Selasa, 23 Juni 2009

Teringat Br.Harrie OSC



UNTUNG TERLAMBAT!

Saat melihat tayangan berita tentang Palestina, tiba-tiba saya terkenang kembali Harrie Vogels (7 Juni 1913 – 29 Mei 2004). Karena dialah yang memungkinkan saya pernah menjejakkan kaki di Israel selama 8 hari.

Harrie Vogels adalah seorang bruder Ordo Salib Suci atau OSC. Orangnya amat sederhana. Ia bertugas dari dapur ke dapur nyaris sepanjang hidupnya. Sekitar 30 tahun terakhir sebelum pensiun, ia bertugas di Roma sebagai tukang masak merangkap penerima tilpun dan penjaga pintu. 

Br. Harrie, kelahiran Belanda, mempunyai banyak sekali perbendaharaan ceritera, terutama ceritera konyol. Pokoknya, ceritera yang membuat kita tertawa bahkan tertawa terbahak-bahak. Sebagian besar ceriteranya adalah kejadian nyata. Namun tidak sedikit juga yang merupakan fantasi Br.Harrie. Pengalaman sederhana sekalipun, di tangan Br.Harrie bisa menjadi ceritera yang amat kocak dan menarik. “Korban” ceriteranya bisa siapa saja mulai dari teman seangkatan, atasannya bahkan Paus sekalipun! Saya menikmati banyak ceritera menarik yang dikisahkan Br.Harrie saat saya study di Roma (1986-1989).

Suatu hari, Br.Harrie mendapat uang dari sanak-famili-nya sebagai hadiah 25 tahun bertugas di Roma. “Ambillah waktu cuti dan berziarahlah ke Tanah Suci!”, begitu pesan saudara-saudaranya. Br.Harrie menerima uang tersebut, namun ia mengatakan: “Saya sudah tua dan sudah pernah ke Israel. Apakah boleh saya berikan uang ini pada orang lain yang belum pernah ke Israel?”. Saudara-saudaranya meskipun tidak terlalu puas, namun menyetujuinya juga. Br.Harrie memberikan uang tsb pada saya untuk pergi ke Israel. Katanya sebagai tanda terima kasih. (Saya memang sering masak nasi goreng pada hari Sabtu sore, sehingga memungkinkan Br.Harrie bebas dari tugas dan bisa jalan-jalan).

Sebelum pergi ke Israel, saya harus mendapat persetujuan lebih dahulu dari propinsial di Bandung, Pst. Yan Sunyata OSC. Kebetulan Pst.Rob Stigter hendak cuti ke Indonesia. Ia mengatakan: “Nanti saya mintakan ijin dari Pastor Yan!”. Sebulan kemudian, Pst.Rob Stigter kembali dari Indonesia. Saat saya tanya soal ijin itu, rupanya ia lupa. Karena merasa bertanggung-jawab, Pst.Rob menulis surat pada Pst.Yan, meminta ijin untuk saya.

Dua bulan berlalu tanpa ada balasan. Saya katakan pada Pst.Rob: “Tinggal beberapa hari lagi batas akhir untuk pembayaran tanda kepastian ikut ziarah!” (Saya ikut rombongan Italia, Opera Romana). Mendengar itu, Pst.Rob menjawab: “Ya sudah bayar saja. Nanti saya yang jelaskan pada propinsial!”. Maka hari itu juga, saya langsung membayar lunas ongkos ziarah. Dua hari sesudah pembayaran, surat Pst. Yan tiba. Isinya singkat: “Kartono TIDAK BOLEH ke Israel!”.  Untung suratnya datang terlambat dan uang  sudah ‘terlanjur’ dibayarkan….........(Foto 1: Br.Harrie Vogels OSC. Foto 2: Di Nazareth, Israel).

Heri Kartono. 

Jumat, 12 Juni 2009

Kasus Prita Mulyasari.


MASIH UNTUNG!

Kasus Prita Mulyasari yang ditangani Rumah Sakit Omni Internasional secara tidak memuaskan, membuat saya teringat akan pengalaman sendiri, juga amat pahit. Ini berawal dari suatu kecelakaan yang saya alami.

