Jumat, 12 Juni 2009

Kasus Prita Mulyasari.


MASIH UNTUNG!

Kasus Prita Mulyasari yang ditangani Rumah Sakit Omni Internasional secara tidak memuaskan, membuat saya teringat akan pengalaman sendiri, juga amat pahit. Ini berawal dari suatu kecelakaan yang saya alami.

Dalam rangka liburan, saya naik Honda Bebek dari Tasikmalaya menuju Brebes (1986). Baru saja sampai di Ciamis, ban depan motor tiba-tiba kempes mendadak. Padahal, kecepatan sedang pol! Saya terjatuh dengan amat keras. Bahu kiri saya menghantam pembatas tembok. Sayapun pingsan entah berapa lama.

Semula saya dibawa ke RS. Negeri Tasik tapi kemudian dibawa ke Bandung ke Rumah Sakit swasta yang besar dan bergengsi (saya tidak perlu menyebutkannya!). Setelah diperiksa, dokter mengatakan bahwa saya tidak apa-apa dan boleh pulang. Saya mengatakan pada pastor Cor Kluskens OSC yang menunggui saya: “Saya sakit sekali. Tidak ada yang luka?”, tanya saya sambil memegang bahu yang amat sakit.

Karena saya mengeluh sakit, saya diperbolehkan menginap di Rumah Sakit. Satu minggu saya dibiarkan saja tanpa diperiksa ulang. Para perawat menganggap saya manja dan kolokan karena selalu mengeluh kesakitan. Mereka hanya tahu bahwa dokter mengatakan: “Tidak apa-apa!”. Sesudah satu minggu terus mengeluh sakit, saya diperiksa ulang, di-rontgent dll. Sesudahnya, dokter memutuskan untuk mengoperasi saya segera. Sedikitpun saya tidak diberi tahu, apa dan mengapa saya harus dioperasi?

Hasil operasi dari Rumah Sakit yang terhormat ini sebagai berikut. Pertama, dada sebelah kiri di-pen (tulang belikat?). Pen-nya terlalu panjang sehingga selalu menusuk daging dan berdarah setiap saat. Kedua, lutut saya dibuka karena hendak diambil “sum-sum”-nya tapi tidak jadi. Ketiga, akhirnya tangan kiri saya divonis lumpuh seumur hidup. Keempat, tentu saja saya harus membayar segala ongkos “kebodohan” yang mahal harganya itu.

Dalam keadaan tangan kiri lumpuh total, saya berangkat ke Roma. Waktu itu saya memang dikirim untuk tugas Study lanjut. Di kota ini saya berobat lagi ke RS. Salvator Mundi. Awalnya diterima Dr. Vincenzo Bilotta, seorang dokter umum. Kemudian saya dikirim ke Proffesor Doktor Raffaele Sadun, spesialis Ortopedia & Traumatologia. Dokter Raffaele ini kemudian berkonsultasi dengan dokter ahli syaraf. Dua dokter ini, setelah saling berkonsultasi, menjelaskan pada saya secara detail apa yang saya alami dan tindakan apa yang hendak mereka lakukan. “Akan dilakukan 2 kali operasi secara bertahap dan tangan anda akan diusahakan berfungsi 60%”, ujar dokter Raffaele. Dan itulah yang terjadi. Saya bersyukur sekali bahwa tangan kiri saya berfungsi lagi, meski tidak sepenuhnya. Untung juga bahwa asuransi bersedia mengganti semua ongkos!

Dokter adalah profesi yang amat mulia dan terhormat. Sayang bahwa tidak sedikit di antara mereka yang bekerja secara sembrono sehingga merugikan orang lain, baik secara fisik maupun finansial! (Foto: Di Rumah Sakit Salvator Mundi, sesudah operasi, 1986).

Heri Kartono, OSC

 

 

12 komentar:

Theresia Ang Le Tjien mengatakan...

Kondisi layanan kesehatan di negara kita memang sangat jauh dari memuaskan. Pasien selalu menjadi pihak yang lemah dan dirugikan. Saya pernah mengalami hal yang sama ketika harus operasi pengambilan batu empedu. Bagian tubuh saya yang lain yang tidak ada hubungannya terluka seperti melepuh. Ketika saya tanyakan kenapa jawabannya tidak sengaja alat yang mengandung tenaga listrik diletakkan di situ saat saya dibius total. Dokter ybs hanya mengobati luka itu tanpa permintaan maaf. Rasanya ini lebih menyakitkan dibandingkan dengan luka yang saya derita.

luki susanti mengatakan...

