Sabtu, 24 Juli 2010

Dr.Lukas Yohandoyo


PENCINTA BOLA YANG SOSIAL

Saat menyaksikan Piala Dunia, Lukas Yohandoyo teringat kembali akan pengalamannya di dunia sepak bola. Ia pernah mendirikan Sekolah Sepak Bola remaja di kotanya, Malang. Prestasi terbaik anak-anak asuhannya adalah ketika berhasil menyabet gelar juara PSSI Yunior (1998).

Pak Yo, panggilan akrab pria ramah ini, menyukai sepak bola sejak ia masih remaja. Saat duduk di bangku SMA, Yo mendirikan klub V3 (Veni Vidi Vici) bersama rekan-rekannya. Kecintaannya terhadap bola dibawanya terus hingga kini.

Sehari-hari Yohandoyo adalah seorang dokter medis. Setelah lulus dokter dari fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya (1965) Yo ditempatkan di Rumah Sakit dr.Saiful Anwar (RSSA) Malang. Yo bertugas di Rumah Sakit ini hingga pensiun (1998). Meski bekerja di Rumah Sakit, Yo tetap tak mau melepaskan diri dari kegemarannya di bidang olah raga, khususnya Sepak Bola. Saat ia menjabat sebagai direktur bagian Pavilyun RSSA, Yo mendirikan klub sepak bola. “Semua pemainnya adalah pegawai RSSA. Dan ini merupakan satu-satunya Rumah Sakit di Indonesia yang memiliki klub Sepak Bola!”, ujar dokter yang pernah mendapat pendidikan tambahan Kedokteran Olahraga ini.

Di kota Malang, tempat tinggalnya, nama Yohandoyo populer di kalangan pencinta sepak bola. Tidak heran bahwa ia pernah diminta menjadi pengurus PERSEMA (Persatuan Sepak Bola Malang). Selama 8 tahun ia duduk sebagai Ketua Harian dan Team Manager. Di bawah asuhannya, PERSEMA naik tingkat dari grup klassemen divisi I ke divisi utama. Selama 8 tahun itu ia kerap berkeliling Indonesia mendampingi tim asuhannya mengikuti pelbagai turnamen. Yo pernah juga menyelenggarakan “Kursus Wasit dan Pelatih Sepak Bola”, suatu kegiatan yang jarang diadakan.

Kepedulian Terhadap Anak Miskin

Di luar hobi bolanya, Yo dikenal juga sebagai tokoh sosial. Perhatiannya terhadap orang yang tak mampu memang amat besar. Awalnya, di sekitar tempat tinggalnya, ia sering bertemu anak-anak terlantar, tidak bersekolah karena tak ada biaya. Hatinyapun tergerak oleh belas kasihan. Dengan modal sendiri, ia berinisiatif membantu anak-anak miskin yang ia jumpai itu. Yo membiayai terutama keperluan sekolah anak-anak mulai dari alat tulis, pakaian seragam hingga sepatu. “Pokoknya perlengkapan yang dibutuhkan untuk sekolah. Teoritis sekolah itu gratis. Namun ada banyak pengeluaran yang harus dibayar siswa”, tutur pria kelahiran Pekalongan, 8 April 1940 ini. Yo meyakini bahwa taraf hidup seseorang dapat menjadi lebih baik pertama-tama lewat pendidikan, baik pendidikan formal maupun kursus-kursus ketrampilan praktis.

Semakin hari kegiatannya di bidang sosial makin bertambah seiring dengan bertambahnya anak-anak terlantar yang dibantunya. Yo beruntung bahwa kiprahnya dalam membantu anak-anak miskin mendapat dukungan sepenuhnya dari istrinya, Anna Elisabeth Louise Herlani, maupun dari anak-anaknya. Selain anak-anak yang ditemui Yo, ada pula orang yang datang menitipkan anak supaya dibantu dan disekolahkan. “Seorang suster pernah juga menitipkan seorang anak tak mampu. Anak tersebut kami tampung di rumah kami”, jelas dokter yang mempelajari juga pengobatan akupunktur. Saat ini anak-anak yang dibantunya mencapai hampir 100 orang.

