Christian Handoko


PALING BAHAGIA

Christian Handoko barangkali merupakan orang yang paling bahagia saat peresmian Gua Maria Regina Rosarii (31/10/09). Disaksikan Mgr. Johanes Pujasumarta Pr serta umat yang hadir, Chris mendapat kalungan bunga khusus dari pastor paroki. Leonardus Bambang Pr, pastor paroki Bunda Maria, Cirebon, mengatakan bahwa Chris telah bekerja keras demi terwujudnya komplek Taman Doa. Hal senada disampaikan juga oleh Leo Budiarto, penggagas berdirinya Gua Maria.

Chris memang orang yang amat berperan dalam terwujudnya Gua Maria baru di Cirebon. Dialah yang merancang sekaligus mengikuti perkembangan pembangunan kompleks tersebut. Gua Maria yang berlokasi tepat di belakang gereja paroki Bunda Maria ini, dirancang Chris selama dua minggu. Chris, yang pernah merancang pelbagai bangunan ini merasa lega. “Ada kepuasan tersendiri merancang kompleks Gua Maria dibanding merancang bangunan lain”, aku Chris. Salah satu hal yang membuat arsitek lulusan Unpar ini senang, adalah adanya dukungan serta antusiasme umat yang amat besar. “Dukungan, termasuk dalam pendanaan, tidak hanya dari paroki kami saja, tapi juga dari banyak paroki lain”, tutur Chris.

Bagi Chris, kelahiran Cirebon (18/12/82), keterlibatannya di dalam lingkungan gereja bukanlah hal yang baru. Sejak masih remaja ia sudah menjadi organis di parokinya. Ia memang pandai bermain organ, juga biola. Saat kuliah di Bandung, Chris bergabung dengan grup orkes Light the World Orchestra pimpinan Iryanto dan Laurentius Chamber Orchestra. Masih soal musik, saat kuliah pula Chris bergabung dengan St. Lucia Choir untuk pelayanan di gereja bersama teman-teman kampus. Nampaknya bakat Chris di bidang arsitek dan seni tidak ingin ia nikmati sendiri melainkan ia abdikan juga demi Gereja kesayangannya.

Heri Kartono (dimuat di HIDUP edisi 6 Desember 2009).