Minggu, 30 November 2008

Prof.Dr.Johannes Tarigan.


BANGGA MENJADI KATOLIK

“Saya bangga menjadi orang Katolik”, begitu komentar spontannya saat memasuki Basilika Santo Petrus, Vatikan. Sebagai seorang sarjana teknik sipil yang biasa bergelut dengan bangunan, ia amat takjub menyaksikan kebesaran serta kemegahan bangunan basilika tersebut. “Padahal, basilika ini dibangun 500 tahun yang lalu, ketika teknik dan peralatan belum semaju sekarang”, ujarnya dengan nada kagum.

Kebanggaan serta kekagumannya bertambah ketika ia mengikuti audiensi umum dengan Paus. Ia geleng-geleng kepala saat mendengar Paus dengan amat lancar berbicara dalam 5 bahasa, termasuk bahasa Polandia yang rumit. “Bagaimana mungkin beliau menguasai begitu banyak bahasa sekaligus?”, ujarnya seperti kepada diri sendiri.

Prof.Dr.Johannes Tarigan adalah guru besar pada Universitas Katolik St.Thomas Medan, Sumatera Utara. Sejak kecil ia memang dekat dengan gereja. Ayahnya dahulu bekerja sebagai Kepala Sekolah SMU Katolik di Kabanjahe. Di luar tugasnya sebagai kepala sekolah, sang ayah kerap juga membantu pastor mengajar agama dari kampung ke kampung. Tarigan kecil saat itu aktif sebagai putera altar di parokinya.

Kedekatannya dengan lingkungan gereja tetap melekat hingga kini. Sesuai keahliannya sebagai insinyur teknik sipil, ia banyak terlibat dalam pembangunan gereja. Kami kenal dan kerap bertemu juga dalam urusan pembangunan gereja. Waktu itu pak Tarigan duduk sebagai ketua pembangunan gereja Santa Maria  Tanjung-Selamat Medan. Seminggu sekali kami bertemu untuk memantau, mengevaluasi serta merencanakan kelanjutan pembangunan. Untuk pembangunan tersebut, Tarigan bukannya menerima bayaran malah acapkali ia ikut mengeluarkan uang dari kantong pribadinya.

Baru-baru ini Tarigan menjadi Visiting Professor selama tiga bulan di Achen, Jerman. Baginya, Jerman adalah negara yang tidak asing lagi. Ia meraih gelar S3-nya di kota Wuppertal, Jerman. Anak pertamanya, Juanta, lahir di kota tersebut. Sesudah menyelesaikan tugasnya sebagai Visiting Professor, Tarigan menyempatkan diri berkunjung ke Roma bersama istri dan Stefanie, anak bungsunya.

Professor Tarigan selalu tampil riang dan bersemangat. Ia selalu berbicara positif tentang orang lain, mencerminkan kebaikan hatinya. Sesudah menduduki jenjang tertinggi dalam dunia akedemis, penampilannya tetap bersahaja, rendah hati dan ramah. Demikianpun kecintaan serta pengabdiannya terhadap gereja tak pernah luntur. Kecintaan yang ia warisi dari almarhum ayahnya itu, nampaknya ia tularkan pula pada istri serta ketiga anaknya.

Heri Kartono.

Sabtu, 22 November 2008

Christina.


INDAH SEKALI HARI INI!

Di Indonesia, memiliki pembantu itu biasa. Di Roma, hanya orang yang kaya  mampu memiliki pembantu full-timer. Di rumah kami, ada juga pembantu, meski hanya beberapa jam setiap datang dan itupun tidak setiap hari. Dulu, kami sempat mempekerjakan orang Filipina. Orang ini kerjanya gesit, rajin dan upah yang diminta jauh lebih murah dari orang Italia. Sayang dia tergolong nero alias illegal. Akhirnya, meski cocok, kami tidak berani lagi mempekerjakan orang Filipina ini.

