Senin, 29 September 2008

André Notelaers OSC






SEHAT DAN MENIKMATI HIDUP

André Notelaers OSC, salah satu anggota komunitas kami, hari ini merayakan 50 tahun hidup membiara (29/09/08). Perayaan diadakan secara sederhana di antara kami saja. Selain misa di Gereja, kami rayakan dengan makan siang bersama. James Hentges membuat steak yang empuk dan enak, sementara ibu Maria membuat pasta dan dolce spesial. Ruang makan dihias khusus oleh James, ketua rumah kami.

André Notelaers orang yang lurus hatinya. Ia baik dan gampang jatuh kasihan pada nasib orang lain. Kebaikan hatinya kerap dimanfaatkan orang jahat. Beberapa kali ia ditipu mentah-mentah. Pernah, kami semua marah atas kebodohannya. Ia sendiri juga ikut menyalahkan dirinya. Maklum, nilai uang yang dilarikan si penipu waktu itu lumayan besar jumlahnya. Meski demikian, ia tak pernah kapok berbuat baik, menolong orang lain.

André orang Belgia, berbahasa Belanda. Sebelum pensiun, ia lama bekerja sebagai guru bahasa Perancis di negerinya. Di rumah kami, ia yang paling mahir berbahasa Italia. Ia mengerti bahasa Inggris namun nampaknya ia tidak menyukai bahasa tersebut dan selalu menghindar berbahasa Inggris. Ia juga pernah beberapa tahun tugas di Kongo, Afrika, mengajar bahasa Perancis.

Usianya sudah 70 tahun lebih, namun fisiknya tergolong prima. Setiap pagi ia bersepeda minimal setengah jam. Malam hari, sesudah makan, ia masih berjalan kaki, juga 30 menit. Bila cuaca sedang bagus dan ia tidak sibuk, ia senang jalan-jalan keliling kota atau bersepeda seharian. Ia bisa makan segala, namun ia tahu benar memilih makanan yang sehat. Ia juga amat suka minum anggur, es krim dan dolce. Semuanya dalam porsi yang wajar. André memang tahu bagaimana menikmati hidup.

Di Roma, André bertugas sebagai rektor gereja kami. Ia amat menyukai tugasnya. Sebagai seorang biarawan, ia selalu tekun memenuhi kewajiban doa harian dan misa. Kewajiban doa sudah mendarah daging baginya. Lima puluh tahun bukan waktu yang singkat. Dengan segala kelemahannya, ia selalu berusaha menjadi seorang biarawan, seorang manusia yang baik. Kami bersyukur memiliki konfrater sebaik André.  Tanti auguri amico!

Heri Kartono.

Selasa, 23 September 2008

Komunitas Roma


THE THREE MUSKETEERS

Komunitas kami tahun ini kedatangan tiga penghuni baru: Julio César Resende, José Cláudio Nilton dan Elione Corréa. Ketiganya dari Brasil dan ketiganya masih muda. Selama ini bahasa yang digunakan dalam komunitas kami adalah bahasa Inggris dan Italia. Dua bahasa ini kami gunakan baik untuk rapat, sembahyang maupun percakapan di ruang rekreasi. Bahasa tidak resmi yang kadang-kadang digunakan adalah bahasa Belanda dan bahasa Indonesia. Dengan datangnya tiga penghuni baru dari Brasil, maka bahasa tidak resmi yang mulai sering terdengar bertambah satu: bahasa Portugis.

Dibanding orang Indonesia, ketiga pemuda Brasil ini tergolong tinggi-tinggi. Di antara ketiganya, José Cláudio Nilton, yang berkulit paling gelap dialah juga yang paling panjang badannya, nyaris 2 meter. Kemanapun dia pergi, José Cláudio musti menjaga kepalanya baik-baik karena tingginya itu. Dengan tinggi seperti itu, dia tidak disarankan untuk ke Indonesia, karena dikhawatirkan akan banyak pintu yang rusak ditabrak kepalanya! Sebagai mahasiswa, José Cláudio tergolong rajin. Sepintas dia nampak cuek, tidak pedulian namun sebenarnya ia selalu bersedia membantu siapapun.

Berikutnya adalah Julio César Resende. Julio mempunyai wajah baby pace, selalu siap untuk tersenyum kepada siapapun. Tidak jelas, apakah dia juga suka tersenyum sendirian…..Yang pasti, Julio memang pemuda yang ramah. Ia mengaku tidak punya hobi. Namun sebagai orang Brasil, ia senang melihat sepak-bola. “Saya musti hati-hati untuk tidak terlalu sering nonton bola. Soalnya saya bisa jadi gila bola”, katanya. Saya pikir dia sudah gila!

Elione kendati sudah berkumis namun kelihatan imut-imut, sedikit pemalu. Di antara ketiganya, Elione paling muda. Tahun ini usianya 28 tahun, satu bulan lebih muda dari Julio César. Kemauannya untuk belajar patut dihargai, termasuk belajar masak. Setiap hari kami memang bergiliran masak untuk makan malam.