Dalam rangka liburan, saya naik Honda Bebek dari Tasikmalaya menuju Brebes (1986). Baru saja sampai di Ciamis, ban depan motor tiba-tiba kempes mendadak. Padahal, kecepatan sedang pol! Saya terjatuh dengan amat keras. Bahu kiri saya menghantam pembatas tembok. Sayapun pingsan entah berapa lama.

Semula saya dibawa ke RS. Negeri Tasik tapi kemudian dibawa ke Bandung ke Rumah Sakit swasta yang besar dan bergengsi (saya tidak perlu menyebutkannya!). Setelah diperiksa, dokter mengatakan bahwa saya tidak apa-apa dan boleh pulang. Saya mengatakan pada pastor Cor Kluskens OSC yang menunggui saya: “Saya sakit sekali. Tidak ada yang luka?”, tanya saya sambil memegang bahu yang amat sakit.

Karena saya mengeluh sakit, saya diperbolehkan menginap di Rumah Sakit. Satu minggu saya dibiarkan saja tanpa diperiksa ulang. Para perawat menganggap saya manja dan kolokan karena selalu mengeluh kesakitan. Mereka hanya tahu bahwa dokter mengatakan: “Tidak apa-apa!”. Sesudah satu minggu terus mengeluh sakit, saya diperiksa ulang, di-rontgent dll. Sesudahnya, dokter memutuskan untuk mengoperasi saya segera. Sedikitpun saya tidak diberi tahu, apa dan mengapa saya harus dioperasi?

Hasil operasi dari Rumah Sakit yang terhormat ini sebagai berikut. Pertama, dada sebelah kiri di-pen (tulang belikat?). Pen-nya terlalu panjang sehingga selalu menusuk daging dan berdarah setiap saat. Kedua, lutut saya dibuka karena hendak diambil “sum-sum”-nya tapi tidak jadi. Ketiga, akhirnya tangan kiri saya divonis lumpuh seumur hidup. Keempat, tentu saja saya harus membayar segala ongkos “kebodohan” yang mahal harganya itu.

Dalam keadaan tangan kiri lumpuh total, saya berangkat ke Roma. Waktu itu saya memang dikirim untuk tugas Study lanjut. Di kota ini saya berobat lagi ke RS. Salvator Mundi. Awalnya diterima Dr. Vincenzo Bilotta, seorang dokter umum. Kemudian saya dikirim ke Proffesor Doktor Raffaele Sadun, spesialis Ortopedia & Traumatologia. Dokter Raffaele ini kemudian berkonsultasi dengan dokter ahli syaraf. Dua dokter ini, setelah saling berkonsultasi, menjelaskan pada saya secara detail apa yang saya alami dan tindakan apa yang hendak mereka lakukan. “Akan dilakukan 2 kali operasi secara bertahap dan tangan anda akan diusahakan berfungsi 60%”, ujar dokter Raffaele. Dan itulah yang terjadi. Saya bersyukur sekali bahwa tangan kiri saya berfungsi lagi, meski tidak sepenuhnya. Untung juga bahwa asuransi bersedia mengganti semua ongkos!

Dokter adalah profesi yang amat mulia dan terhormat. Sayang bahwa tidak sedikit di antara mereka yang bekerja secara sembrono sehingga merugikan orang lain, baik secara fisik maupun finansial! (Foto: Di Rumah Sakit Salvator Mundi, sesudah operasi, 1986).

Heri Kartono, OSC

 

 

Rabu, 10 Juni 2009

Louis Gouveia


BUKAN MENOLAK!

Ketika pertama kalinya datang ke Indonesia (1983), Louis Gouveia mengira akan sulit menemukan Gereja. Maklum, ia mendengar bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Sebagai “Negara Islam” terbesar di dunia, ia juga membayangkan bahwa kehidupan di Indonesia akan sama dengan negara-negara Islam di Timur Tengah. “Saya merasa sedih, karena tanpa pergi ke gereja pada hari Minggu, hidup saya seperti tidak lengkap”, kenang pria asal India ini. Perusahaan tempat ia bekerja, saat itu menempatkannya di kota Bandung.

Ketika tiba di Bandung, ia merasa gembira sekali. Ternyata gereja ada di mana-mana. Yang mengherankannya, pada hari Minggu semua gereja penuh dengan umat. “Di Katedral, tempat saya dahulu sering datang, setiap misa selalu dipadati umat. Padahal, pada hari Minggu ada 5 kali Misa!”, ujar Louis dengan nada kagum.