Sejak itu, kami mendapat pembantu lewat satu perusahaan. Perusahaan ini yang menyediakan pegawai untuk kebersihan dan masak. Sistem ini cukup baik. Kami tidak perlu pusing dengan tingkah pegawai (orang Italia pandai membuat alasan untuk bolos). Kalau tidak puas atau pegawai tidak datang, perusahaanlah yang bertanggung-jawab mencari gantinya. Hanya, dengan cara ini kami harus membayar jauh lebih mahal.

Kami puas dengan dua pembantu yang bekerja di rumah kami sekarang ini. Maria bertugas masak dan Flora bagian kebersihan. Sebelumnya, kami sempat mendapat pembantu yang malasnya minta ampun dan terlalu sering menggunakan telpon rumah. Untunglah perusahaan mendengarkan keluhan kami dan bersedia mengganti pembantu.

Pernah, Flora yang bertugas membersihkan rumah, cuti beberapa hari. Sebagai pengganti sementara, dikirim Christina. Ibu muda ini rajin dan kerjanya cepat. Kami semua menyukainya. Suatu hari, sehabis olah raga di luar, saya masuk rumah dan melihat Christina sedang membersihkan kaca jendela. Saya menyapanya dengan berkata: “Christina, che bella é oggi!”, (Christina, indah sekali hari ini!). Saya terkejut ketika melihat Christina  tiba-tiba tersipu-sipu bahagia dan menjawab dengan senyum sangat manis: “Grazie, lei é molto gentile” (Terima kasih, anda baik sekali). Rupanya Christina ini mengira saya memuji kecantikan dia, padahal saya bicara tentang cuaca di luar. (Bella memang bisa juga berarti cantik). Sejak itu, setiap kali bertemu, tanpa ragu Christina mencium saya. Dan sayapun pasrah, karena begitulah gaya orang Itali kalau sudah merasa dekat…..

Heri Kartono (Foto: Christina sedang tersenyum lebar dan Emanuella).

Kamis, 20 November 2008

Manifestazione dan Sciopero



KEMERIAHAN AKSI UNJUK RASA

Sejumlah pria dan wanita membawa alat musik akordion, gitar dan beberapa jenis alat musik lainnya. Mereka dengan gembira menyanyikan lagu-lagu pop Italia dengan syair yang sudah diplesetkan, mengejek Silvio Berlusconi, Perdana Menteri Italia yang sedang mereka protes. Di depan rombongan ini beberapa orang lainnya dengan dandanan ala badut menari-nari, mencoba mengikuti iringan musik.

Itulah salah satu adegan dalam rombongan besar pawai unjuk rasa di Roma beberapa hari yang lalu. Orang yang tinggal di Roma kerap merasa jengkel dan terganggu karena banyaknya manifestazione (unjuk rasa) dan sciopero (mogok) yang sering terjadi. Unjuk rasa bisa diadakan melawan siapa saja, termasuk melawan Paus dan gereja sekalipun. Begitu seringnya manifestazione dan sciopero terjadi, sampai-sampai orang yang sinis berkomentar: “Orang Italia lebih banyak waktu untuk mogok daripada untuk kerja!”.

Bila terjadi manifestazione atau sciopero, kehidupan kota memang terganggu. Lalu-lintas menjadi kacau, angkutan umum seperti Bus Kota tidak bisa beroperasi semestinya, orang-orang terlambat kerja, jalanan menjadi kotor dengan sampah, sehingga petugas kebersihan harus bekerja ekstra.

Lepas dari akibat negatif yang ditimbulkan, sekali-kali mengikuti manifestazione  atau sciopero mengasyikan juga. Kita disuguhi tontonan yang menyenangkan seperti layaknya melihat teater jalanan. Ada banyak balon-balon besar berwarna-warni bertaburan di angkasa, ada rombongan pemain musik dengan lagu-lagu gembira, ada pidato-pidato penuh semangat dan banyak orang berpakaian aneh atau memakai dandanan seronok, sekedar untuk menarik perhatian.

