Selasa, 27 Oktober 2009

Danny Karjo


MEMBANGUN RELASI INTIM

Saat Adorasi Ekaristi Abadi (Adeka) baru pertama kali diadakan di Keuskupan Bandung, Danny Karjo adalah salah seorang yang ikut sibuk. Sejak persiapan, pelaksanaan hingga pengaturan jadwal, Danny terlibat aktif. “Saya merasa gembira dan antusias karena akhirnya Adeka hadir juga di keuskupan ini, bahkan di Pandu, parokiku sendiri”, ujar pria kelahiran Jerman ini bersemangat.

Danny yang dibaptis sejak usia 11 tahun mengaku senang berdoa di hadapan Sakramen Maha Kudus. Ia kerap bertugas ke luar kota. Kemanapun ia pergi, biasanya ia menyempatkan diri berkunjung ke tempat Adeka. Salah satu tempat yang kerap dikunjunginya adalah Gua Maria Kerep Ambarawa. “Saya ingin membangun relasi intim dengan Allah”, tutur Danny memberi alasan. Menurutnya, saat adorasi adalah kesempatan untuk bertemu, berbicara, melepaskan masalah serta mendengarkan Tuhan secara pribadi. Lelaki berwajah Indo ini juga mengaku mengalami kelegaan serta kedamaian setiap kali melakukan Adeka. Lebih lanjut suami dari Anita ini menjelaskan bahwa menghadiri ekaristi dan menyambut tubuh Kristus seminggu sekali tidaklah cukup. “Karena itu, adeka menjadi pelengkap sempurna kehadiran kita dalam ekaristi mingguan”, jelas Danny bernada promosi.

Semangat Danny makin bertambah saat melihat banyaknya umat yang berminat untuk melakukan adorasi. “Sampai saat ini, sudah 619 orang yang mendaftar untuk berjaga-jaga. Dari jumlah itu, tidak sedikit yang rela berjaga tengah malam”, ujar Danny dengan gembira. Besarnya animo umat, di mata Danny, mencerminkan kerinduan umat untuk bertemu dengan Allah secara pribadi. Sebenarnya ikut aktif dalam kegiatan gereja, khususnya dalam adeka, menyita cukup banyak waktunya. Kendati demikian, Danny melaksanakannya dengan riang gembira. Ia sadar, jerih payahnya tidak akan sia-sia karena dirasakan oleh banyak orang yang haus akan pertemuan dengan Allah secara intim.

Heri Kartono (dimuat di majalah HIDUP edisi 8 Nopember 2009).

Selasa, 20 Oktober 2009

Bedanya Cirebon dengan Roma


AFTER SHAVE

Saat di Roma, saya biasa menggunakan aftershave, dioles sesudah cukur jenggot dan kumis pagi hari. Aftershave ini terasa enak dan segar di kulit. Aftershave mengandung antiseptic untuk mencegah infeksi akibat luka tergores alat cukur. Aftershave biasanya dicampur dengan parfum dan pelembut kulit sebagai daya tarik tambahan. Aftershave bisa berupa cairan, gel, bubuk atau sejenis balsem. Saya terbiasa menggunakan aftershave jenis liquid, harumnya nempel terus. Maklum, karena dioles persis di bawah hidung.

Hampir semua rumah mode ternama mengeluarkan produk aftershave. Tentu saja harganya amat melambung tinggi. Tapi mencari aftershave dengan harga manusiawi juga banyak, tergantung kemampuan dan selera kita. Di Roma, aftershave bisa ditemukan di sembarang toko, bahkan Tabacchi (warung rokok) juga menjual aftershave.

Cirebon rupanya tidak sama dengan Roma. Sudah tiga hari ini saya mencari-cari aftershave dengan hasil nihil. Pertama, saya pergi ke Yogya Depstore langganan saya di jalan Siliwangi. Saya mencari-cari sampai sembilan menit, tidak saya temukan. Akhirnya saya bertanya pada salah seorang SPG: “Mbak, bisa bantu? Saya perlu aftershave!”. Tadinya saya mengira si mbak yang manis ini akan menjawab: “Yang merek apa pak?!”. Ternyata tidak. Dia malah balik bertanya: “Apa itu pak?”. Dengan sabar saya jelaskan tentang aftershave dan dia tetap tidak mengerti. Kemudian si mbak memanggil SPG lain, juga tidak mengerti. Petugas ketiga datang. Sesudah dijelaskan, dengan mantap dia pergi untuk mengambil “aftershave”. Ternyata yang dibawa adalah sejenis busa yang dioles sebelum cukur. Akhirnya datanglah sang supervisor. Ternyata sang supervisor juga tidak mengerti apa itu aftershave!

