Selasa, 28 Juli 2009

Renata Christha Auli.


TERBAIK BAHASA JERMAN

Pada tahun 2005, Renata Christha Auli atau biasa dipanggil Rere, mengikuti orang tuanya pindah ke Jerman. Saat itu ia masih duduk di kelas 1 SD naik ke kelas 2. Di Jerman, prestasi Rere di kelasnya tergolong menonjol. Yang mengagumkan adalah kemampuan bahasanya. Nilai bahasa Jermannya terbaik di kelasnya, padahal ia bukan orang Jerman! Rere memang senang membaca dan menulis. Salah satu karangannya dinilai baik dan diterbitkan dalam sebuah buku di Jerman bersama penulis anak-anak lainnya.

Saat Rere duduk di kelas 4 SD, ia kembali ke Indonesia (2007). Bersama orang tuanya, Rere tinggal di Bandung dan sekolah di SD Katolik Pandu. Rere yang sudah terbiasa berbahasa Jerman dan adat-istiadat orang Jerman, justru merasa kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya di tanah airnya sendiri. Tiga bulan pertama adalah saat-saat yang paling berat bagi Rere. Ia nyaris tidak tahan dan ingin kembali ke Jerman. Untunglah para guru cukup sabar mendampingi Rere dan kedua orang tuanya tak henti-hentinya membesarkan hatinya.

Ketika seorang sahabatnya berulang tahun, Rere menyiapkan hadiah buatan tangannya sendiri. Nyaris sepanjang malam, Rere bekerja keras menyelesaikan hadiah tersebut. Esoknya, dengan bangga Rere menyerahkan hadiah khusus buatan tangannya itu. Namun sayang, sahabatnya bukan berterima kasih, malah menolak hadiah yang menurutnya tidak menarik. Rupanya sahabat ini lebih menyukai hadiah bagus yang dibeli di toko daripada menghargai jerih payah kawannya.

Kejadian di atas merupakan salah satu contoh pengalaman pahit masa peralihan Rere. Di Jerman, teman-temannya lebih menghargai hadiah buatan tangan sendiri daripada membeli di toko. Nampaknya ia harus banyak menyesuaikan diri dengan kebiasaan teman-temannya yang baru. Kebiasaan lain yang pada awalnya agak mengganggunya adalah soal pinjam meminjam.

“Di Jerman, bila seorang meminjam suatu barang, ia akan meminta ijin lebih dahulu. Sesudahnya, saat mengembalikan, ia juga mengucapkan terima kasih. Di sini, rupanya tidak demikian!”, ujar penggemar lagu klasik ini. Selain soal kebiasaan, proses pengajaran juga amat berbeda. Di Jerman, setiap murid diberi kebebasan luas untuk berdialog bahkan berdebat dengan guru. Di Indonesia murid tidak selalu bisa memiliki pendapat sendiri.

Kini, sesudah tiga tahun, Rere sudah merasa betah di sekolah barunya ini. Ibu Theresia Marjani, Kepala Sekolah SD Pandu, menilai Rere sebagai murid yang cerdas dan kritis. Salah satu bakat Rere yang menonjol adalah photogenic. Tahun lalu, ia menyabet gelar juara I photogenic tingkat SD se-Bandung Raya.

Jerman adalah negeri yang mempunyai kenangan tersendiri bagi Rere. Meski demikian, ia sadar bahwa dirinya adalah seorang puteri Indonesia sejati. Karenanya, meski tidak selalu mudah menyesuaikan diri, Rere yakin bahwa dirinya dapat menyumbang sesuatu demi tanah airnya, Indonesia.

Heri Kartono. (Dimuat di Rubrik Anak-anak Majalah HIDUP, edisi 23 Agustus 2009).

4 komentar:

triastuti mengatakan...

Romo Heri, salut banget, ya sama yang nulis ya sama yang ditulis. Banyak yang bisa kupelajari dari Rere. Usianya masih sangat muda, tapi ia begitu cepat menyerap pelajaran kehidupan yang baik di perantauannya. Kreatifitas, orisinalitas, tidak konsumtif, berani mengemukakan pendapat, percaya diri, berani tampil...yah, itu semua memang ciri khas kepribadian budaya maju yang belum subur di Indonesia dan tentunya membuat Rere bagaikan merasa asing di tanah airnya sendiri. Semoga Rere mampu bertahan dg nilai-nilai yg baik itu dan dapat menjadi agen perubahan. Salam manis utk Rere.

Rosiany T.Chandra mengatakan...

Sepertinya budaya 'pengen hasil instant' yang mulai merasuk masyarakat kita bisa bermula dari kebiasaan tidak menghargai proses,seperti pada pembuatan kado tersebut.Anak tidak diajarkan melibatkan emosi dalam proses akan karya tertentu yang saya kira baik untuk apresiasi diri

Lucas Nasution mengatakan...

"Kini, sesudah tiga tahun, Rere sudah merasa betah di sekolah barunya ini. "

alah bisa karena biasa

daya adaptasi kita memang sepertinya tidak terbatas

JP Isnaryono DS mengatakan...

Itulah bedanya, kita dgn negara maju. Anak2 di ina lebih menghargai nilai uang daripada nilai emosi dan hasil karya.

Kita liat gimana nanti bila sekolah2 negri udah bener2 digratiskan. Kedisiplinan guru2 merosot drastis, lalu menurun ke anak2 didiknya. Tak heran mental orang2 ina hanya sebatas koruptor dan teroris.

Anak2 seperti Rere dibutuhkan di sini, sebagai perangsang pada anak2 lain. Salut pada guru2 SD Pandu, terlebih pada orang tua Rere.

salam