Umumnya manifestazione dan sciopero dilakukan secara damai. Para orator dan peserta unjuk rasa hanya berteriak-teriak atau memaki-maki pejabat namun tidak bertindak brutal, merusak atau menyerang orang secara fisik. Polisi berjaga-jaga dari kejauhan dan menggiring peserta unjuk rasa ke lokasi yang sudah ditentukan. Sekali-kali memang pernah terjadi bentrok antara peserta unjuk rasa dengan polisi: saling lempar, saling pukul atau saling maki seperti yang belum lama ini terjadi di Piazza Navona (banyak meja-kursi restoran di sekitar Piazza Navona porak-poranda akibat kerusuhan ini). Kerusuhan seperti itu, termasuk kekecualian, karena memang jarang terjadi.

Ada keasyikan lain dalam mengikuti pawai manifestazione, yaitu menemukan banyak obyek foto. Berbagai ulah dan dandanan peserta pawai, jelas bisa menjadi objek foto yang menarik. Lagipula, jarang ada peserta unjuk rasa yang keberatan untuk difoto. Malah, kadang-kadang ada peserta yang sengaja minta dipotret sambil bergaya. Mereka mengira yang motret adalah wartawan dari mancanegara, padahal cuma tukang potret keliling dari mBrebes….

Heri Kartono, OSC

 

Minggu, 16 November 2008

Merpati di Vatikan


JINAK-JINAK MERPATI 

Seorang turis, sepertinya dari Timur Tengah, asyik memanggil dan bermain-main dengan burung merpati. Karena dia membawa remah-remah roti, burung-burungpun berdatangan dan berebut mengambil roti dari tangannya. Seorang kawannya, yang sudah siap dengan kamera, memotret berkali-kali. Pelancong asal Brebes yang kebetulan lewat, ikut juga mengabadikan adegan tersebut.

Hampir di setiap piazza di Roma terdapat banyak merpati. Selain para turis yang sering melempar sisa makanan, selalu ada orang-orang yang sengaja datang memberi makan burung-burung itu. Di kota ini merpati, kucing, bebek, angsa, tupai dan banyak binatang lain hidup dengan damai, tidak diganggu. Pergilah ke salah satu taman di Roma yang ada kolamnya, anda akan melihat pelbagai jenis bebek dan angsa liar berkeliaran dengan bebasnya.

Di kota Roma juga ada banyak kucing liar. Salah satu tempat yang paling banyak dihuni kucing liar adalah di Torre Argentina, di wilayah pusat kota. Di sini kucing liar tidak hanya dilindungi namun juga diberi makan secara teratur oleh petugas kota. Karena terbiasa dengan manusia, kucing-kucing liar ini umumnya jinak, mau untuk didekati, apalagi untuk dibelai-belai.

Kesadaran untuk menyayangi binatang nampaknya sudah menjadi bagian dari budaya orang Barat. Anak-anak umumnya juga sudah diajari untuk menyayangi binatang sejak dini. Tidak sedikit orang yang menyediakan makanan khusus untuk burung-burung liar di halaman rumah mereka. Biasanya burung-burung berebut makanan dengan tupai-tupai yang selalu kelaparan.

Sekarang ini semakin jarang orang mengenakan pakaian dari bulu binatang, kecuali dari bulu domba yang memang diternak untuk keperluan itu. Disana-sini kerap muncul aksi unjuk rasa menentang perburuan binatang liar. Salah satu aksi unjuk rasa yang disukai para pria adalah aksi telanjang sejumlah wanita. Wanita-wanita cantik tsb rela bertelanjang di muka umum sambil membawa poster bertuliskan: “Lebih baik telanjang daripada memakai bulu binatang!”. Sayang, polisi kurang berkenan dengan aksi yang menarik ini…

Binatang liar, termasuk merpati bisa hidup bebas, karena orang Roma mencintai mereka. Tapi ah, sebetulnya orang Indonesia juga sangat suka merpati, terutama kalau sudah tersaji di atas piring bersama gudeg dan nasi panas sambil lesehan di Malioboro!!

Heri Kartono.

 

Kamis, 13 November 2008

Iguazu Falls Brasil





SELURUH UANG SAKU!

