LEBIH BAIK SAKIT DI KAMPUNG
Berawal dari sakit perut di bagian kanan di atas pinggang. Waktu itu baru saja mulai santap siang dengan makanan pembuka Spagheti ala Bolognese. Saya menaburkan sambal satu sendok besar di atas spagheti, kebiasaan buruk orang Brebes. Dalam waktu lima menit, perut melilit-lilit, sakitnya bukan kepalang. Saya meringis-ringis dan teringat bahwa ini bukanlah yang pertama kalinya. “Jangan-jangan saya kena usus buntu”, begitu pikir saya.
Beberapa hari kemudian, atas anjuran seorang sahabat, sayapun pergi ke Rumah Sakit Salvator Mundi, Roma. Di RS Internasional ini, saya menemui Dr. Bilotta, dokter langganan sejak saya masih mahasiswa, 23 tahun yang lalu. Bilotta menganjurkan agar saya periksa beberapa hal, sekaligus General Check Up. Menurutnya, ada beberapa indikasi yang mencurigakan. Supaya pemeriksaan dapat berjalan dengan tenang dan semua ongkos dibayar asuransi, sayapun masuk Rumah Sakit (16-19 Maret 2009). Maklumlah, asuransi hanya mengganti bila kliennya dirawat inap di Rumah Sakit.
Hal pertama yang dilakukan adalah pemeriksaan darah dan urine, setelah sebelumnya berpuasa sejak malam hari. Untuk mengambil darah nampaknya bukan perkara gampang. Masalahnya, urat nadi saya terlalu kecil dan tersembunyi. Sang perawat tak bisa menemukannya meski sudah memukul-mukul lengan beberapa kali. Akhirnya seorang suster senior mengambil alih tugasnya. Ia berhasil menemukan urat nadi pada tusukan yang kedua.
Pemeriksaan berikutnya disebut Diagnostica Endoscopica. Seorang suster yang nampaknya sudah ahli, menyuruh saya membuka seluruh pakaian bagian atas. Kemudian alat-alat dipasang pada dada dan perut. Dengan sebuah alat yang dihubungkan dengan layar komputer, suster ini melihat dan merekam kondisi “jeroan” saya.
Sore hari, seorang petugas membawa 2 botol air mineral. “Minumlah dan musti habis. Ini diperlukan untuk pemeriksaan Ecografia Addome Completo satu jam lagi. Dan, jangan kencing sebelum saat pemeriksaan!”, ujar petugas tadi sambil menekankan setiap perintahnya. Dengan susah payah, 2 botol air itu saya minum, meskipun sama sekali sedang tidak haus.
Pada saat pemeriksaan, juga dengan alat yang disambung pada sebuah layar komputer, saya sudah tidak bisa menahan diri untuk kencing. Rasanya air kecing sudah ada di ujung “kran” saya. Tapi dokter Maria Almberger dengan tenangnya berkata: “Air baru sebagian yang turun, kita musti menunggu sekurangnya 10 menit lagi!”. Dengan meringis saya menjelaskan bahwa saya sudah tidak tahan lagi untuk kencing. Akhirnya pemeriksaanpun dilanjutkan. Saya harus berjuang keras supaya tidak mengencingi tangan dokter Jerman yang bersih dan halus itu…Begitu pemeriksaan selesai, saya langsung melompat dan berlari ke kamar kecil. Dan sebelum dikeluarkan secara sempurna, si adik kecil sudah langsung menyemprotkan hujan berkatnya yang melegakan!!
Penyiksaan belum selesai. Makanan yang saya dapat selama di RS nampaknya disesuaikan dengan kebutuhan pemeriksaan. Alhasil, setiap saat hanya sup macaroni setengah mangkuk saja. Hari kedua, selesai sarapan yang amat sederhana, Fransisca sang perawat, masuk dengan senyum amat manis. “Minumlah ini dan harus habis sebelum jam 12 siang!”, ujarnya dengan ramah. Mata saya membelalak melihat 8 botol air/minuman yang dibawa sang perawat…..
Minuman itu rasanya manis, sedikit memualkan. Ketika saya berhasil meminumnya 2 botol, perut saya langsung mual-mual. Berkali-kali saya hendak muntah. Akhirnya, tepat pada jam 12.00 siang, botol kedelapan berhasil saya habiskan. Dan selama itu, saya sudah 9 kali buang air kecil dan 6 kali buang air besar (dalam artian yang sesungguhnya, betul-betul cairan…alias air besaaar!). Dan rupanya cairan 8 botol itu dimaksudkan untuk mencuci habis isi perut saya. Sebagai pelengkap, seorang perawat lain menyuntikkan obat cairan lewat dubur, sesuatu yang amat tidak nyaman. Itu semua diperlukan untuk pemeriksaan RX Torace Clisma-opaco.
Kalau tidak terpaksa, jangan pernah berurusan dengan pemeriksaan Clisma-opaco. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara memasukan sejenis slang kedalam dubur kita. Dari slang itu, dimasukan cairan tertentu. Dengan itu Prof. Dr. A.F. Maccioni dapat mengamati dan merekam bagian perut yang hendak diperiksanya. Dua puluh menit yang menyengsarakan!
Pemeriksaan terakhir adalah Elettro-cardiogramma. Sebuah alat monitor di pasang di bagian dada untuk mendeteksi kondisi jantung selama 24 jam. Saat petugas datang, saya baru bangun tidur siang. Sang petugas medis yang jangkung ini langsung memasang alat tanpa memberi kesempatan saya mandi dulu. Tanpa mandi lebih dari 24 jam, untuk orang Brebes adalah siksaan tersendiri, meski sedang musim dingin sekalipun.
Sesudah segala pemeriksaan yang menyiksa selesai, dokter Bilotta dengan tersenyum menyimpulkan bahwa kondisi saya secara keseluruhan baik-baik saja. Kolesterol sedikit tinggi, juga tekanan darah agak naik (gara-gara dipaksa minum cairan 8 botol, jadi naik darah!). Selebihnya dokter mengatakan OK.
Begitulah kalau sakit di negeri orang. Untuk sakit perut yang tidak terlalu jelas, harus menjalani segala pemeriksaan dan siksaan selama 3 hari penuh. Lebih baik sakit di kampung, tinggal pergi ke Puskesmas. Sakit apapun, pak Mantri akan memberi aspirin, beres. Hanya…..kalau sesudahnya pasien makin parah dan mati, itu memang resikonya!
Heri Kartono.
(Catatan: Ada satu pemeriksaan lagi: RX Stomaco Duodeno. Saya di-rekam/di-rontgen sambil meminum cairan putih. Sebelumnya saya berpuasa dahulu. Pemeriksaan ini terutama untuk mendeteksi saluran pencernaan. Hal yang paling berguna bagi saya dari keseluruhan pemeriksaan ini adalah penjelasan rinci tentang dampak2 kecelakaan yang pernah saya alami lebih 20 tahun yang lalu dan tidak pernah saya sadari!).