KETAHUAN JUGA
Sesudah
satu bulan tinggal di paroki St.Helena Lippo Karawaci (Maret 2010), rambut saya
mulai panjang, perlu dipangkas. Saat makan siang, saya bertanya pada Pastor
Surono, rekan se-komunitas: “Dimana tukang pangkas rambut terdekat dan bukan Katolik?”.
(Tentang “bukan Katolik” ini penting
bagi kami. Umumnya kami sungkan, khawatir dikira minta gratis kalau pergi ke
tempat orang Katolik). Pastor Surono menjelaskan: “Dekat kok. Pastor keluar
kompleks, melewati Pos Satpam lalu belok kiri. Di situ ada Salon dan bukan
Katolik”, ujarnya.
Selesai
makan siang, sayapun langsung mencari Salon tersebut. Dan memang ada, persis
yang dijelaskan Pastor Surono. Jarak dari pastoran hanya sekitar 350 meter
saja. Ketika saya membuka pintu salon, seorang pria yang lemah gemulai
menyongsong dan menyambut saya. “Mau potong mas?”, tanyanya dengan kenes.
Sebenarnya saya tidak suka, namun sudah terlanjur masuk. Ketidak senangan saya
makin bertambah saat pria kenes ini memotong rambut sambil nonton sinetron.
Beberapa kali dia berhenti memotong karena terpukau pada sinetron yang
ditontonnya.
Menurut
pastor Surono, di salon itu ada 2 pria pemotong rambut. “Yang satunya normal
kok!”, jelasnya. Tapi saya sudah terlanjur kesal. Bulan berikutnya, saat rambut
perlu dipangkas lagi, saya mencari tukang pangkas rambut agak jauh, menjauhi
wilayah paroki St.Helena. Saya menuju perumahan Harkit (Harapan Kita), wilayah paroki St.Agustinus. Di Harkit ada
banyak salon. Sesudah bolak-balik sampai 3 kali, saya memasuki salon Bright.
Untunglah, saya tidak mengenal pemilik salon dan ibu itupun tidak mengenal
saya. Aman. Sambil potong rambut, kamipun ngobrol berbasa-basi. Pemilik salon
yang memangkas rambut saya namanya ibu Eri. Orangnya ramah dan santun.
Pegawainya ada beberapa, umumnya wanita. Selesai potong, saya membayar,
mengucap terima kasih dan pergi.
Bulan
berikutnya, saya kembali ke salon yang sama. Saya pikir, potongannya cocok,
harga tidak mahal dan yang penting dia tidak mengenal saya! Ibu Eri menyambut
saya dengan ramah dan langsung menggunting rambut dengan cekatan.
Bulan
yang ketiga, saya datang lagi ke salon Bright. Dari balik kaca, saya melihat
ibu Eri sedang duduk santai, tidak ada klien satupun. Betapa terkejutnya saya,
saat masuk, ibu Eri terlonjak dan berseru dengan amat ramah:
“Silahkan….silahkan masuk Romo!!”. Saya kaget sekali. “Kok tahu saya pastor?”,
kata saya dalam hati. Sesudahnya ibu Eri menjelaskan. “Minggu kemarin saya ke
gereja bersama suami saya. Biasanya saya duduk di belakang. Tapi kemarin saya
duduk di deretan agak depan. Waktu melihat romo, saya berkata pada suami saya:
“Pa, romo itu seperti Pak Heri yang suka pangkas di tempat saya. Ternyata
memang romo…!!”, ujarnya dengan nada gembira. Sejak saat itu saya tidak
diperkenankan membayar lagi. Saya sempat berniat untuk pindah ke tempat lain.
Namun sepertinya bu Eri membaca pikiran saya. Ketika rambut saya sudah mulai
panjang, bu Eri kirim SMS: “Romo, sudah waktunya potong rambut. Saya tunggu
ya..!”.
Heri
Kartono.