Barusan melihat tayangan menarik air terjun Iguazu di televisi. Saya jadi ingat pengalaman berkunjung ke tempat yang amat mengesankan ini. Waktu itu (Agustus 2003), bersama pater Frans Vermeulen kami pergi ke Sao Paolo, Brasil. Kami mengunjungi seorang pengusaha sukses, kawan baik pater Vermeulen.

Sahabat pater Vermeulen inilah yang menjadi sponsor kami berkunjung ke air terjun Iguazu. Pengusaha asal Bandung ini mengatur segala-galanya untuk kami: tiket pesawat, hotel mewah, makan-minum, kendaraan antar jemput plus guide, seorang wanita yang fasih berbahasa Inggris.

Air terjun Iguazu (bahasa Portugis: Cataratas do Iguaçu) berasal dari sungai Iguazu yang mengalir di perbatasan Brasil-Argentina, namun amat berdekatan dengan Paraguay juga. Dan memang, air terjun ini dapat dijangkau dari ketiga negara tersebut. Menurut dongeng, seorang dewa jatuh cinta pada seorang gadis Aborigin bernama Naipi. Sayang, si gadis sudah mempunyai kekasih bernama Taroba. Kedua sejoli ini melarikan diri dalam sebuah perahu. Sang dewa yang amat murka, membelah sungai, menciptakan air terjun. Naipi dan Taroba yang sedang dimabuk asmara, dikutuk menjadi air terjun abadi.

Air terjun Iguazu sungguh-sungguh mengesankan. Panjang keseluruhan 2,7 Km, terdiri atas 275 air terjun yang terpisah-pisah. Air terjun yang paling terkenal bernama Garganta do Diabo (Kerongkongan Setan) memiliki ketinggian 82 meter, lebar 150 meter serta panjang 700 meter. Garganta do Diabo yang membentuk huruf U ini melintasi perbatasan Brasil dan Argentina.

Banyak orang terkesan akan air terjun Iguazu, termasuk orang-orang Amerika Serikat yang memiliki air terjun Niagara. Nyonya Eleanor Roosevelt, istri presiden AS, ketika menyaksikan air terjun Iguazu berteriak: “Poor Niagara!”. Rupanya, Air terjun Niagara dibanding Iguazu tidak ada apa-apanya.

Kami tinggal di hotel mewah di kota Foz do Iguaçu selama dua hari. Selain air terjun Iguazu, hal lain yang menarik adalah Iguaçu National Park yang luas dan asri dan pertunjukan tarian ala Brasil pada malam hari di sebuah teater tidak jauh dari hotel. Oya, makanan yang disajikan hotel juga istimewa dan berkelas. Pada malam terakhir, kepala pelayan bertanya, apakah kami berminat minum anggur? Saya langsung mengangguk tanpa minta persetujuan pater Vermeulen. Sesudah selesai acara makan-minum, pelayan datang lagi membawa bill. Rupanya, seluruh makanan dan minuman memang gratis (=sudah dibayar), kecuali anggur yang merupakan pesanan extra. Ketika melihat bill, pater Vermeulen tersenyum ramah. Senyum pater membawa pesan jelas: “Kamu yang pesan, kamu juga yang bayar!”. Saya terpaksa mengeluarkan seluruh uang saku yang ada di dompet, untuk membayar anggur yang nikmat itu…!!

Heri Kartono.

Selasa, 11 November 2008

Yan Sunyata OSC



TERKENANG YAN SUNYATA

Bertemu mas Edy Asmoro, membangkitkan kenangan akan Pastor Yan Sunyata OSC. Mas Edy mampir ke Roma bersama lima rekan usahanya. Mereka dalam perjalanan pulang ke Indonesia dari Paris.

Edy Asmoro, asal Madiun, adalah alumnus ITB (1986). Saat di ITB inilah Edy mengenal Yan Sunyata OSC, dosen serta Pembina mahasiswa katolik saat itu. Sesudah lulus ITB-pun kontak dengan pastor Yan tetap dilanjutkan hingga wafatnya. Sebagaimana layaknya lulusan ITB dan Geng Yan Sunyata, Edy mempunyai kepercayaan diri besar, smart, ceplas-ceplos namun loyal dengan caranya. Sambil melihat-lihat kota Roma, Edy banyak berceritera tentang Pastor Yan yang dikaguminya.

