SERASA MENJADI PAHLAWAN
Ini
salah satu pengalaman kecil yang membuat hati bangga dan malu sekaligus. Suatu
siang (1998), saya berkunjung ke susteran SFD di belakang Katedral Medan. Saat
itu saya memang bertugas di Medan. Ketika saya datang, ada seorang suster yang
sedang kebingungan. Suster Laurensia Sinulingga SFD hendak pergi ke Kisaran
dengan adiknya naik Kereta Api. Mobil susteran yang seharusnya mengantar dia ke
Stasiun Kereta, belum kunjung datang. Begitu melihat saya, suster ini langsung
menyongsong: “Pastor bisa minta tolong antar kami ke Stasiun Kereta Api? Kami
sudah hampir terlambat dan belum punya karcis!”, pintanya dengan cemas.
Tanpa
banyak kata, saya mengantar Sr.Laurensia SFD dengan adiknya ke Stasiun.
Sesampainya di Stasiun, saya ikut membantu membawakan koper suster. Kami
langsung menuju loket penjualan karcis. Di depan loket, ada banyak orang
berjubel. Sepertinya mereka sedang berteriak-teriak tidak puas. Rupanya para
penumpang itu kesal dan marah melihat di depan loket tertulis pengumuman menyolok:
“KARCIS HABIS!”. Hari itu memang permulaan liburan sekolah. Banyak orang
bepergian ke luar kota naik Kereta. Suster Laurensia hampir menangis membaca
pengumuman itu. Saya mencoba menghibur: “Suster tenang saja tunggu di sini,
saya akan coba mencari karcis!”
Saya
langsung bergegas menuju kantor Kepala Stasiun. Dengan agak enggan, Kepala
Stasiun menemui saya. “Pak, saya minta 2 karcis untuk Kisaran!”, ujar saya
tanpa basa-basi. “Kenapa minta dari saya?”, katanya dengan nada kurang senang.
Saya jawab: “Bapak saya juga Kepala Stasiun di Brebes, Jawa. Biasanya bapak
selalu punya beberapa karcis ekstra!”. Mendengar jawaban saya, sang Kepala
Stasiun berubah menjadi ramah. “Oo…begitu. Mari masuk!”, katanya bersahabat. Sejurus
kemudian pak Kepala Stasiun memberikan 2 karcis yang saya butuhkan. Tidak hanya
itu, dia malah berkata: “Hari ini penumpang sangat banyak. Tunggu saja di sini,
nanti saya suruh anak buah saya mencarikan tempat duduk!”. Tentu saja suster
Laurensia amat senang dan berterima kasih.
Saya
menunggu sampai suster mendapat tempat duduk dan Kereta berangkat. Saya
melambai-lambaikan tangan bak seorang pahlawan yang telah berjasa besar.
Susterpun dari dalam Kereta melambai-lambaikan tangannya berulang-ulang. Ketika
Kereta telah hilang dari pandangan mata, saya baru ingat sesuatu. Dengan panik
saya meraba saku baju saya. Celaka…..dua karcis Kereta yang saya peroleh dengan
susah payah dari pak Kepala Stasiun ternyata masih tersimpan dalam saku baju saya…….!! (dari
buku: ASYIKNYA JADI ROMO, Heri Kartono).
7 komentar:
saya tertawa terbahak-bahak di ujung cerita lho, Romo Heri. Selalu ceritanya as humanly as possible...sangat menarik. Berkah Dalem!
huahahahah....trus suster itu disuruh turun dari kereta di Brebes, beli telor asin, nginep semalem di rumah romo Heri, lalu ke kisaran naik bus malem....
dasar...gendheng....
Wahahaha....jadi gitu ya efeknya orang kalau ke-GR-an karena udah merasa berjasa. Pas hati melambung senang, tujuan utama yang mau dicapai dg pertolongan yang dilakukan tadi malah tidak tercapai. Kisah yang luar biasa maknanya dan setiap kita mungkin mengalaminya juga. Jujur,dalam,reflektif, en toh singkat dan lucu...! Bravo Rm Herii
Kalau di arena sepak bola, ini namanya peluang sudah diciptakan, umpan sudah diberikan, hanya eksekusi yang tak dilaksanakan dengan baik! Ha ha..
Selamat, Romo sudah menuliskan kisah ini dengan hidup.
Huahahhahahahahah
Pasturrrrr ada2 aja ceritanya.
Saya baca wkt perjalanan pulang ke rumah, saya ketawa sendiri keras sekali sampai pak Mono kaget.
Sampai ketemu hari Minggu ya, mau dibawain apa dari Bandung? (Lilies)
saya ingin menanyakan, apakah buku "asyiknya jadi romo" hanya diperjual-belikan di gereja St.Helena saja?
sebab beberapa hari kemarin, saya mengunjungi 2 toko buku, namun ternyata buku tsb tidak dijual di tempat tsb....
terimakasih sebelumnya
Untuk sementara memang hanya di St.Helena.
Salam,
Hk
Posting Komentar