Tiga pemuda yang hampir jadi imam ini nampak kompak, seperti The Three Musketeers yang tersohor itu. Tidak jelas berapa lama mereka akan studi di Roma. Yang pasti, kehadiran mereka telah membawa suasana baru yang menyenangkan. Selamat datang konfrater!

Heri Kartono.

Senin, 22 September 2008

Laurent dan Kie Wan


SI MISKIN YANG MEMILIKI RUMAH BERBINTANG

Seorang sahabatnya, entah mengapa, kerap menyebut dia si Miskin. Meski demikian, jangan kira Laurentia Ng Lie Yung ini benar-benar miskin. Lihat saja rumahnya di kawasan Jalan Lesmana, megah seperti hotel berbintang. Rumah bertingkat tiga ini diperlengkapi dengan lift dan pengaman serba elektronik. Maklum, suaminya Michael Yip Kie Wan adalah pedagang alat-alat security dan automation di salah satu pertokoan Banceuy, Bandung.

Lepas dari rumahnya yang hebat, Laurent alias Lie Yung adalah sahabat yang setia. Kesediaannya untuk menolong tergolong tinggi. Setiap kali diminta tolong, selalu ia sanggupi dan tepat waktu lagi. Padahal, sebenarnya Lie Yung ini termasuk jenis wanita sibuk. Ia membuka toko sendiri, terpisah dari toko suaminya. Dalam soal dagang, Lie Yung tergolong pinter dan ulet. Kegiatannya yang lain adalah di YECC, suatu komunitas berbahasa Inggris. Di lingkungan paroki Pandu, Lie Yung pernah menjabat sebagai ketua Lingkungan dan anggota koor. Konon sekarang ia diserahi tanggung-jawab mengurus buletin paroki. Di luar itu, sudah lama ia mengajar bahasa Inggris untuk para calon imam. Sekali-kali ia juga diminta untuk menggalang dana. Last but not least, ia juga suka melancong…

Lie Yung dan Kie Wan dikaruniai 2 anak yang sehat: Ryan dan Priska. Ryan pernah berhasil menjadi juara lomba bintang RRI 2007, kategori seriosa. Kini Ryan meneruskan sekolah interior design di Nanyang Fine Arts Singapore. Adiknya, Priska, masih duduk di bangku kelas 2, SMA St. Aloysius Bandung.

Si Miskin eh…Laurent cenderung optimistik dan terbuka. Kalau ngobrol dengan dia, jangan khawatir akan kehabisan bahan obrolan. Ia selalu punya sesuatu untuk diceriterakan. Maklum, pergaulan serta pengalaman hidupnya amat luas. Biasanya saat berceritera, tangan, tubuh, termasuk matanya akan ikut mendukung apa yang ia ceriterakan. Ia memang seorang penceritera yang antusias dan hidup…padahal ia bukan pemain sinetron!

Thanks Laurent, sudah menjadi hopeng yang luar biasa! Kapan mengundang makan malam lagi?

Heri Kartono.

Minggu, 21 September 2008

Dubai


Ketua TKW

Baru kali ini saya naik pesawat Emirates. Sebetulnya menyenangkan: pesawat bagus, makanan enak, pramugari ramah hanya musti transit 3 kali. Perjalanan menjadi terlalu lama.

Di Dubai transit 4 jam lebih. Bandara Dubai memanjang dengan hiasan pohon-pohon cemara di dalam gedung, lengkap dengan lampu warna-warni. Seluruh lantai dilapisi karpet mewah. Di dalam bandara temparatur selalu sejuk karena ber-AC. Toko souvenir dan makanan tersebar dimana-mana. Supaya bisa sedikit berbelanja souvenir dan minuman, saya menukar sebagian uang Euro saya ke dirham. Lumayan juga dapat hampir 150 dirham.

Saat saya sedang melihat-lihat, ada serombongan wanita Indonesia sedang kebingungan. Mereka rupanya hendak pulang ke Indonesia namun tidak tahu di mana harus menunggu. Kemudian saya jelaskan bahwa pesawat masih 4 jam lagi, gate/ruang tunggunya belum muncul di layar. “Apa itu gate dan kenapa belum muncul pak?”, tanya mereka hampir serempak. Kemudian mereka saya ajak untuk melihat layar pengumuman keberangkatan. “Bapak kerja di kedutaan ya?”, kata salah satu dengan kagum. “Bagaimana kalau bapak kami angkat jadi ketua kami saja?”, kata yang lain. Semua bersorak-sorai setuju.