Yan Sunyata, anak ningrat dari Garut, adalah figur yang mengesankan banyak orang: amat kocak, cepat membaca karakter orang, kreatif, sedikit gila, barangkali juga jenius dan pengkotbah yang memikat. Ia amat piawai dalam mengejek orang sampai sehabis-habisnya. Namun orang tahu, Yan tak pernah berniat merendahkan, meskipun ejekannya seringkali keterlaluan.

Kreativitas Yan dalam menyusun liturgi dan membuat lagu-lagu dengan syair ber-nas, disukai banyak orang. Selain itu, pengetahuannya yang amat luas, khususnya di bidang teologi membuat ia berwibawa dalam berkata-kata (Kumpulan tulisannya akan diterbitkan awal tahun 2009 dengan judul: Terobosan Baru dalam Berteologi). Di manapun ia berkarya, pasti ada banyak orang yang menjadi pengikut, pengagum ataupun fans-nya. Yan sendiri amat peduli pada anak-asuhannya. Misalnya, saat ia bertugas di Medan, ia rela meninggalkan pekerjaannya sebagai Rektor Universitas Katolik Santo Thomas, hanya untuk membaptis salah satu anak dari Geng-nya itu!

Geng Yan Sunyata juga amat berbakti kepadanya. Saat Yan Sunyata membutuhkan dana untuk membeli rumah di Medan, kelompok ini dengan sigap mengumpulkan uang. Maklum, banyak anak didik Yan Sunyata yang sukses dalam hidup mereka. Kelompok ini juga membuat buku kenangan yang mbeling tentang Yan Sunyata. Mas Edy Asmoro menambahkan, untuk mengenang pastor Yan, telah berdiri PKBY (Paguyuban Keluarga Besar Yan Sunyata) yang terdiri atas mantan-mantan anak buah Yan.

Yan Sunyata pernah berkali-kali menjadi Propinsial OSC Indonesia. Kemana-mana propinsial ini lebih nyaman memakai sandal daripada sepatu resmi. Adalah suatu siksaan bila ia harus memakai sepatu. Ia juga lebih suka menggunakan motor bebeknya atau naik kendaraan umum, daripada merepotkan orang. Yan meninggal dunia saat sedang jalan-jalan di Jakarta (22 September 2002 dalam usia 61 tahun). Diduga ia mendapat serangan jantung ketika sedang naik Bajaj. Ia sempat ganti naik taksi, minta diantar ke RS. St.Carolus. Namun saat taksi tiba di Rumah Sakit, Yan sudah meninggal dunia.

Bertemu mas Edy Asmoro membangkitkan kenangan akan Yan Sunyata. Lewat orang seperti mas Edy, nampaknya Pastor Yan tidak pernah mati, masih terus hidup, terus memberi semangat dan inspirasi bagi siapa saja yang pernah mengenalnya!

Heri Kartono

Senin, 10 November 2008

Datanglah ke Roma:



KALAU MAU BUKA-BUKAAN ATAU

BERCIUMAN BEBAS!

Banyak yang merasa kesal, geram bahkan frustrasi karena ditetapkannya Undang-undang Pornografi di negeri kita, Indonesia (30/10/08). Bali adalah salah satu daerah yang secara terang-terangan dan terhormat menentang disyahkannya Undang-undang tersebut.    

Orang yang tinggal di Roma, seperti orang Brebes ini, justru merasakan suasana yang amat lain. Bila anda jalan-jalan di kota Roma, apalagi cuaca sedang bagus, jangan kaget kalau dimana-mana anda melihat orang bermesraan. Ada yang berpelukan, berciuman atau berpangku-pangkuan. Mereka bermesraan bisa di Taman Umum, di Piazza, di atas Bus Kota, di teras rumah atau di mana saja. Umumnya memang anak-anak muda; tapi orang dewasa alias bapak-bapak juga tidak sedikit. Pergaulan dalam soal seperti itu di kota ini memang biasa. Cara berpakaian juga bebas. Dalam banyak acara RAI,  TV Nasional Italia, para selebritis hampir selalu tampil dengan dandanan super minim.

