Senin, 26 Januari 2009

Bendita Taolin


PENGALAMAN SEBALIKNYA

“Saya mengira di Barat, orang muda hidup bebas semaunya, gereja kosong dan tidak ada lagi hal yang sakral. Saya justru mendapatkan pengalaman sebaliknya”, ujar Bendita Taolin sungguh-sungguh. Ita, begitu panggilan akrabnya, mendapat kesempatan hadir pada pertemuan internasional kelompok San Egidio di Roma selama 2 minggu ( 10 s/d 24 Januari 2009). Selama dua minggu itu, ia menyaksikan basilika Santa Maria Trastevere yang besar dan megah, selalu penuh dengan anak muda setiap sore dalam acara doa malam bersama. Ita merasakan bahwa doa malam berlangsung khidmat, tertib dengan nuansa sakral yang kental.

Ita yang bekerja pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Timor Tengah-Utara adalah penanggung-jawab kelompok San Egidio di kotanya. Penggemar nasi goreng ini sudah bergabung dengan San Egidio sejak tahun 2001. “Bagi saya, bergabung dengan kelompok ini merupakan hadiah terindah dalam hidup saya”, paparnya. Di kotanya, Kefamenanu, San Egidio memiliki 80 anggota. Kegiatan kelompok yang dipimpinnya cukup bervariasi. Salah satu kegiatannya adalah mengajar anak-anak kurang mampu atau biasa mereka sebut Anak Sekolah Damai.

Pengalaman lain yang mengesankannya adalah kenyataan bahwa cukup banyak anak muda di Roma peduli pada nasib sesamanya, khususnya mereka yang miskin dan tersingkir. “Semula saya mengira anak-anak muda di Barat egois dan individualistis, tidak peduli pada nasib orang lain. Ternyata dugaan saya tidak benar adanya”, tutur anak keempat dari enam bersaudara ini.

Masih ada hal lain yang mengesankan Ita selama tinggal di Roma. Tapi, yang satu ini tidak ada kaitan dengan anak muda maupun San Egidio. Dengar saja apa yang dikatakannya dengan bersemangat:  “Ternyata cappuccino dan gelato (es krim) italiano, terutama gelato cioccolato, memang uenaak tenan!”, ujar Ita dengan senyum lebarnya yang menawan. (Dimuat di Majalah HIDUP edisi 15/02/09).

Heri Kartono.

Kamis, 15 Januari 2009

Dennis Ardianto


DUA KALI BERTEMU PRESIDEN

Ketika hendak memasuki Basilika Santo Petrus Vatikan, Dennis terlebih dahulu berlutut, mencium lantai basilika dengan takzim. “Serasa mimpi saya berada di tempat ini”, ujar Dennis dengan nada haru. Di dalam basilika, Dennis beberapa kali berhenti untuk berdoa, antara lain di depan patung Pieta karya Michael Angelo yang termashyur itu. Dennis memang tergolong pemuda yang saleh. Maklum, sejak kecil ia sudah terbiasa pergi ke gereja bersama neneknya.

Dennis Ardianto, pemuda asal Bandung, sedang berlibur di Roma (10-15 Januari 2009). Saat ini ia sedang studi kedokteran di Saint Petersburg, Rusia. Agak langka orang Indonesia studi lanjut di Rusia. Selain bahasa dan budaya amat berbeda, juga cuaca sering kurang bersahabat. Pada bulan Januari seperti sekarang ini, suhu bisa 18 derajat di bawah nol. Dennis termasuk dari antara orang yang langka itu. Ia studi di Rusia sejak 2006.

Menurut Dennis tinggal di Russia memang bukan hal yang mudah. “Saya harus bekerja keras menyesuaikan diri dengan banyak hal”, ujarnya. Namun karena studi di Rusia pula ia sempat bertemu presiden Yudhono sampai dua kali. Pertama di Saint Petersburg, saat Yudhoyono melawat ke kota tersebut (30/11/06). Kedua kalinya di Istana Negara Jakarta (20/08/08), saat Dennis diminta menjadi penterjemah tim science dari Bellarusia.

Selama beberapa hari melancong di kota Roma, Dennis merasa senang. “Dibanding orang Rusia yang dingin, orang Italia hangat dan bersahabat”, papar Dennis. Hanya saja ia sedikit heran karena dimana saja ia berada, orang-orang kerap memperhatikannya secara khusus. Akhirnya ia tahu juga penyebabnya, yaitu rambutnya yang ia cat warna pirang. Pernah di dalam Bus Kota, seorang ibu memandang Dennis dengan mata dan mulut terbuka lebar-lebar. Barangkali ibu ini kagum bercampur bingung melihat pemuda di depannya: wajah mirip orang Cinese tapi rambut mirip orang Milano. Suatu perpaduan yang unik, bagaikan spaghetti dengan semur jengkol.

Heri Kartono (dimuat di majalah HIDUP, edisi 15 Maret 2009).

 

Kamis, 01 Januari 2009

Heri Kartono (Pergantian Tahun 2008-2009)



HAPPY NEW YEAR

Sejak jam 7 sore, orang-orang sudah mulai mengalir menuju Coloseum. Malam tahun baru kali ini dipusatkan di jalan utama menuju Coloseum. Dan sejak sore hari, jalan ini memang sudah tertutup untuk kendaraan, kecuali ambulans dan mobil polisi. Sebuah panggung hiburan raksasa didirikan persis di depan bangunan tua bersejarah tersebut. Beberapa pohon Natal yang sudah dipasang sejak awal Desember, membuat suasana lebih semarak, apalagi cuaca cerah, tidak terlalu dingin, 8*C.

Semakin malam orang yang datang makin banyak. Umumnya datang beramai-ramai atau minimal dengan pasangannya sambil tak lupa membawa botol minuman di tangan. Disana-sini bunyi petasan serta kembang api mulai terdengar. Pedagang kaki lima yang menjual makanan dan minuman, malam itu betul-betul mengeruk keuntungan besar, saking banyaknya pembeli.

Sekitar jam 11 malam, jalan utama mulai dari Piazza Venezia menuju Coloseum sudah padat dengan manusia. Untuk berjalanpun harus berdesak-desakan sambil mata harus selalu awas karena petasan-petasan besar mulai beraksi. Mendekati tengah malam, petasan makin menggila, beberapa menggelegar bagaikan ledakan bom besar, sementara kembang api makin bervariasi dan berwarni-warni menghias angkasa. Asappun makin pekat.

Pas jam 00.00 di antara hiruk-pikuk bunyi petasan dan kembang api yang makin ramai, orang-orang saling berjabat tangan, berpelukan, berciuman. Semua saling mengucapkan selamat tahun baru dengan wajah berseri-seri. Di dekat saya, ada empat pemuda tanggung asyik tertawa-tawa gembira. Ketika mereka melihat ada orang yang sendirian, merekapun menghampiri dengan ramah namun dengan gaya anak muda.

Where do you come from?”, teriak mereka. Brebes!”, jawab saya, juga berteriak. “What?”, kata yang tanya bingung. Indonesia!”, kata saya, mengulangi. “Indonesia….wow…Indonesia. Happy New Year!”, kata gerombolan ini memberi salam satu demi satu dengan memeluk hangat.

Salah seorang di antara mereka kemudian berkata dalam bahasa Inggris yang patah-patah: “Sampaikan salam untuk keluargamu di Indonesia, dari orang-orang Italia yang gila!”, katanya. Sayapun mengangguk terharu. Sebetulnya mereka tidak perlu menjelaskan “gila”, karena toh sudah jelas….

Heri Kartono