Pengalaman di Yogya Depstore, terjadi juga di toko-toko lainnya. Banyak toko tidak tahu dan tidak menjual aftershave. Pada hari ketiga, atas saran seorang kenalan, saya pergi ke jalan Pekiringan. Di sini ada sebuah toko parfum/kosmetik besar dan serba lengkap. Saat saya memasuki toko, lima orang gadis menyongsong saya. Mereka bertanya nyaris serentak: “Perlu apa pak??”. Saat saya menyebut kata aftershave, kelima gadis ini saling berpandangan dengan wajah oon. Rupanya toko kosmetik besarpun tidak mengenal aftershave……

Sampai hari ini saya belum menemukan aftershave. Tapi untung, di dapur masih ada persediaan minyak goreng kualitas nomor satu!

Heri Kartono.

Senin, 05 Oktober 2009

Heri Kartono (Di Cirebon)



BEBAS LIMA

Bertugas di Cirebon memang berbeda dengan di Roma, Italia. Suasana, bahasa, makanan dan pola kerja juga lain sekali. Sejak Jumat (02/10/09) saya mulai bertugas di paroki Santo Yusuf, Cirebon dan saya menikmatinya.

Atas beberapa pertimbangan, saya memilih sepeda sebagai alat transportasi. Saya membeli sepeda ditemani Santi, istrinya Kardjono, mantan frater OSC. Papanya Santi mempunyai bengkel dan toko onderdil sepeda di jalan Lemahwungkuk. Karenanya, Santi tahu betul seluk-beluk sepeda, termasuk harga sepeda. Berkat Santi pula saya mendapat sepeda bagus dengan harga miring.

Hari Senin (05/10) saya mulai mencoba sepeda baru. Saya berangkat dari pastoran di Jalan Yos Sudarso 20 menuju jalan Pancuran, rumah kakak perempuan saya. Sesudah lama tidak naik sepeda, rasanya senang sekali. Saya langsung menyadari, betapa naik sepeda itu bebas polusi. Tidak ada asap busuk yang dikeluarkan, kecuali sekali-kali dari pengendaranya.

Di jalan Karanggetas ternyata jalan satu arah. Kalau saya mengambil jalan yang seharusnya, saya akan berputar lumayan jauh. Dengan sedikit nekad, saya masuk jalan Karanggetas, melawan arus. Polisi yang berdiri di gardu perempatan jalan nampaknya tidak peduli, bahkan melirik-pun tidak. Rupanya sepeda dianggap bebas rambu-rambu lalu-lintas.

Di jalan Siliwangi, saya mampir di Jogya Supermarket, membeli beberapa alat tulis. Tukang parkir, yang melihat saya masuk membawa sepeda, sedikitpun tidak memperdulikan. Ketika saya dengan tenang menaruh sepeda di antara deretan motor, barulah tukang parkir datang. Dengan sedikit kurang senang, tukang parkir menunjuk sudut tembok. Sayapun nurut, memarkir sepeda di tempat yang paling pojok. Selesai belanja, saya sudah menyiapkan uang parkir. Namun, tukang parkir sama sekali tidak menggubris. Rupanya untuk sepeda bebas parkir!

Sesudah puas berkeliling, sayapun kembali ke pastoran. Kemudian saya menyadari bahwa selama sekitar dua jam, saya tidak mengeluarkan uang satu sen-pun untuk transportasi. Sepeda memang bebas bahan bakar.

Menurut kabar burung, kalau kita rajin dan teratur bersepeda, kita juga akan bebas kolesterol. Meski ini belum dibuktikan, sekurangnya sudah menambah semangat saya untuk terus bersepeda.

Belum ada akibat negatif dari naik sepeda yang saya rasakan selain pantat sedikit lecet. Satu-satunya perubahan adalah porsi makan saya. Sejak naik sepeda, porsi makan saya bertambah satu piring!

Heri Kartono.