Di Roma, seperti umumnya kota-kota di negeri Barat, orang bebas berekspresi. Sejauh sesuatu dilakukan suka sama suka, undang-undang menjamin kebebasan berbuat. Bebas tidak berarti boleh melakukan tindakan semau kita. Mencolek pantat orang yang tidak kita kenal, misalnya, bisa panjang urusannya. Pelecehan seksual sekecil apapun, akan dituntut, apalagi terhadap anak di bawah umur. Kendati bebas, namun tetap ada sejumlah aturan main baik berupa undang-undang hukum maupun sopan-santun masyarakat yang tidak tertulis.

Di negeri yang bebas ini penghormatan terhadap sesama justru besar. Bila ada seorang tua masuk Bus Kota yang penuh sesak, hampir pasti orang terdekat secara spontan (dan rela) memberikan kursinya. Orang sakit dan cacat pasti akan mendapat prioritas dimanapun juga. Kasus perkosaan sangat jarang kita baca dalam koran-koran. Sebagai kota turis yang terkenal, banyak pencuri (umumnya para Gypsy pendatang) bergentayangan di kota Roma. Saya belum pernah mendengar ada pencuri yang tertangkap lantas digebuki, apalagi sampai babak belur. Bila pencuri tertangkap basah, tidak ada satupun orang yang akan memukulnya. Orang akan menyerahkannya kepada polisi atau malah membiarkannya pergi begitu saja!!

Indonesia tentu saja tidak sama dengan Roma/Italia. Orang-orang kita, bangsa kita adalah bangsa yang santun, ramah dan memiliki tata-susila yang luhur. Kita mengakuinya sebagai warisan budaya turun temurun dari nenek-moyang kita yang harus kita junjung tinggi. Hanya, terkadang saya bertanya dalam hati: “Mengapa di negeri yang santun ini justru banyak terjadi pelecehan seksual bahkan perkosaan?. Mengapa banyak bayi tak berdosa dibuang begitu saja di tempat sampah?; Mengapa juga pencuri harus dihakimi secara keji bahkan dibakar sampai mati? Bukankah ada polisi dan hakim yang bertugas untuk mengadili mereka?".  Barangkali musti mencari jawabnya pada rumput yang bergoyang....!

Heri Kartono (Foto ini diambil diam-diam di Taman Umum, sengaja tidak terlalu close-up)

 

Minggu, 09 November 2008

Din Syamsuddin di Roma


PAKAI GAYA SEBRANG!

Tiga jam makan malam bersama Prof. Dr. HM. Din Syamsuddin berlalu cepat sekali. Tentu saja karena percakapan, terutama dari Din Syamsudin memang menarik. Jamuan malam ini bertempat di KBRI Vatikan (05/11/08) atas undangan pak Dubes , Suprapto Martosetomo. Hadir delapan orang, termasuk pejabat Dubes RI untuk Italia.

Din Syamsuddin, ketua PP Muhammadiyah, datang ke Roma untuk menghadiri dialog tokoh Islam dan Katolik dunia di Vatikan. Pria ramah kelahiran Sumbawa Besar (31/08/58) ini pandai bertutur, terutama tentang dunia agama dan politik yang digelutinya. Ia lulusan IAIN Jakarta dan meraih gelar doktornya di University of California, Los Angeles (UCLA), AS.

Menurut Din, para tokoh agama musti sering bertemu. Din sendiri beberapa kali diundang oleh KWI, PGI dan pelbagai pertemuan dialog antar tokoh agama baik di tingkat nasional maupun internasional. Dengan bertemu serta mengenal satu sama lain, akan memudahkan komunikasi. Para tokoh agama, menurut Din, harus mewaspadai dan memisahkan antara kasus kriminal dengan agama. “Biarkanlah kasus kriminal ditangani oleh negara dan jangan dicampur adukkan dengan masalah agama!”, ujarnya gemas.