Saya mencari bangku untuk duduk tapi para TKW lebih memilih duduk di atas karpet. Kami lantas duduk melingkar dan tanpa dikomando mereka mulai berceritera satu demi satu. Dalam waktu singkat, berdatanglah para TKW yang lain dan ikut duduk bersama kami. Ada seorang TKW sudah 21 hari menjadi semacam tahanan Imigrasi. Surat-suratnya tidak lengkap. Ia dilarang keluar dari bandara dan harus kembali ke Indonesia. Nasibnya menjadi terlunta-lunta lantaran tidak ada satupun pesawat yang bersedia membawa dia kembali ke Indonesia, gratis. Seorang lain, laki-laki, juga sudah satu minggu menunggu sia-sia di bandara. Diapun diharuskan pulang. Nama yang tertulis dalam Visa, berbeda dengan namanya. Seorang TKW asal Mataram terpaksa dipulangkan karena selalu sakit-sakitan. Dia diberi tiket hanya sampai Jakarta dan sedikit uang jajan. TKW muda dan kurus ini selalu membawa plastik karena muntah terus-menerus. Ada juga beberapa TKW yang sukses, berhasil membawa uang dan emas, seperti mbak Siti dari Kaliwungu, Semarang.

Saat di dalam pesawat, para TKW ini hilir-mudik berkali-kali. Setiap kali melewati saya, dengan senyum lebar berkata: “Permisi pak!”. Sayapun terpaksa melambaikan tangan, mencoba ramah. Rupanya para pramugari mengamati dan pasti mereka mengira bahwa saya betul-betul ketua TKW. Para TKW ini kebanyakan dari udik, tidak terdidik dan amat polos. Rupanya juga mereka tidak tahu menggunakan WC secara benar, termasuk cara membuka serta menutup pintu WC. Saat transit di Singapore, salah satu WC tidak bisa digunakan lagi karena pintunya jebol, dibuka paksa TKW. Pramugari-pramugari geleng-geleng kepala sambil menatap saya, seolah-olah berkata: “Di mana tanggung-jawabmu pak ketua??”.

Heri Kartono.

Dubai, 18 Juli 2008.

Minggu, 14 September 2008

Agats-Asmat 2.



NANGKA PAK!

Bepergian ke Agats/Asmat selalu menyenangkan, serasa ke negeri entah berantah. Wilayah Asmat terletak di tengah hutan belantara Papua dan dikelilingi sungai-sungai maha besar. Nyaris seluruh tanah Asmat berlumpur sehingga jalanan dan rumah-rumah didirikan sekitar 2 meter dari atas tanah. Ini kali kelima saya berkunjung ke Agats, ibu kota Asmat. Saya berangkat dari Jakarta bersama Tom Carkhuff, propinsial dari AS. Kami naik Garuda berangkat jam 23.30 WIB. Pesawat transit di Denpasar kemudian langsung ke Timika. Sampai di Timika jam 6.30 pagi waktu setempat. Virgil Petermeier (pimpinan OSC Papua), Allo dan Frans sudah menunggu di bandara. Kami memang akan langsung meneruskan perjalanan ke Agats, dengan pesawat Twin Otter Merpati.

Saat saya menulis ini, kami sedang menunggu pesawat lanjutan ke Agats. Menurut kabar, cuaca di Agats hujan dan berkabut, jadi pesawat terpaksa menunggu dulu sampai cuaca dinyatakan OK. Virgil rupanya kenal baik pimpinan bandara. Jadi, kami boleh menunggu di kantornya yang ber-AC dan ada jaringan internet lagi,.. asyiiik juga punya kenalan orang yang tepat!

Ruang pak kepala terasa sejuk dan nyaman sekali. Soalnya, di ruang tunggu umum, selain panas, penuh sesak, baunya juga minta ampun, terutama bau ayam dengan segala tai-nya. Penumpang ke Agats atau ke pedalaman lain, memang banyak yang membawa ayam (hidup). Ayam-ayam malang itu dijejalkan dalam keranjang plastik mereka. Kata petugas, kadang-kadang ada juga penumpang yang nekat bawa anak babi. 

Ada ceritera. Pernah ada penumpang bawa anak babi. Petugas yang melihatnya, melarang dia masuk. Tanpa membantah, diapun pergi. Tak lama kemudian, penumpang ini datang lagi memanggul sebuah karung ukuran sedang. Dengan curiga petugas bertanya: "Bawa apa itu?". Penumpang menjawab: "Nangka pak!".  Akhirnya petugaspun mengijinkan dia masuk pesawat dengan karung nangka-nya itu.

Saat pesawat sudah terbang tinggi, ternyata karung itu mulai bergerak-gerak bahkan mulai menguik keras. Rupanya isinya bukan nangka melainkan anak babi. Petugaspun berang dan langsung menghardik: "Tadi aku sudah tanya dan kamu bilang itu nangka, padahal anak babi?!". Dengan kalem si penumpang menjawab: "Betul pak, ini memang anak babi, namanya si NANGKA!"

Timika, 6 September 2008.

Heri Kartono,OSC.