Ketika Yo mempunyai rejeki lebih, ia membeli sebuah rumah di seberang tempat tinggalnya. Yo memang sengaja membeli rumah tersebut untuk melancarkan karya sosialnya. Di tempat itu kemudian didirikan Yayasan Sosial Agape (31 Juni 1997). Awalnya kegiatan yang dilakukan masih terbatas, seperti: Program Anak Asuh, Kursus Komputer , Kursus Reparasi sepeda motor.

Beberapa tahun kemudian, kegiatan makin berkembang yaitu kursus Menjahit bagi ibu-ibu rumah tangga, kursus membuat mebel/furniture, kursus bahasa Inggris, bimbingan belajar, kursus reparasi alat-alat elektronik. Di samping itu Yo masih sempat membentuk sanggar tari traditional, juga untuk anak-anak miskin. “Mereka juga layak menikmati kesenian, tidak hanya bekerja!”, jelas Yo memberi alasan.

Lewat pelbagai kegiatan itu Yayasan Agape makin dikenal dan mendapat banyak bantuan dari pelbagai pihak. Salah satu bantuan datang dari bapak Bernard Vekemans. Orang Belanda ini dikenal Yo secara kebetulan pada tahun 1998. Waktu itu ada pertemuan Woman International Club. Dalam pertemuan tersebut, Herlani istri Yo, memberikan presentasi mengenai Yayasan Agape yang dikelolanya. Ternyata penjelasan tersebut amat menarik bapak Bernard yang juga hadir. “Sesudahnya ia mengunjungi rumah kami dan berbincang-bincang sambil makan malam. Sejak itulah ia membantu Agape hingga sekarang”, tutur Yo.

Penolong Tak Dikenal

Yo ingin terus mengembangkan karya sosialnya. Sebab ia melihat anak-anak yang miskin dan terlantar begitu banyak. Namun ia sadar bahwa itu semua membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Lagi pula tempatpun tidak memenuhi syarat.

Suatu hari Yo mendapat kabar gembira. Seorang dermawan dari Belanda berniat mengirim uang untuk pembangunan gedung yayasan sosial yang dikelolanya. Dermawan yang tak mau menyebutkan jati dirinya itu mengenal Yo lewat Bernard Vekemans. Yo sungguh-sungguh merasa seperti bermimpi mendapat bantuan besar dari orang yang tak dikenalnya! Dengan uang kiriman dewa penolong tersebut dibangunlah gedung yang saat ini berdiri dengan megahnya. Yo pernah empat kali pergi ke negeri Belanda. Sebenarnya ia ingin bertemu dan berterima kasih pada penyumbang budiman itu. Namun sayang, orang tersebut tidak berhasil ditemuinya. “Nampaknya ia tetap tidak ingin dikenal”, papar Yo.

Aktivitas Yo selama ini bukannya tanpa hambatan. Aktivitasnya membantu anak-anak miskin pernah dicurigai dan diteror. Memang hampir semua anak miskin itu beragama Islam sementara Yo sekeluarga adalah pemeluk Katolik yang taat. Isyu kristenisasipun sempat dihembuskan. Beberapa kali keluarga Yo menerima terror lewat telpon. Anak-anak asuh Yo juga tak luput dari interogasi. Yo sekeluarga tidak gentar sedikitpun karena memang mereka tulus ingin menolong anak-anak miskin. Lurah setempat yang mengetahui sepak-terjang Yo sejak awal, datang membela dan memberikan dukungan sepenuhnya pada Yo.

Dokter Lukas Yohandoyo telah beberapa tahun melewati masa pensiun sebagai PNS golongan IVB. Namun ia tak juga mau berhenti bekerja. Baginya, tak ada istilah pensiun dalam membantu orang lain, khususnya mereka yang miskin dan terlantar.

Heri Kartono, OSC (dimuat di majalah HIDUP edisi.....).

NB:

Dr.Yo meninggal dunia pada 31 Maret 2011 pukul 19.30.



1 komentar:

JP Isnaryono DS mengatakan...

Mo, ini tulisan Romo Heri yang terpanjang, karena memang menulis orang yang panjang tangannya dalam membantu orang lain, trutama orang yang terpinggirkan...

Walopun panjang, saya tetap melototin kata huruf per huruf, kata per kata lho Mo...karena memang tetap menarik untuk dibaca..he..he...

Selamat berkarya, Berkah Dalem!