Suatu hari ia mendengar bahwa di Bandung ada kelompok ex-patriat yang menyelenggarakan misa dalam bahasa Inggris. Ia dan keluarganya kemudian bergabung dengan kelompok ini. Beberapa bulan kemudian, ia malah dipercaya menjadi koordinator. “Dahulu, misa dalam bahasa Inggris hanya untuk kelompok ex-patriat. Namun, sejak orang-orang asing makin berkurang, misa yang diadakan di biara OSC Jln.Sultan Agung 2 ini, terbuka bagi siapa saja. Misa diadakan setiap hari Minggu jam 10.00 pagi, sesudahnya ada acara ramah-tamah”, jelas Louis bernada promosi. Sebagai koordinator, ia merasa gembira karena rupanya misa berbahasa Inggris banyak diminati. Gereja selalu penuh.

Saat bertemu di Roma, saya mengusulkan sesuatu pada Louis. Ia langsung menggeleng-gelengkan kepalanya. Saya mengira Louis menolak usulan saya. Rupanya tidak, ia justru sangat setuju bahkan merasa terharu. Ketika disinggung soal “geleng kepala”-nya itu, Louis menjelaskan: “Kalau kepala saya tidak bergoyang saat berbicara, namanya bukan orang India!”, ujarnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya….(Foto: Louis paling kiri, berjanggut & berkaos loreng, bersama keluarga besarnya. Berkunjung ke Roma: 2-5 Juni 2009).

Heri Kartono, OSC.

 

 

Rabu, 03 Juni 2009

Sr. Reynelda Saragih FCJM.


SEPERTI BATUK DAN PILEK

“Penyakit Aids di sini, seperti penyakit batuk dan pilek di negara kita, banyak sekali  yang terjangkit!”, ujar Sr.Reynelda Saragih FCJM dengan nada prihatin. Suster yang sudah 10 tahun bertugas di Malawi, Afrika ini memang pantas prihatin. Bagaimana tidak, di antara 1000 murid di sekolah tempatnya mengajar, sekitar 300 murid sudah positif mengidap penyakit tersebut.

Di dekat sekolahnya ada klinik. Dahulu klinik ini milik suster FCJM namun kemudian diserahkan kepada pihak pemerintah. Setiap murid sekolah, diwajibkan untuk secara berkala diperiksa kesehatannya di klinik tersebut. Mereka yang positif terkena Aids, diberi obat secara cuma-cuma. Obat-obatan disediakan oleh pemerintah. “Yang memprihatinkan juga, tidak hanya para murid, bahkan para gurupun terkena penyakit ini. Lebih dari separuh guru di sekolah kami terjangkit Aids. Gejala seperti ini terjadi hampir di seluruh Malawi”, ujar suster asal Sumatera Utara ini.

Epidemi penyakit Aids di negara yang berpenduduk 14 juta ini memang tinggi. Dilaporkan, di Malawi setiap jam ada 8 orang yang meninggal karena Aids. Demikian juga 70% kematian di Rumah Sakit, disebabkan karena Aids. Tidak heran bahwa dunia internasional menaruh perhatian serius terhadap Malawi.

Mengganasnya penyakit Aids, merusak tatanan sosial dan ekonomi di Malawi. Negara yang sudah miskin ini, makin terpuruk lagi oleh situasi tsb. Di luar tugasnya mengajar agama dan matematika di sekolah, Sr.Reynelda juga ikut membantu membagi-bagi makanan kepada penduduk yang kelaparan. “Setiap hari puluhan orang antri di depan susteran, menunggu jatah makanan”, ujarnya saat berkunjung ke Roma beberapa waktu yang lalu. “Kami sendiri juga hidup sederhana. Tiap hari kami makan jagung. Makan nasi seminggu sekali, karena beras memang sulit diperoleh. Air bersih juga sulit didapat. Jadi kami betul-betul mandi hanya seminggu dua kali”, ujar suster Reynelda sambil tertawa.

Heri Kartono, OSC. (Dimuat di Majalah HIDUP edisi 28 Juni 2009).