Tentang dialog agama di Indonesia, menurut Din Syamsuddin, sudah waktunya untuk lebih terbuka. Din berkata dengan nada seloroh: “Jangan pakai gaya Jawa, senyum-senyum sambil membawa keris di pinggang. Kita perlu pakai gaya sebrang, blak-blakan mengungkapkan masalah kita dan mencari pemecahannya bersama”, ujar Din, disambut tawa yang hadir.

Prof. Din Syamsuddin berharap, di masa yang akan datang dialog harus lebih komprehensif. Maksudnya, dialog tidak hanya dilakukan antar tokoh agama namun juga perlu dihadiri kalangan politikus, media massa dan pengusaha. Sebab, banyak persoalan yang seolah-olah masalah agama, sebenarnya adalah masalah politik, ekonomi atau sosial. Kemiskinan, misalnya, kerapkali menjadi sumber munculnya pelbagai persoalan. “Dialog dan pemecahan masalah sebaiknya dilakukan sekaligus”, ujar wakil ketua umum MUI ini.

Dengan jabatannya sebagai Ketua Umum Muhammadiyah, Wakil Ketua Umum MUI dan lebih-lebih dengan kemampuannya untuk berdialog dengan banyak kalangan, Din Syamsudin kerap dipandang sebagai sosok pemimpin umat Islam yang pas.

Heri Kartono, OSC (Foto: Prof. Dr. Din Syamsuddin bersama Dubes RI untuk Vatikan, Suprapto Martosetomo, sesaat menjelang santap malam).

Minggu, 02 November 2008

dr. Kelly Munazar


GARA-GARA RELA BERKORBAN

Dialah pemrakarsa tour/ziarah RS.St.Boromeus Bandung ke Lourdes (10-22 Oktober 2008). Drg. Tina turut membantu dalam teknis pelaksanaannya. Terhimpun 74 peserta terdiri atas para dokter, perawat serta karyawan Rumah Sakit. Sebagian di antara mereka ada juga yang mengajak kerabatnya.

Tidak gampang mengupayakan suatu tour besar semacam ini. Para peserta harus menabung selama hampir dua tahun penuh. Kesulitan datang silih berganti mulai dari kekurangan dana, pembuatan paspor (banyak yang baru pertama kali) dan pemohonan visa. Menyedihkan bahwa ada dua calon peserta yang ditolak permohonan visanya oleh kedutaan Italia.

Selama berkeliling di Eropa, rombongan besar ini dibagi dalam dua kelompok, dengan bus berbeda. Umumnya kami makan di restoran yang sama dan tinggal di hotel yang sama pula. Pernah, kami makan di restoran berbeda, juga hotel, maklum rombongan besar. Tidak semua acara tour berjalan sempurna, memang. Misalnya, salah satu bus sempat mogok di Paris dan harus diganti. Di Amsterdam, saat hendak kembali ke Indonesia, pesawat tidak jadi terbang karena beberapa menit sebelum berangkat diketahui ada kerusakan. Penerbangan di tunda satu hari (banyak yang malah senang bisa menginap serta makan-minum gratis dan konon dapat kompensasi dari asuransi!). Selebihnya, boleh dikatakan ziarah berjalan lancar.

“Ziarah ke Lourdes ini dapat terselenggara, terutama berkat inisiatif dr.Kelly”, ujar seorang perawat dengan nada haru. Perhatian dr.Kelly diakui dan diungkapkan beberapa peserta ziarah dalam perjalanan. Dokter anak yang amat laris dan kerap praktek hingga larut malam ini memang dikenal mempunyai kepedulian, berhati baik dan rela berkorban. Mungkin lantaran mau berkorban pula, dialah satu-satunya peserta yang kecopetan. Paspor dan sebagian uangnya disikat copet saat asyik membuat foto-foto di menara Eifel, Paris. “Tidak apa dok, banyak pasien menunggu, mengganti uang yang hilang….!”

Heri Kartono, OSC