Pastor Heri yang baik, saya turut bersyukur atas "kerusakan" yang pastor alami masih dapat diperbaiki. semoga saja dokter, perawat dan semua petugas paramedik yang bekerja untuk keselamatan raga manusia mau belajar untuk rendah hati, sabar dan setia pada janji (sumpah) profesi saat diwisuda. mengedepankan hati nurani dalam bekerja untuk keselamatan orang lain (jiwa dan raga)

triastuti mengatakan...

dear Romo Heri, saya nggak menyangka Romo juga pernah punya pengalaman pahit dengan RS di Indonesia. Syukur puji Tuhan Romo bisa pulih lagi setelah operasi di Roma. Saya juga mendengar masih banyak lagi kasus lain. Walau ada saja keluhan dari pasien di mana-mana di dunia, kayaknya di Indonesia ini udah kebanyakan. Haruskah jatuh bagitu banyak korban sebelum RS-RS di negeri kita bisa belajar dari kesalahan dan mempunyai kerendahan hati untuk memperbaiki, minta maaf, dan introspeksi ? Di jaman kontrol sosial sudah semakin kuat sekarang, berkat teknologi komunikasi dan informasi, masyarakat semakin tidak bisa diam melihat kesewenang-wenangan terjadi. Saya rasa mereka yang tidak mau belajar dari kekeliruan dan bersikap arogan terhadap pasien dan orang kecil, akan tersingkir dari bisnis kesehatan dengan sendirinya. Tuhan bukalah mata hati mereka dan luluhkan segala kekerasan hati.

Rosiany T.Chandra mengatakan...

saya amat prìhatin membaca apa yang anda alami dan mesti dibayar sangat mahal pula dengan kondisi yang ada pada saat ini.Saya bisa merasakan 'derita'moril dan mental yang terasa pada saat itu.Dan amat mengerti jika berita Prita kembali membangkitkan memori tsb.Terimakasih untuk sharing cerita ini Romo

JP Isnaryono DS mengatakan...

sekolah dokter itu mahal sekali. setelah lulus ingin secepatnya 'balas dendam' dan menggaruk uang sebanyak-banyaknya.
alhasil: pasien dikorbankan!

dokter2 di ina jg menjadi bukti jeleknya pendidikan sejak tk, shg banyak yang moralnya terbengkalai!
alhasil: pasien dikorbankan!

skr sedang ramai diperebutkan posisi menteri pendidikan, krn disana strategis: dana, politik dan agama.

mengerikan....

eds mengatakan...

wahhh...saya gak tau kalo tangan kiri Romo bermasalah. untungnya belum sempat di operasi macam2 oleh dokter indo. pasien di indo memang "seakan-akan" tidak punya hak untuk mengajukan komplain atau menuntut atas malpraktek..

eds mengatakan...

haiz.. romoooo... jangankan kasus yg se rumit itu... (mungkin dokter indo emang gak bisa nanganin kasus yg berat kali romo), wong.. sakit flu aja, kudu bolak balik dokter A,B,C karena gak sembuh2.. ckckckckckk... *saya hanya bisa menggelengkan kepala, sambil berkata "bagaimana mempercayakan hal yg besar, jikalau hal kecil saja tak mampu?" *

eds mengatakan...

ups ampe lupa... pas jaman susyah dulu, badan pun lebih tipis ya romo? huhuahuahaua... *ampe takjub, ngeliat kelangsingan tubuh romo*, hihihihihi *piiiissss*

Unknown mengatakan...

Rm Heri ytk,pengalaman seperti tiu terjadi dengan teman saya yang tulang keringnya patah,dia diberikan pen yang terlalu panjang sehingga nyerinya koq engga sembuh2 setelah 1 thn lebih.Dia berobat ke Australia dan dioperasi ulang.Dalam waktu 1 minggu dia sudah bisa jalan! Tentunya setelah diganti dengan pen yang lebih pendek.
Memang dokter di negara kita ini suka memaksakan kehendaknya sendiri.
Ada pengalaman lain,tapi nanti saja kita cerita kalau ketemu ya ha ha....sampai nanti

Anonim mengatakan...

Aku juga punya pengalaman yang sama di rumah sakit yang sama pula pa'! Aku sampe mengalami perforasi gara2 dokternya salah diagnosa.Tidak ada rasa bersalah samasekali dari dokternya, ybs cuma bilang : 'iya..gejalanya soalnya sama'. Beruntung aku sampai hari ini masih bisa ikutan komentar di blog ini.

Udah baca berita tentang gugatan lain oleh seorang ibu kepada RS yang bermasalah dengan Prita?

Gumawang Jati mengatakan...

Pst Heri, kalau kita jujur sebenarnya kita memang masih perlu meningkatkan semua pelayanan tidak hanya kesehatan. Semua pelayanan yang umum, yang memerlukan high skills and low skills, masih sangat memprihatinkan. Tambah miris lagi, ada istilah internasional (sekolah dan juga rumah sakit) yang seolah-olah layanannya baik. Waktu saya sekolah di Inggris dulu, belum pernah melihat International Hospital, atau International Schools. Label ini sepertinya hanya untuk 'menipu' secara halus khalayak yang awam atau bahkan yang sedikit agak pintar.
Sebentar lagi pasti akan ada 'Bus malam Internasional, becak internasional, warteg internasional"... lama2 yang nasional sudah tidak ada lagi dan nasionalisme kita juga akan luntur karena memang belum ada yang bisa dibanggakan.
Pernah juga saya ditanya teman dekat saya yang sekarang berdomisili di Australia, apa yang kamu dapat dari Indonesia? Mau punya SIM, KTP, Layanan umum, harus nyogok. Kenapa kamu masih mau2nya tinggal di Indonesia? Jadi bingung juga jawabnya.

Unknown mengatakan...

Aduh Romo, pokoknya sing ngati-ati. Take care of yourself. Pokoknya masuk rumah sakit itu ndak enak. Salam dan doa.